Jumat, Maret 29, 2024

Balik Ke Bengkulu

Cerpen: Benny Hakim Benardie

Aroma amis ikan terasa  menyengat,  saat kereta angin  mendorat melintas  daerah Kota Tua Pasar (Marga) Bengkulu nangterlenakan. Deburan ombak dan teriakan  penarik pukat , masih terngiang di benakku.  “tu duo  tigo…Bottooi. satu duo tigo….Bottoi”, aba-aba saat pukat ditarik, berharap jaring terisi penuh dengan ikan.

Itu  kenangan di Kota Bengkulu 40  tahun yang lalu.  Saat bangunan, monumen peninggalan koloni masih banyak,  ada tegak kokoh berdiri. Itu saat anak negeri belum perduli akan manfaat dari peninggalan koloni Inggris ataupun Belanda masih bercokol.

Itu saat semboyan “Berre Secupak, Ikan Sejerek, Rokok Sebatang, Madar” masih terlontar dari muncung anak negeri. Tatkala Slogan “Negeri Kecik Buayo Banyak” acap menjadi ceme’eh, tergiang di telinga.

Kemarin aku masih menetap, hidup  berjuang di Matraman Jakarta Timur. Hidup untuk kerja dan kerja.  Tiada keindahan alam asri, ketenangan sembari mendengar deburan ombak.

Hari ini  aku di Kota Bengkulu. Kota Selengek yang  kini separuh hilang kenanganku dahulu, saat 40 tahun yang lalu.  Tak ada lagi Beton pertahanan yang berjejer dipinggir pantai Pasar Bengkulu.  Benton yang dibangun  Koloni Inggris untuk antisipasi  serangan pihak musuh terhadap Fort York, Benteng pertahanan yang dibangun 1685, terletak didataran tinggi Pasar Bengkulu. Anak negeri kala itu menyebutnya daerah bukit.

Kereta angin terus ku kayuh berlahan. Tanpa terlihat beton pertahanan itu lagi. Beton Pertahanan itu kini tenggelam, masuk kedalam pasir. Tak akan ada lagi anak-anak yang saat bulan puasa duduk di sore hari  hingga jelang matahari berganti bulan berteriak, “Matahari sudah terbenam……Buka …….Buka”. Suara adzanpun mulai sayup terdengar.

Tapi itu hanya sekelumit kenangan dulu di Pasar Bengkulu berumah kayu. Perempuan tua dan muda kala itu masih tampak duduk di berenda mengenakan Bedak Beras. Bahkan bertandang kerumah tetanggapun, bedak yang terbuat dari  beras ditumbuk, dengan beberapa campuran ramuan, untuk mengencangkan  kulit wajah.

Wonderful  

Teringat kata seorang teman, saat ikut  traveling di Singapura 10 tahun yang lalu. Sebuah negara koloni Inggris yang kini maju pesat dibanding Bencoolen, Benkoelen, Bengkulu. Padahal saat awal kedatangan  Letnan Gubernur Bencoolen Sir Thomas Stamford Raffles ke  Singapura pada 29 Januari 1819 , negeri ini masih berawa-rawa.

Dibanding Bengkulu kala itu, sudah mempunyai bangunan kokoh seperti, bank, hotel, Gedung Tonil. Bahkan perekonomian kala itu cukup maju. Bila ada pertanyaan, kenapa sekarang terjadi berbanding jauh? Mungkinkah negeri Bengkulu itu salah urus atau negeri anak tiri? Aku rasa itu soal lain yang sensitif.

Mendung menyelimuti Kota Bengkulu Kereta anginku masing terparkir dipinggir jalan Kota Tua Pasar Bengkulu. Sembari jeprat jepret, androidku  tampak lowbat.  Tapi itu bukan kekuatiran, dibanding tercapainya kenangan lama di Negeri Selengek ini. Apapun itu bakkata pribahasa, “Asal Ayam Pulang Ke Lumbung, Asal Itik Pulang Ke Pelimbahan”. Aku tetap aku yang dulu, yang haus dengan kenangan lampau, sebagai pijakan ke masa depan.

Dari media sosial yang iseng ku buka, tertera berita setahun yang lalu, “Pemerintah Provinsi Bengkulu menyogsong program Visit 2020 Wonderful Bengkulu”. Awalmnya ku kira berita visit 2020 Indonesia. Ternyata bukan.  Ini merupakan tekad Pemerintah Provinsi Bengkulu, yang di nahkodai  Pelaksana Tugas Gubernur Bengkulu, Rohindin  Mersyah yang mengandeng Walikota dan bupati untuk mensukseskan  wisata sejarah, alam dan budaya yang ada.

