Kamis, Maret 28, 2024

Asmara di Pantai Panjang

Cerpen:Benny Hakim Benardie

Filosof Islam tersohor bernama Ibnu Rushd bilang: “Jika kau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala sesuatu yang batil dengan kemasan agama”.

Rindangnya pepohonan Erru yang tak hentinya bergoyang diterpa hembusan angin laut, membuat khayal para pasangan tua muda bukan mukhrim beranjak hanyut, jauh kelaut lepas seakan mengapai Negeri China di seberang lautan.

Jelang siang menyengat ubun-ubun, di tengah panas teriknya Bencoolen City, para pasangan duduk bercengkrama berharap asa. Gengaman jemari kian erat, tak perdulikan keringat telapak tangan menetes basahi pasir putih.

Sesekali pasangan lelakinya clingak-clinguk keberbagai arah, waspada mengamati situasi di sekelilingnya. Ini acap dilakukan sebelum tatap menatap mata dilakukan kedua insan, untuk mempererat hubungan kemesraan tanpa kesakralan. Padahal kota ini diproklamirkan sebagai kota religius bahkan plus beradat.

Di sisi hamparan pasir Pantai Panjang, Dodo Aminah yang kuluh kilir mencari barang bekas pakai, tak biasanya sempat berhenti sejenak mendengar percakapan sekelompok anak yang sedang berdiskusi. Mungkin dari kaum intelektal muda.

Biasanya, Dodo Aminah tak menghiraukan apapun aktifitas yang ada. Baginya barang bekas seperti plastik atau apapn yang dapat dijual, tak luput dari pandangannya. Kali ini Dodo Aminah mencobah duduk sejenak, sembari mengibas-ngibaskan selendang putihnya yang mulai tampak berubah warnanya.

Rupanya ini intlektual muda berfikiran bebas sedang menampik pemberlakukan adat.

“Jangan terikat kepada adat, adat itu memperpendek akal” jelas seorang anak muda berambut sebahu mengarahkan rekannya.

“Maaf ketua”, seorang gadis berjilbab panjang sepinggang menyelah. “Perlu ditambahkan lagi kalimatnya, agar kita dapat hiduplah bebas di muka bumi ini. Tapi ingat, Tuhan tetap Tuhan, jangan bertuhankan selain Tuhan, dan kita bukanlah Tuhan”.

Dodo Aminah yang hanya mengenyam sekolah Taman Kanak-Kanak, segera berdiri. Dengan kembali memikul karungnya, Dodo segera berlalu. Tampak raut kebingungan dengan ucapan yang kurang dimengertinya.

Persis di balik pohon Erru pantai, tak sengaja dirinya mendengar ada bisikan percakapan dua insan sedang bercengkrama miris terdengar di telinganya.

“Enggak eh kak… Ih kakak ko kanji nian!” Tegur si perempuan, sambil mencoba melepaskan pelukan.

“Idak papo dek” kata si pemuda.

“Janganlaah kak… Besok kami ndak sekolah”.

“Kan sekolahnya besok! Kinikan idak”, tegur pemuda terdengar seperti memaksakan kehendaknya.
“Ehm…” Dodo Aminah pura pura berdehem.

Lontaran meminta ampun pada Tuhan terus diucapkan wanita yang hanya mampu mengaji saja ini, sai melihat ulah pasangan tadi.

Seorang teman sesama pemulung menegur Dodo yang tampak beberapa kali mengsap mukanya. “Kenapa? Kena ulat bulu apa?” Tegurnya.

“Ah nggak apa-apa. Seperti hari kemarin sanak”.

“Ooo… Maunya bubuh ikan masuk, Kendak Kendak ikan idak”, katanya sambil ketawa terkekeh-kekeh.

Rupanya sang teman Dodo Aminah sepanjangh pantai panjang juga mendengarkan ungkapan yang membuat geli hatinya. Rayuan hampa tampa yang tertera sudah menjadi pendengarannya selama mencari barang bekas.

“Biarlah laut ini menjadi saksi, saat kita berselfie gaya mesra begini. Aban diam jolah dak”.
“Aaiih… Tung mbo malleh”, keluh satu pasangan dari balik semak-semak pantai berlogat seperti bukan bahasa Bencoolen City.

Kedua perempuan pemulung ini terus saja berlalu usai tadi mengintip ulah pasangan itu. Namun masih tampak rasa gundah gulana di raut muka Dodo Aminah.

“Padahal ini kan katanya negeri religius kan sanak? Kok masih aja ada yang begituan ya?” Tanya dodo Aminah mengerutkan keningnya.

“Kamu tahu dari mana?”

“Benar kok, aku dengar sendiri di TV pak pejabat yang ngomong. Tetangga dekat rumah juga nonton kok sama-sama”.

“Mungkinlah, aku nggak dengar. Setahu aku dulu, Bencoolen City ini Kota Semarak. Kepanjangan dari Sejuk, Aman, Ramah dan… Ah lupa aku satunya lagi”.

“Ya sudahlah, bahasan kita terlalu tinggi. Mendingan kita jalan lagi. Siapa tahu hasil kita hari ini lebih banyak,” ajak Dodo Aminah agar mereka beroperasi lagi.

