Kamis, Maret 28, 2024

Catatan Muhammadiyah dan Kritik Terhadap Negara Selama Pandemi

“Tak ada penyakit yang tak bisa disembuhkan kecuali kemalasan. Tak ada obat yang berguna kecuali kurangnya pengetahuan.”                                                                                             ~Ibnu Sina (Pelopor Ilmu Kedokteran)

 

Kemajuan teknosains telah mengubah banyak hal dimensi internal kita yaitu karakter, sikap, perilaku dan cara berpikir sehari-hari. Demikian juga kehidupan eksternal berbangsa dan  bernegara.

Perkembangan Teknosains dalam bidang epidemiologi yang diharapkan mampu menjawab tantangan masa depan yang semakin sulit diprediksi (Unpredictable future) apa yang akan terjadi kedepan, justru tidak dapat secara cepat mengantisipasi bencana global virus Covid-19 yang sudah kurang lebih 1,5 tahun melanda Indonesia.

Tidak ada data dan fakta yang secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan, dari mana asal usul pertama kali virus covid-19 ini menyebar? Berbagai spekulasi pendapat bermunculan dari Barat cenderung menganggap virus ini dimulai dari kebocoran Laboratorium China di Kota Wuhan, yang awalnya dikumpulkan dari alam liar melawan teori adanya lompatan virus alami dari kalelawar ke manusia atau lewat hewan mamalia lainnya.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof. Abdul Mu’ti berpendapat lain. Asal usul Covid-19 bukan dari China, tapi sunnatullah. Karena China salah satu negara yang mengalami kerugian besar dari bencana ini. Jadi tidak mungkin China menciptakan virus yang merugikan dirinya sendiri.

Sunnatullah artinya manusia yang tidak menjaga kebersihan, maka berbagai penyakit bisa datang dan itu sunnatullah. (Tempo, 5 Agustus 2021). Jawaban asal usul ini menjadi sangat penting untuk menjawab, agar peristiwa pandemi ini tidak terulang kembali di masa depan.

Muhammadiyah dalam konteks peranannya penanganan Covid-19 berkolaborasi bersama Negara dan Amal Usaha Muhammadiyah (Lazismu, MDMC, Ortom, 117 Rumah Sakit, dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah) terus berkontribusi dan melakukan langkah-langkah praksis seperti vaksinasi massal, penyaluran bantuan untuk masyarakat yang terdampak dan melibatkan 83 Rumah Sakit (RS) Muhammadiyah dari 117 RS. Melibatkan 75 ribu relawan untuk menangani pandemi Covid-19.

Adapun dana yang sudah digelontorkan sebesar Rp1 Triliun, sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola keuangan dari Publik yang dikelola Muhammadiyah.

Muhammadiyah sebagai kekuatan organisasi civil society menjalankan advokasi peran kemanusiaannya mengajak elemen bangsa lainnya, bersama-sama bahu membahu menyelesaikan problematika global ini, Muhammadiyah tidak masuk ranah politik kebijakan pemerintah.

Negara dan Kebijakan Penanganan Covid-19

Konstitusi UUD 1945 memerintahkan bahwa kewajiban negara adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia, keamanan, kesejahteraan umum, dan keselamatan rakyat.

Pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan atau keputusan politik. Mulai lock down, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB Ketat, PSBB Transisi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro/makro, PPKM Darurat dan PPKM  level 1-4.

Dalam penanganan pandemi ini yang sangat berdampak besar terhadap perekonomian negara. Karena hampir seluruh sektor ekonomi, baik ritel perbelanjaan, hotel, transportasi, maskapai penerbangan, UMKM mengalami kerugian.

Kemudian, pemangkasan karyawan oleh sebagian besar perusahaan, karena kegiatan operasional perusahaan berhenti. Dampaknya angka statistik pengangguran meningkat. Kemudian dari sektor pendidikan tidak berjalan maksimal, karena dilakukan secara online/daring. Sedangkan tidak semua daerah merata bisa menikmati fasilitas dan kuota internet. Sektor birokrasi juga demikian, pelayanan kepada masyarakat tidak bisa berjalan maksimal karena diberlakukan kebijakan Work From Home (WFH).