Teringat saat di Singapura kala itu, seorang warga setempat yang mengaku keturunan Bencoolen, Bengkulu, Uwan Senai menjelaskan, salah satu barometer kemajuan negeri itu, banyaknya wisatawan. Untuk wisata itu, wisatawan itu suka hal unik dan yang lama. Meskipun mereka selalu menyayangi yang baru. “Termasuk dalam pasangan hidup”, kata Uwan Senai bergurau.

“Woi sanak…..Singgah dululah ngopi sini”, teriak seorang seseorang pria dari berenda rumahnya. Awalnya aku kaget dengan keramahan itu. Ternyata pria itu masih saudara jauh orang tuaku.

“Eh iyo  sanak……Siap”, jawabku yang dalam hati bilang, “Muantap…Kebetulan nih”.

Suatru budaya dan tradisi lama yang belum pupus. Kebiasaan ngopi yang hingga kini masih dilakukan.  Teringat seorang teman di Jakarta yang pernah bercerita, lambungnya ‘hampir pecah’ saat tiga minggu bekujung ke Bengkulu 2005 lalu. Dimana dia dari pagi selalu disuguhkan kopi kental,  setiap bertandang kerumah sanak saudara temannya.  Sungguh cerita agak mengelikan.

Pinang Pulang Ke Tampuknya

Agenda  Plt Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah,  saat berbincang sembari ngopi di Pasar Bengkulu, agak ngeri  ngeli sedap. Paling tidak, pikirku, Rohidin harus berjiwa ikhlas.   Karena sosok pejabat publik zaman kini rawan di buli. “Tapi bukan buli iyo buli idak” dalam Bahasa Bengkulu.

Kuatirnya, bila terwujud Visit 2020 Wonderful Bengkulu, “Isi Lemak Dapat Ke Orang, Tulang Bulu Pulang Ke Kita”. Oventurir Mendapat Senangnya.  Tapi itulah resiko politisi intlektual duduk di birokrat.

“Wisata sejarah, wisata budaya dan alam inilah yang sangat mungkin meraup dolar, rupiah  masuk ke  kas daerah. Yang lain sebagai penunjang”, kata sanakku sembari ngopi.

Aku hanya mengangguk, sembari mencoba menganalisa. “Oo begitu rupanya Tapi Aku rasa itu tidakan betul. Sayang sumber daya yang ada tidak di berdayakan”, celetukku. Apalagi Rohidin Mersya itu putra daerah. Tentunya  dia mempunya tanggungjawab moral yang berat dipundaknya.

Memang mewujudkan ini,  “Murah Di Muncung, Mahal Di Timbangan”. Mudah mengatakan, tetapi sukar melakukannya bila itu tidak di suport seluruh element masyarakat.

“Tapi apa iya, kerja baik untuk kemaslahatan dan kesejahteraan Provinsi Bengkulu ada yang tak mendukung?”

“Mungkin saja sanak. Apalagi kini trend-nya politik menjadi panglima”, ujar seseorang membantah pendapatku.

Aku hanya diam sembari anguk-anguk kepala. Dalam hatiku berkiata, “Mati Ikan Karena Umpan Mati Sahaya Karena Budi. Artinya, selagi manusia dapat dibujuk atau dikuasai dengan budi atau mulut manis” fikirku.

Tak berapa lama, azan berkumandang. Tak seperti zaman dahulu, hanya sayup-sayup sampai terdengar.  Aku permisi hatur pamit pulang menuju penginapan di daerah Peramu’an. Kini disebut Prapto oleh anak-anak muda.

Baru sekitar 500 Meter menuju keluar Pasar Bengkulu, Aku berhenti untuk Shalat, disebuah Masjid  Muhammadiyah, yang jaraknya tak seberapa jauh dari lokasi Fort York. Benteng pertama di bangun Koloni Inggris.  Selain Fort Marlborough di kawasan Cina Town  dan Fort Anna di Kabupaten Mukomuko.

Cerpenis tinggal di Bengkulu Kota.

Related

Dunia Sehektar di Negeri Marlborough

“ Gunung Yang Engkau Lihat Indah, Sesungguhnya  Tak Seindah Apa...

Torehan Pena Emak

Cerpen:  Benny Hakim Benardie Kata kunci hidup itu bergerak....

Cerpen: Rumah Bengkulu

Oleh: Benny Hakim Benardie Sewindu sudah negeri ini tak ramai...

Tekijang

Cerpen Benny Hakim Benardie “Masih Kecik Kudo Tembago. La Gedang...

Bukit Tapak Paderi Sepenggal Kenangan

“Tak tahu dan diam itu wajar. Bila tahu tapi...