Cerpen Sejarah: Benny Hakim Benardie
Pagi sabtu itu bulan Desember 1893. Cuaca tampaknya mulai mendung. Tapi itu tak dihiraukan oleh para penunggang plankin atau gerobak yang tampaknya datang dari arah selatan Kota Benkolen menuju pelabuhan kapal laut BOOM, di Ujung Karang. Letaknya hanya beberapa puluh meter dari Fort Marlborough.
Iringan plankin itu acap melintas di depan rumah. Poyangku kala itu masih remaja belasan tahun tak tahu apa yang diangkut . Poyangku hanya tahu, saat hentakan kakai sapi melintas, ia segera bergegas duduk di tangga kayu rumah. Katanya itu tontonan yang paling menarik kala itu, selain melihat tentara Belanda yang baris berbaris.
Tak terasa khayalku menerawang jauh melalang buana , saat Bakku mengulas cerita yang disampaikan datuknya ke aku. Tersentak, terkejut aku saat petir tiba-tiba menghantam pucuk pohon nyiur di samping rumah.
“Tak usah dihiraukan. Itu Ular naga lagi ngamuk karena lapar. Mangkanya pohon nyiur di sembarnya”, kata Bakku, sembaru mengusap kepalaku, agar tenang tak cemas.
“Terus ceritanya apalagi Bak?” Tanyaku pada Bak yang kesehariannya hanya buruh upahan di perkebunan buah Labu milik tuan pendatang dari negeri India. Sedangkan Emak hanya dukun beranak, yang sesekali nyambi sebagai pementik biji kopi di daerah Pasar Melintang.
Sembari Bak melinting rokok daun nipah, tampak kening ayah berkerut, saat aku tanyakan apakah Negeri Benkoelen ini memang negeri yang panas.
“Namanya juga negeri dipinggir pantai, pastilah panas Nak”, jawabnya. Tak lama beselang Emak datang menyuguhkan kopi dan dua teh manis serta sepiring kaleng rebusan ubi rambat.
“Memangnya Kota Bengkulu yang kata Bak tadi zaman Belanda namanya Benkoelen ini, apakah Pohon Kenina yang banyak dipinggir jalan, yang kini sudah dikit karena ditebang pemerintah itu sudah ada Bak?” Tanyaku.
Bak tampak sumringah. Tapi Mak tak tampak ekspresi dimukanya mendengar apa yang Bak ceritakan padaku. “Itu pohon kenina, kita orang Bengkulu saja yang menyebutnya. Sebenarnya itu namanya Pohon Mahoni. Memang dari zaman dahulu adanya, dan memang Belanda yang nanamnya pertama kali” kata Bak sembari menyeruput kopi bergula merah, racikan Mak sendiri.
“Untuk apo kau mau tau crito Poyang kau itu Nak?” Emak menyela pembicaraan. Aku hanya tersenyum. Sembari memegang jemari Emak yang kini tampak keriput, lisut.
Tak lama berselang, tiba-tiba Emak bergegas tegas berdiri, “ Aduh……Tadi ini Emak kan nanak nasi”, katanya langsung menuju dapur. Mendangar itu tampak mata Bak membesar, melihat kearah Emak.
“Nah…..sekarang baiknya kamu dengar baik-baik. Bak lanjutkan ceritera Poyang kau dulu tentang Benkolen ini abad ke-18. Coba kau denga ya Nak. Nanti ini bahan cerita kau saat kau sudah dewasa nanti”, pesan Bak, sambil mengunya ubi rambat alias ubi jalar yang yang kemarin aku ambil di pelak rumah (Halaman/kebun samping rumah).
Masih Sepi
Angin senai-senai berlahan masuk melalui celah-celah renggangnya di dinding papan. Aku sempat menyubuk kelangit dari pintu jendela, tampak langit mendung. Tapi aku tak cemas dan risau. Karena Bak sama Emak pernah bilang, mendung tak berarti hujan akan turun. Ada hari panas, mendadak hujan. Ada saat sejuk, menggelegar petir menghantar hujan.
“Bak kemana Mak?” Tanyaku.
“Tadi ada di beranda depan. Mungkin masih mengasah tpmbak sama parangnya. Katanya besok mau berburu kearah utara, dusun Talang Poseng”, kata Emak yang menebak ulah Bak setiap jelang esok hari Ahad tiba .
Aku segera menuju ke beranda rumah. Ternyata Bak tampak lagi duduk merokok dengan rokok daun nipah. “Bak Cerita lagi soal Benkoelen yang Bak dengan dari poyang tu”, pinta ku.
“Ya sudah, ambillkan sarung tombak dan parang Bak dulu di atas kabat (lemari) belakang”, perintah Bak. Bergegas aku berlari.
Usai aku berikan apa yang dininta Bak, aku duduk di kursi rotan goyang, sambil melihat Bak yang berkerut kening, mencoba mengingat kembali cerita kisah lama dari kakeknya ya poyang aku itu.
