Kamis, Maret 28, 2024

Cerpen: Perjuangan Ayahku

Oleh:  Benny Hakim Benardie

Perjuangan seorang ayah baru disadari Abeng sejak dirinya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Saat itu dirinya baru menjelang melihat pergulatan ayahnya mencari penghidupan sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Sementara temannya bersekolah mengenakan kendaraan bermotor, Abeng tetap bersekolah dengan berjalan kaki. Untung saja jarak sekolah dengan rumahnya hanya berkisar 2 Kilometer saja. Meskipun bermandikan peluh, kenyataan hidup itu tetap dijalaninya.

Sempat terbersit di pikiran Abeng untuk putus sekolah, dan memilih bekerja, untuk membantu ayahnya yang notabene sebagai pegawai kecil. Namun niatnya itu urung dilakukannya, setelah berbagai nasehat ayah memberikan motivasi, agar dirinya jangan meninggalkan bangku sekolah.

“Kalau TIdak sekolah, siap-siap saja bahu kamu itu,” pesan ayah menunjukan bersiap-siap kalau mau menjadi kuli panggul.

Awalnya semua itu diniatkan Abeng, karena pilu dan sedih hatinya, saat melihat perjuangan Sang Ayah, mencari kebutuhan hidup bagi keenam anaknya dengan asupan yang halal, bahkan subhat pun tidak.

Ibunya untuk mencari tambahan, terkadang berupaya mencari seseran, dengan mengkreditkan baju yang diambilnya dari seorang temannya.

Untung yang tak seberapa, baru dapat dicicipi, setelah sebulan berakhir. Belum lagi saat Ibu pulang murung dan terkadang berlinang air mata, saat ia tahu kalau orang yang mengambil bajunya sudah pindah rumah, dan tidak diketahui lagi keberadaannya.

Siang itu, 1987 dimana tampak adik-adiknya Abeng asyik bermain bersama temannya di pingiran terminal, Abeng sibuk meraut rangka layang-layang, untuk dijualnya nanti, usai pulang sekolah.

Sayup-sayup terdengar ibu memanggil. “Beng… Belikan Ibu bawang merah di warung dekat masjid ya nak… Agak cepat sedikit ya, sebentar lagi Ayah mu pulang!” teriak ibu dari dapur.

Bergegas semua yang dikerjakan Abeng ditingalkannya, menghampiri ibunya, untuk mengambil uang 2000 rupiah, Abeng berlari-lari kecil.

Saat melintas di pinggiran masjid menuju warung, Abeng sempat terhenti sejenak, saat seorang Ustad dengan suara lantang menghenyak hati Abeng.

“Disampaikan Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata”, kata Ustad di hadapan 20an jamaahnya. “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu! ’Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’”

Tersentak Abeng dengan bawang merah pesanan Ibunya, kembali bergegas menuju menunaikan amanat ibunya. Setibanya ia di rumah, dilihatnya ibu sedang mencuci baru kotor, yang memang bertumpuk di dalam keranjang.

“Nih bu bawang merahnya”.

Ditingalkannya cucian kotor itu, dan segera mengambil dan mengiris bawah itu. Makash Nak. Ya udah, sana lanjutkan lagi buat layang-layangnya,” tegur Ibu.

Abeng melintas angan melihat kerja ibunya, usai apa yang disampaikan Ustad di masjid tadi.

Mengundurkan Diri
Saat layang-layang baru tiga buah jadi, terdengar suara motor butut ayah. “Asslamualaikum,”

“Wa’alaikumsalaim salam” jawab Abeng dan ibu.

Tak lama menyusul kelima adik Abeng, yang langsung mencium tangan Ayahnya. Ibu segera menyodorkan segelas teh manis. Raut muka ayah hari itu tampak kusut.

Entah apa soalnya, tak satu pun berani menanyakannya. Sesekali tampak ayah menghela nafas panjang.

“Ibu… anak-anak semua berkumpul di tikar sini,” panggil ayah.

Tak biasanya ayah begini, pikir Abeng dalam hati.

Mereka sekeluarga tampak berkumpul, dan tampak Ibu dan Abeng menduga-duga cemas, soal apakah yang akan dikatakan ayahnya. Berlahan, ayah mulai bicara dengan nada sedikit serak.

“Ibu, dan anak-anak ayah semuanya yang ayah sayangi. Walau bagaimanapun kalian harus tetap sekolah. Kita harus tetap hidup. Ayah kini telah memutuskan untuk berhenti menjadi pegawai”.

Bak petir di siang panas, ibu tampak menitikan air mata. “Ke.. ke.. kenapa ayah,” tanya ibu sembari menghapus air mata yang membasahi pipinya.

