By: Benny Bemardie
Pagi itu Negeri Antahberantah melakukan rutinitas seperti ekstra sibuk. Entah apa yang di kerjakan juga tidak jelas, bahkan mungkin tidak begitu penting bagi sekelompok masyarakat.
Skeptis, apatis rupanya sudah merasuki warga negeri itu, akibat aparatnya melakukan penegakan hukum sembari nenggak. Mending kalau langsung mabuk, tapi ini nggak! Nenggaknya nanggung. Akibatnya para aparat penegak yang ada jadi ‘Lebai Tanggung’.
Kata seorang teman, kalau di Indonesia (Termasuk di Bengkulu) aparat penegak hukum seperti itu tidak ada yang melakukan aksi 86. Kalau demikian perbandingannya, itu merupakan awal kehancuran negeri Antahberantah. Sudah merupakan aksioma, kalau sudah mendapat usaha 86, maka tentunya akan berlanjut dengan aksi 69.
“Dengan proyek salah dikit dan tentunya bisa di tolerir, apalagi imbas penegakan hukum dapat menghambat pembangunan di suatu negeri, maka dimulailah pengusutan. Ketakutan dan kecemasanpun mulai menghantui para pelaku. Akhirnya angka 86-pun muncul. Ternyata bukan 86 saja, tapi 86 x 69 = tetap lanjut hingga tersendal jepit”, cerita seorang teman berseloroh di Negeri Antahberantah. .
Seorang mengaku pengamat puitis nontitel akhirnya angkat bicara. “ Zaman saiki, ada asap, tiada asap namun ada api, itu nyata. Aparat itu memang seharusnya penegak. Masalahnya sekarang adalah, barang ini sudah nggak mau tegak-tegak lagi broo! Jadi perlu dibantu istilahnya pesulap Pak Tarno”.
Terperangah banyak orang yang mendengar dengan ekspresi tanpa maksud. Hanya Bung Satria yang berani menjawab, “ Yak Aauuuu….”.
Penulis dan Jurnalis