Dulu, kata Bak memulai cerita, Benkoelen atau Bengkulu ini sisebut orang daerah bagian barat Pulau Sumatra. Penduduk kota ini Tahun 1893, masyarakatnya hanya 160.650 jiwa. Itupun terbagi dari orang barat atau eropa ada 164 orang.
“Kok Poyang bisa tahu? Memangnya Poyang aku dulu itu menghitung ya Bak”, tanyaku.
“Bukan menghitung satu satu penduduk yang ada. Tapi kala itu poyang kau itu bagian juru tulis Belanda. Kadang- kadang ditunjuk sebagai tukang lobi atau tukang rayu petani yang ingin menjual buah labu mereka ke pihak Belanda”.
Itu……..Jelas Bak, baru hitungan orang dari barat. Belum lagi ada 557 Orang Cina, yang sudah ada di Benkoelen ini sebelum orang Inggris datang ke Bengkulu. Ada 47 orang Arab dan sisanya orang Bugis, Minang dan lainnya, yang dulunya berdagang dan menjadi tentara hitam.
“Yang namanya kota Benkolen itu belum seluas kini Nak. Luasnya baru 443,9 meter persegi”, jelas Bak yang selalu semangat tinggi setiap diajak cerita Bengkulu tempo doeloe yang dia dapat dari kakeknya.
Beridiri Bak dari kursnya. “Sebentar Bak ambil cacatan Poyang kau dulu”, kata Bak masuk ke dalam kamar. “Jadi begini “, kata Bak datang dari dalam rumah. “Dulu, Benkoelen ini ada delapan wilayah administratif”.
“Wilayah apa itu bak”, tanyaku.
“itu wilayah administrasi, wilayah yang batasnya ditentukan sesuai kepentingan administrasi pemerintahan atau politik Belanda. Tapi tak usahlah kau tah dan banyak tanya. Itu urusan orang-orang sekolah kelas tinggi aja”, kat Bak mungkin ngeles dari ketidaktahuannya.
Zaman itu, daerah di Negeri Benkoelen di bawah pengawas orang Belanda yaitu Benkoelen , Kawasan disekitar Benkoelen, Lais, Mokko-Mokko, Seloema, Manna dan Pasoemah ulu Manna, Kauer (Kaoer) dan Kroe. Itu sejak Tahun 1873.
“Jadi kita ini orang mana Bak?” Tanyaku.
“Orang Bengkulu lah kita. Orang Bengkulu itu adalah orang yang lama tinggal di Bengkulu dan menghirup dan makan dari hasil di Bengkulu ini”, jawab Bak dengan nada mulai tinggi.
Benkoelen kala itu jelas Bak dengan nada kembali rendah, ditempati oleh orang-orang berbagai suku dari daerah tetangga. Sebagian dari masyarakat Kroe dan Kaoer. Karena itu dulu pada abad ke 17, di Kota Bengkulu ini pernah ada bahasa Kroi sebagai bahasa masyarakat kita. Waktu itu belum masuk berkembang Bahasa Melayu Bengkulu.
Memang sebagian besar wilayah Lampung, Manna dan Seloema dari Suku Pasemah. Dataran rendah dan Lais dari Suku Rejang yang selalu mengunakan lembaga leluhur nenek moyang mereka.
“Nah…………Dalan tulisan poyang ini catatan yang digaris. Coba kau simak. The Benkoeloenees digambarkan sebagai malas dan acuh tak acuh, pecinta berlebihan kesenangan, dan sering dijiwai dengan semangat kemandirian overslaanden pemberontakan”, itulah bahasanya kira-kira.
“Ya udah kalau begitu. Biar aku aja baca sendiri Bak”, pinyta ku. Sembari mencium kening Bak dan beranjak masuk ke bilik kamar.
Oo Begitu Ternyata
Mumpung waktu Shalat Isyah belum masuk, aku berbarimh di katil reot berkelambu. Berlahan catatan tuaituaku buka, agar tak sobek. Usai aku baca perlahan, ternyata itulah anggapan orang Belanda terhadap pribumi.
Dikatakan dalam catatan usang itu, sifat penduduk pribumi kala itu kurang efektif. Pribumi dalam mengolah pertanian tidak modern. Padi kebanyakan dibudidayakan di ladang atau di lahan basah. Sawah yang disiram sedikit sekali air, kecuali di wilaya Mokko-Mokko. Wilaya yang merupakan satu-satunya yang bertani beras. Yang lain memberikan cukup buruk untuk kebutuhan penduduk.
“Oo,,,,Begitu rupanya zaman itu. Rumah penduduk asli dibangun dari tanah dan tidak berdampingan atau berdempetan”, pikirku sembari menguap.
Tak sadar aku terlelap tidur. Jelang magrib aku tersentak kaget, dan bergegas ke sumur untuk mengejar Shalat Isya. Baru usai wudhu, kumandang adzan magrib memangil. Lewatlah ibadah hanya gara-gara keingintahuanku di Tahun 2019 ini.
Cerpenis tinggal di Kota Bengkulu.
The post Benkoelen Dalam Cerita Poyangku appeared first on suaramelayu.com.