“Ini merupakan keputusan ayah bu! Bila terus menjadi pegawai, anak-anak tidak akan selesai sekolahnya. Langkah selanjutnya biarlah ayah yang mikir,” kata ayah dengan senyuman. Sementara keenam menangis, meskipun mereka tak sepenuhnya tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Ayah berpesan pada ibu, agar sementara menjaga anak.-anak, karena lusa ayah ingin hijrah, mengadu nasib di Kota Jakarta. Ibu pun mengaggukan kepalanya berkali-kali. Ibu sadar kalau hidup ini merupakan pilihan.

Terkadang hidup dihadapkan pada dua pilihan yang tidak kita ingini, sedangkan kita harus tetap memilih.

Sore itu, Abeng sempat panggil ayah ke dalam kamar. Ayah berpesan, Inilah hidup nak. “Gunung yang Engkau Lihat Indah, Tak Seindah apa yang Engkau Lihat”.

Gunung dari jauh kalau kamu lihat menabjubkan keindahannya, tapi saat kamu datangi itu gunung, maka kamu akan lihat banyak jurang terjal, kayu mati bahkan bangkai hewan mati pun ada.

“Iya Ayah,” jawab Abeng sebagai anak tertua. Tak disadari mereka, dari balik dinding, kelima adik Abeng juga mendengarkan percakapan itu.

“Beng… Hidup ini keras. Bila kamu terdesak dalam hidup ini, jangan tedeng aling-aling, bila perlu tembok tebal itu kamu tabrak, meskipun kamu tahu kalau tembok itu tak akan jebol. Tapi itu bila mendapat desakan dalam hidup,” pesan ayah yang masih tersenyum. Tak tampak jua linangan air mata di mata ayah dalah kesusahannya.

Berangkat Tanpa Pamit
Pagi itu, seperti biasa, ibu merebus air untuk menyiapkan minuman bagi kelima anaknya, sementara adik Abeng yang bungsu memang belum cukup umur untuk sekolah. Mereka masih bertemu dengan ayah dan berpamitan.

Sepulang sekolah, hingga malam menjelang, anak-anak baru tahu kalau ayahnya sudah pergi merantau ke Jakarta. Tak banyak yang ditinggalkan ayah kepada ibu, kecuali persiapan makanan dan uang kemarin, yang tak lebih dari 25 ribu rupiah.

Kini ibu harus mengurus keenam anaknya, tanpa suaminya yang pergi mencari penghidupan di perantauan. Entah bagaimana, ibu mencari makan, hingga itu berlangsung empat tahun lebih lamanya, hingga Abeng dan adiknya nomor dua menyelesaikan sekolah menengah atasnya.

Hari jumat itu, selesai orang-orang melakukan ibadah sholat, mendapat telegram, kalau ayah sudah bekerja menjadi wartawan di salah satu surat kabar ternama. Ibu memanggil Abeng.

“Ayah tampaknya sudah mapan di Jakarta. Kita harus ikut ke sana,” kata ibu. Abeng setuju. Dengan mendapat suport dari keluarga besar, termasuk uang, selang dua minggu, mereka berangkat ke Jakarta menyusul ayah.

Di tahun 1991, mereka sekeluarga berangkat hijrah ke Ibukota Jakarta, dengan tangisan para tetangga yang ada di Kota Bengkulu. MEreka hidup di Jakarta dengan mengontrak rumah.

Ayah tetap tunggal sebagai pemenuh kebutuhan hidup keluarga. Akhirnya keenam anaknya selesai sekolah hingga ke perguran tinggi, dan sudah bisa mencari penghidupan sendiri.

Kini ayah dan ibu sudah capai, kini tingga menikmati hasilnya saja. terkadang menulis masih dilakoninya, meskipun dengan honor yang tidak seberapa. “Siapa menuai badai, maka akan dilanda angin. Siapa yang menuai padi, maka ia akan menuai hasilnya pula,” kata ayah kepada anak cucu-cucunya.

Satu yang masih menimbulkan tanya dalam benak Abeng soal pesan ayah beberapa tahun lalu. Belajar kaya itu mudah, belajar miskin itu sudah. Kalau kita miskin, sanak yang benar-benar sanak, akan mengaku kita bukan sanaknya.

“Tapi kalau kita kaya, yang bukan sanak, maka akan mengaku kalau kita sanaknya. Benarkah?” lamun Abeng saat dirinya di dalam pesawat, saat akan bertugas ke Negara Malaysia.

Cerpenis tinggal di Bengkulu Kota

Related

Dunia Sehektar di Negeri Marlborough

“ Gunung Yang Engkau Lihat Indah, Sesungguhnya  Tak Seindah Apa...

Torehan Pena Emak

Cerpen:  Benny Hakim Benardie Kata kunci hidup itu bergerak....

Cerpen: Rumah Bengkulu

Oleh: Benny Hakim Benardie Sewindu sudah negeri ini tak ramai...

Tekijang

Cerpen Benny Hakim Benardie “Masih Kecik Kudo Tembago. La Gedang...

Bukit Tapak Paderi Sepenggal Kenangan

“Tak tahu dan diam itu wajar. Bila tahu tapi...