
Bengkulu, kupasbengkulu.com – Merupakan komitmen kupasbengkulu.com untuk memulai bahasan dan telaah kritis persoalan daerah setiap hari Kamis dalam bentuk “Diskusi Kamisan”, tentu dengan kekurangan di beberapa bagian.
Kamisan perdana kali ini redaksi mengupas apa sebenarnya spirit dari Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) yang kerap kali diselewengkan oleh penyelenggara negara. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014, dana bantuan sosial naik dari Rp 55,8 triliun menjadi Rp 91,8 triliun dan terus bertambah.
Data ICW menunjukkan sebanyak 120 kasus dugaan penyelewengan dana bansos periode 2007-2012 sudah dan sedang ditangani oleh aparat penegak hukum. Dari 120 kasus itu, sebagian penyeleweng dana tersebut telah divonis pengadilan.
“Total penyelewengan dana bansos di Indonesia berdasarkan hasil penyelidikan penegak hukum mencapai Rp411 triliun,” ujar peneliti ICW Febri Diansyah. Seluruh dana yang semula ditujukan untuk masyarakat tak mampu dalam bentuk uang atau barang itupun pada implementasinya dibelokkan. dikutip dari tempo.co.
Lalu sebenarnya apa spirit dari negara sehingga membolehkan Hibah dan Bansos dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini hadir dalam diskusi itu, Ketua Puskaki Bengkulu, Melyansori, dengan enteng ia menjawab semua ada dalam Permendagri 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Pendapatan dan Belanja Daerah.
Lalu diperbarui di Permendagri 39 Tahun 2012 Tentang Perubahan beberapa aturan dalam Permendagri 32 Tahun 2011.
Melyansori mulai membedah dari Hibah, Hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukkannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah.
Sedangkan, Bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.
“Risiko sosial dalam definisi di Permendagri itu melingkupi kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar, artinya diluar ini bukan kerentanan sosial dan tak bisa mendapatkan Bansos,” jelas Melyansori.
Yang membedakan hibah dengan Bansos adalah perencanaan, Hibah bisa diperuntukkan dengan jalan usulan pada tahun anggaran APBD sebelumnya semenetara Bansos bisa kapan saja dikeluarkan selagi masih masuk dalam beberapa kriteria.
Bagaimana pula kriteria penerima Bansos secara mendalam terkait risiko sosial itu?
Ini dapat dilihat dari Anggota/kelompok masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) meliputi,individu, keluarga, dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, atau fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum.
Selanjutnya, lembaga non pemerintahan bidang pendidikan, keagamaan, dan bidang lain yang berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.
Adapun tujuan dari pemberian Bansos berupa; rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial, penanggulangan kemiskinan; dan penanggulangan bencana.
“Bagaimana definisi masing-masing kriteria dapat dilihat dalam pasal 25 Permendagri secara garis besar adalah penyelamatan individu atau kelompok dari kerentanan sosial, jika tak dibantu ia mengalami disfungsi sosial, tak mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti makan, Bansos ditujukan untuk membantu menyelamatkan kelompok atau individu yang nyaris celaka,” tegas Melyan.
Selain itu, daerah baru diperbolehkan membagikan dana Bansos jika telah ada perangkat hukum tingkat daerah dalam hal ini berbentuk Perda. Perda tersebut secara spesifik menyebutkan siapa berhak menerima, mekanisme pemberian, dan besarannya dengan tidak mengangkangi Permendagri.
MA. Prihatno dari Yayasan Akar menyebutkan, sejauh ini media hanya melihat penyelewengan dana Bansos adalah bentuk korupsi namun kata dia lebih jauh dari itu, terjadi kejahatan kemanusiaan dalam hal ini, dan pelanggaran hak asasi.
“Ini dana untuk orang misikin bahkan sangat miskin,” jelasnya.
Ahmad Fikri, Mahasiswa FISIP Unib, menyebutkan pemerintah kedepan harus lebih transparan dalam memberikan bantuan sosial dan harus dapat diakses oleh publik secara transparan.
“Dibutuhkan pertanggungjawaban secara transparan dan dapat diakses secara online siapa yang menerima, sesuai apa tidak kriteria penerima dan sejauh mana manfaatnya,” kata Ahmad Fikri.
Dari diskusi juga terungkap beberapa oknum makelar Bansos juga kerap bermain dengan modus menawarkan Bansos ke organisasi, individu, dengan sistem bagi hasil.
“oknum tersebut mengklaim mampu menghubungkan dengan pemberi bantuan dengan sistem perjanjian bagi hasil persentase antara 20 hingga 30 persen,” jelas Melyan.
Pendapat penutup dalam diskusi tersebut menyebutkan selain dibutuhkan transparansi anggaran juga pemerintah daerah diminta untuk lebih teliti dalam memberikan bantuan tersebut kepada penerima. Pemerintah juga diminta untuk membuat tolok ukur keberhasilan Bansos dengan cara menurunnya angka kemiskinan atau semacamnya. Agar dana ummat ini tetap selamat.(kps)