Senin, Juli 7, 2025

HUT Bhayangkara ke-79 Usung Tema Polri untuk Masyarakat

Bengkulu InteraktifPT. Interaktif Media Siber. All Rights Reserved.Bengkulu Interaktif 2016 - Bengkulu Interaktif.Contact InformationHead Office:Jalan Batanghari No. 15, Komp. PU Pracetak, Tanah Patah,...
BerandaHUKUM DAN PERISTIWAAda yang Salah Dalam Upaya Perangi Narkoba

Ada yang Salah Dalam Upaya Perangi Narkoba

12670672_1274998819181550_6696772144973548464_n

Oleh : Ade H. Perkasa

Bangsa ini tiada henti dihajar dari berbagai penjuru. Ditengah tumpulnya situasi penegakan hukum atas nama keadilan, koruptor masih asyik menggasak anggaran dari daerah hingga ke pusat. Sementara rakyat masih belum terbebas dari cekikan harga bahan pokok.

Konstalasi politik juga masih belum reda dari serang menyerang, saling menjatuhkan, berdampak pada situasi ekonomi tidak stabil, akibat ketidakpercayaan investor dalam menanamkan modal. Riuh rendahnya sama dengan pertarungan memperebutkan kekuasaan di Ibukota negara masih menjual isu SARA.

Tapi, yang tidak kalah menghebohkan-Sekalipun dianggap sudah biasa- adalah ancaman bangsa melalui peredaran berbagai jenis Narkotika. Ancaman ini masih terus berisolasi dengan cara mengendap-endap, tidak terang-terangan dan memasuki semua lini kehidupan masyarakat.

Tidak peduli apakah dia kepala daerah, aparat, PNS, akademisi termasuk para pelajar, ada saja dari mereka yang terlibat dalam penyalahgunaan Narkotika.

Peredaran dan penyalahgunaan Narkotika di Indonesia sendiri sudah sampai tahap sangat mengkhawatirkan. Dari data Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2015, jumlah pengguna Narkoba di Indonesia sebanyak 5,9 juta pengguna.

Ditahun yang sama juga BNN sudah mengamankan tiga ton Narkotika jenis sabu, dari berbagai kasus. Jumlah itu dipastikan terus meningkat. Hal itulah yang melatar belakangi Presiden Jokowi menetapkan Indonesia sedang dalam kondisi “Darurat Narkoba” dan menyatakan perang besar-besaran terhadap Narkoba.

UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Ditengah riuhnya kabar mengenai berbagai pengungkapan kasus-kasus besar peradaran gelap narkotika, diiringi juga dengan peningkatan jumlah pemakai Narkotika. Bisa dipastikan efek jera yang atur dalam hukum pidana ternyata tidak membuat gentar para pengedar maupun pengguna dalam berinteraksi dengan barang haram tersebut.

Padahal di dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, negara secara tegas sudah mengatur mengenai pemberian sanksi pidana yang berat kepada siapapun yang tebelit kasus Narkotika.

Dalam rangka menimbulkan efek jera terhadap pelaku dan prekursor Nakotika, UU Narkotika mengatur mengenai pemberian sanksi pidana. Baik dalam bentuk pidana penjara 20 tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Setidaknya terdapat 6 Pasal dalam UU Narkotika yang diancam dengan hukuman mati.

Ditengah usaha dalam perang terhadap Narkoba, ternyata juga berdampak pada semakin banyaknya pengedar mapun pengguna yang tertangkap dan dikurung dalam penjara. Berdasarkan data Ditjenpas Kementerian Hukum dan HAM 2014, jumlah napi dan tahanan Narkotika berjumlah 62.916 orang, dengan penjabaran jumlah Napi Narkotika adalah 44.770 orang, yang terdiri dari 33.994 orang bandar/pengedar.

Ada 10.600 orang merupakan penyalahguna dan sebanyak 17.426 orang merupakan tahanan Narkotika. Sedangkan jumlah Napi dan tahanan di seluruh Indonesia berjumlah 163.404 orang. Berarti, 38% dari Napi dan tahanan di Indonesia berlatar belakang tindak pidana Narkotika.