Terik sinar mentari mulai redup, bergeser ke ufuk barat, bertanda siang akan meninggalkan Bencoolen City. Hingga sore akan menjelang, pantai panjang tetap saja ramai. Sara adzan Ashar yang terdengar sayup-sayup dibawa angin tidak bermakna sebuah panggilan.

Dodo Aminah dan temannya kini bergegas untuk beranjak pergi meninggalkan pantai. Sebelum melangkah, sempat Dodo yang seharunya sudah mempunyai suami ini menengadah sejenak menatap langit dan mengusap keringat dengan jilbabnya.

“Puji syukur Padamu Tuhan, kau temukan aku dengan waktu Asyar lagi”, katanya dalam hati.

Berjalan bersama mereka memasuki daerah Kelurahan Lempuing, dimana memang daerah ini dahulunmya banyak terdapat pepohonan lempuing. Mereka singgah di sebuah surau sebelum melanjutkan perjalanan menuju rumahnya yang masih berjarak 3 Kilo Meter lagi. Di sanalah Dodo Aminah dan temannya numpang Shalat Asyar, saat ceramah usai Sholat Asyar lagi berlangsung.

Terdengar olehnya usai shalat, kajian sang ustad yang ceramah tanpa mengenakan pengeras suara itu mengutip pernyataan seorang Filosof Islam tersohor bernama Ibnu Rushd yang oleh orang barat disebutnya Averous bilang: “Jika kau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala sesuatu yang batil dengan kemasan agama”.

Dodo Aminah yang mendengar tampak tidak mengerti benar pernyataan itu. Dirinya hanya paham, kalau namanya orang bodoh itu adalah orang yang tidak sekolah seperti dirinya. Itulah yang sering diucapkan masyarakat dekat tempat tinggalnya.

Malam menjelang Pantai Panjang kian marak. Deburan obak laut nyaris tak terdengar, pupus dengan suara musik riang dari cafe-cefe yang ada. Ungkapan pepatah lama ada benarnya. “Anak cicak di dalam bambu. Entah bekaki entahpun tidak. Kalau tepijak tanah Bengcoolen, entah balik entahlah idak”.

Sementara Dodo Aminah yang kini istirahat dirumahnya tak larut dalam kepedulian yang ada. Ketidaktahuan dan kepahaman terhadap ungkapan kiasan, juga tak pernah disesalinya.

“Rumah kecik idak bepagar. Rumah gedang idak bepagu. Masih kecik idak belajar, lah gedang idak pulo beguru”. Pepatah lama itu terhafal di benak Dodo Aminah, karena sering diungkap saat acara hajatan oleh pemandu acara. Akibat waktu kecil tidak belajar, sudah besar dirinyapun tidak pula dapat berguru karena kemiskinan orangtuanya.

Rasa kantuk mulai menghampiri Dodo Aminah. Baru sekeleyep mata terkatup, teriakan dari corong toa surau menyampaikan pengumuman. Terperanjat Dodo dari katilnya mendengar itu.

Tenyata sangkaannya meleset. Dikiranya ada kematian di sekitar tempat tinggalnya. Ternyata hanya sebuah pengumuman pada masyarakat, agar datang ke surau waktu subuh, karena pengurus negeri dan rombongan akan berkunjung Shalat Shubuh berjamaah. Ini sebagai wujud Bencoolen City religius.

“Ooo…” Mengangguk kepala Dodo Aminah dan kembali merebahkan tubuhnya ketikar di atas katil reotnya. “Semoga saja”, bisiknya.

Khayal sebelum tidur merasuk pikiran Dodo Aminah. Teringat kegenitan yang ada di Pantai Panjang yang belum pernah dirasakannya. Hasrat bekecamuk, namun asa belum mengapai dirinya. Tengadah tangan memohon pada Tuhan sudah dipintakan. Tapi Tuhan jua yang tahu, kapan asa itu diwujudkan.

Asmara di Pantai Panjang terus mengundang rasa manusiawi Dodo Aminah sebagai gadis normal. Hanya dua asa yang ada dalam pikirannya saat ini. Pertama, semoga besok dapat banyak hasil mulungnya untuk dijual, serta kapan ada lelaki akan menyuntingnya sebagai isteri.

Tak terasa fajar menyinsing. Pergulatan mengais rezeki dari mencari barang bekas akan Dodo Aminah lakoni. Tantangan bisikan mengundang syahwat di Pantai Panjang akan kembali singgah di telinganya.

Karung dan besi pengait sudah siap, langkah tanpa jarak akan mulai dijalaninya, sementara adik dan orangtuanya masih terpulas tidur, bermimpi Dodo Aminah pulang dengan banyak uang.

“Lindungi aku dan keluargaku Tuhan”, hatur Dodo sebelum melangkahkan kakinya.

Cerpenis tinggal di Bengkulu Kota

Related

Dunia Sehektar di Negeri Marlborough

“ Gunung Yang Engkau Lihat Indah, Sesungguhnya  Tak Seindah Apa...

Torehan Pena Emak

Cerpen:  Benny Hakim Benardie Kata kunci hidup itu bergerak....

Cerpen: Rumah Bengkulu

Oleh: Benny Hakim Benardie Sewindu sudah negeri ini tak ramai...

Tekijang

Cerpen Benny Hakim Benardie “Masih Kecik Kudo Tembago. La Gedang...

Bukit Tapak Paderi Sepenggal Kenangan

“Tak tahu dan diam itu wajar. Bila tahu tapi...