Pemerintah berupaya keras dalam menangani pandemic. Baik dari sisi pengendalian penyebaran virus dan ekonomi masyarakat. Kebijakan Pemerintah dalam konteks menghentikan laju penyebaran Covid-19, dengan melakukan vaksinasi massal secara massif di seluruh wilayah Indonesia  dan kebijakan ekonomi yaitu menyalurkan bantuan sosial (Bansos)/bantuan langsung tunai (BLT)/Bantuan Keluarga Harapan (PKH)/Kartu Pra Kerja dsb. Vaksinasi yang dimulai awal Tahun 2021 sampai sekarang, diharapkan bisa mengurangi korban pandemi. Data menunjukkan tentang Covid-19 per 10 Agustus 2021 yaitu ; Positif 3.718.821, Sembuh 3.171.147, dan Meninggal 110.619.

Penulis menilai ada beberapa kealpaan Pemerintah dalam proses penanganan Covid-19, yaitu ;

Pemerintah tidak bersikap antisipatif terhadap bahaya pandemi kala pertama kali virus ini melanda China, terkesan mengabaikan tanpa adanya upaya untuk mengkonfirmasi atau mengkaji lebih dalam dampak ancaman virus tersebut terhadap negara global umumnya dan Indonesia khususnya sehingga gelagapan ketika virus ini sudah menyebar di masyarakat dengan langsung menerapkan kebijakan.
Tidak adanya konsolidasi komunikasi yang solid antar elit Pemerintah terkait kebijakan, sehingga terkesan penanganan Covid-19 menjadi panggung politik bagi masing-masing elit. Ini mencapai titik klimaks politik pada akhir-akhir ini sebagaimana terlihat baliho kampanye figur utama partai politik bermunculan dimana-mana daripada Baliho ajakan untuk bersama-sama menuntaskan pandemi.
Pemerintah dalam proses penanganan Covid-19 tidak maksimal melibatkan para ilmuwan epidemiologi. Baik yang ada di Indonesia dan di luar negeri.
Presiden Jokowi yang menunjuk Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Airlangga Hartarto dan Luhut Binsar Panjaitan adalah kurang tepat. Seharusnya Ketua Satgas dipimpin langsung oleh ilmuwan/scientist, karna langkah-langkah kebijakan yang diambil berdasarkan riset dan sains bukan bersifat politis serta tidak terjebak pada konflik egosentris antar elit.

Contoh ; Ibu Siti Fadillah Supari (Mantan Menteri Kesehatan RI) yang sudah lebih dulu                  berpengalaman dalam menyelesaikan wabah flu burung yang pernah melanda Indonesia            Tahun 2004.

Sikap para elit yang paradoks/ganda dan tidak memberi tauladan yang baik kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak peduli dengan kebijakan yang diberlakukan. Contoh, Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara yang terbukti korupsi menerima uang sebesar Rp32,4 Miliar dari rekanan penyedia bantuan sosial penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial.
Ada diskriminasi dalam penindakan kerumunan antara masyarakat kelas bawah dan atas (Pembubaran dengan pendekatan represif oleh aparat Satpol PP terhadap pedagang yang notabene rakyat kecil, memunculkan sikap rakyat yang tidak simpatik terhadap praktek kebijakan yang dikeluarkan pemerintah di daerah).
Ditemukan adanya praktek manipulasi data pasien Covid-19, yang dilakukan oknum Rumah Sakit dengan motif untuk mendapatkan bantuan anggaran . Tidak adanya lembaga pengawasan negara yang mengaudit dugaan permainan bisnis biaya Swab dan PCR yang mahal dan berbeda-beda disetiap daerah. Seharusnya digratiskan, karena negara sedang menghadapi tantangan solidaritas kemanusiaan untuk keluar dari Pandemi bukan malah menambah beban rakyat.

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis Mafia Tanah sudah menggurita dan telah...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...