Termutakhir, tentang dibakarnya Rumah Tahanan Malabero di Kota Bengkulu oleh para tahanan, ketika BNN ingin menangkap salah satu bandar Narkoba yang mengendalikan bisnis Narkobanya dari dalam tahanan, sekaligus mengedarkan Narkoba di dalam penjara. Tentunya kabar tentang peredaran Narkoba di dalam penjara bukan hal baru. Sudah merupakan aksioma, bahwa penjara adalah ‘surga’ bagi para penikmat Narkotika.

Bisnis Mengiurkan
Maraknya peredaran Narkoba di Lapas dan Rutan disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, menurut mantan Kepala BNN Komjen Pol. Anang Iskandar, para pengedar menganggap penjara merupakan tempat bisnis Narkoba yang menggiurkan. Sebab penggunanya sudah jelas.

Kedua, jumlah Napi dan tahanan kasus Narkoba dalam penepatannya diletakan dalam satu sel atau blok dengan Napi non-Narkoba. Sehingga mempermudah terjadinya transaksi dan memperluas jaringan peredaran Narkoba di dalam Lapas. Ketiga, kurangnya kontrol atau pengawasan dari petugas Lapas terhadap peredaran Narkoba di dalam Lapas maupun Rutan.

Atas dasar itulah, bisa dikatakan bahwa Lapas maupun Rutan bukan lagi untuk membina para tahanan agar menjadi orang yang semakin baik, melainkan menjadi pusat “training” kejahatan dan sarang peredaran Narkoba terbesar. Lapas maupun Rutan telah beralih fungsi menjadi sarang kejahatan yang dilindungi oleh subsistem penegakan hukum.

Solusinya, pemerintah perlu banyak berbenah dalam upaya pemberantasan Narkoba. Ini adalah pekerjaan rumah yang cukup berat dan harus segera diselesaikan. Tidak cukup dengan hanya membangun penjara dengan keamanan maksimun, tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM dan kesejahteraan petugas Lapas mapun Rutan.

Dengan memenjarakan semua pelaku penyalahguna Narkoba, tanpa diiringi dengan upaya rehabilitasi pengguna, agar pengguna bisa kembali menjalani kehidupan yang sebenarnya dan berdampak kepada para bandar kehilangan pangsa pasar.

Pemerintah sendiri bukannya diam dalam menghadapi persoalan ini. Sejak terbitnya UU No 35 Tahun 2009, maka korban penyalahgunaan Narkoba cukup direhabilitasi. Sayangnya, amanat UU agar dilakukan rehabilitasi tidak berjalan mulus. Aparat penegak hukum masih menggunakan penjara sebagai “hadiah” bagi korban penyalahgunaan Narkoba.

Ajang komoditas

Penangkapan dikaitkan dengan program rehabilitasi tidak selalu berjalan mulus. Disamping prosedurnya tidak mudah, seringkali dijadikan sebagai komuditas untuk mendapatkan keuntungan oleh oknum petugas kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Penyedia rehabilitasi dan makelar kasus, dengan cara berkolusi dalam penanganan kasus, dengan skenario rapi dan lepas dari pantauan publik maupun sorotan media.

Fenomena itu menjadi penguat, bahwa UU No 35 Tahun 2009 gagal diterapkan. Kegagalan tersebut disebabkan oleh dua faktor penting. Pertama UU tidak didukung penuh secara konsisten oleh para penegak hukum yang memaksa, memenjarakan pengguna Narkotika sebagai pelaku kriminal dan bukan korban.

Kedua secara tidak langsung sistem penegakan hukum mengarahkan para korban tidak berakhir direhabilitasi, melainkan di penjara sebagai seorang kriminal, yang akhirnya menjadi target pasar para pengedar Narkotika di dalam penjara.

Kalau analisa diatas benar, artinya instrumen negara mempunyai andil besar dalam melanggengkan peredaran Narkoba dalam skala massif. Kita hanya bisa berharap semoga negara tidak lalai dan bertanggungjawab dalam permasalahan Narkotika yang sedang membelit bangsa ini.

Penulis: Mahasiswa Fakultas Hukum Unib