Kamis, Maret 28, 2024

Cium Tangan Budaya Feodal

12733470_959096277472886_1812702579653178601_n

Resonansi: Benny Hakim Benardie
Jika tidak salah, di Tahun 1995 pernah saya membaca tulisan yang menyebutkan kalau cium tangan itu merupakan budaya feodal. Orang Indonesia tidak mengenal budaya bersalaman dengan cara menunduk dan mencium tangan.

Hingga kini belum ada yang tahu, bagaimana budaya orang Indonesia itu menyapa, menghormati sesama bangsa sendiri atau terhadap bangsa lain. Mungkin saja pendelegasian sosial yang terjadi itu menang harus terjadi serta merta.

Bepegangtangan lalu pipi menempel ‘Cipika Cipiki-kah’ seperti umumnya bangsa ‘Arab’, atau menjabat tangan lalu menunduk seperti di India dilakukan? Mungkin memang benar menjabat tangan sembari menunduk mencium tangan? Atau ala Eropakah?

Indonesia yang terdiri 1.128 suku bangsa, dan data itu tentunya bisa saja kini berkurang karena berbagai sebab dan akibat. Di Indonesia, ada bangsa yang berbudaya, besalaman menunduk dengan mencium tangan, itu merupakan penggejawantahan penghormatan, sopan santun.

Di tempat lain di Indonesia, mungkin sulit kita temui hal serupa. Di Bengkulu sendiri misalnya, sebelum terserap budaya luar, tidak dikenal budaya mencium tangan sembari menunduk, yang selanjutnya dikatakan budaya feodal tersebut.

Mengutip salah satu pendapat menjelaskan, budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Tak Sopan

Kalau setuju itu dikatakan cara hidup yang berkembang, maka budaya cium tangan itu tentunya benar warisan dari kolonial saat menjajah di nusantara ini. Pertanyaannya, mengapa dimasyarakat dikatakan tidak sopan, berdosa, kurang ajar bahkan dikatakan orang yang tak tahu di adat. Berdalilkah?

Penulis mencoba meraba sisi psikologis dari sikap seseorang menunduk pada orang lain. Saat kita menundukan tubuh, maka selangkah kita telah kalah pada orang tersebut. Lagi pula, apa gunanya kita menunduk dan mencium tangan sesama kita manusia.

Apakah dengan berjabat tangan tanpa menunduk dan mencium tangan terhadap sesama atau orang lebih tua, kita sudah dipastikan kena vonisi? Rasanya terlalu naif berfikir seperti itu.

Meskipun kita sadar, tradisi yang berlangsung berulang-ulang dan lama itu kini sudah menjadi adat yang teradatkan, hukum, meminjam istilah Prof DR Hazairin SH. Lantas apakah kita kita tidak boleh berubah? meskikah kita mengalami stigma akibat perubahan yang kita pikir itu merupakan warisan kolonial?

Teringat kata Buya Hamka, “Jangan menolak perubahan hanya karena anda takut kehilangan yang telah dimiliki, karena dengannya anda merendahkan nilai yang bisa anda capai melalui perubahan itu. Anda tidak akan berhasil menjadi pribadi baru bila anda berkeras untuk mempertahankan cara-cara lama anda. Anda akan disebut baru, hanya bila cara-cara anda baru”.

Terlepas dari pegangan yang kita genggam selama ini, terserah kita melihat manfaatnya bagi kehidupan kita kedepan. Akal berbeda, bertingkat, kebutuhan setiap orangpun juga berbeda.

Jurnalis

Related

Sriharti di Negeri Bukan Perawan

Hembusan angin senai-senai saat mentari menyengat Negeri Bengkulu,  sudah...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Tamat)

Peran  Orang Dalam Tahun  kepemimpinan Residen Thomas Parr dianggap melakukan...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Part 2)

Siapa Pelakunya “Pribumi tak berprikemanuasiaan, kejam dan sadis”. Itulah yang...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Part 1-3 tulisan)

“Malam itu, sekelompok pribumi merangsek masuk Gedung Mount Felix...

Girik Cik: Matisuri Peradatan di Negeri Bukan Kukang

Tekad  anak negeri ingin “Adat Bersendi Sarak, Sarak Bersendikan...