Selasa, Maret 19, 2024

Dunia Sehektar di Negeri Marlborough

“ Gunung Yang Engkau Lihat Indah, Sesungguhnya  Tak Seindah Apa Yang Engkau LIhat “

Ceritera ini berawal dari sebuah desa kecil di North Bencoolen, Syamsul kecil tumbuh dan berkembang, seiring tumbang tumbuhnya tanaman hutan disekeliling desa.  Gaung  adzan terus bergema mengalun di ruang rumah orang tua Syamsul. Aura agamis selalu terasa menenangkan hati siapa saja nangundah gulana, meskipun desa tak berapa jauh dari pesisir pantai.

Ketaatan dan prestasi membuat partai politik berbasis agama kala itu, melirik Syamsul sebagai pimpinan partai di desanya. Berhasil dan paling tidak, Syamsul dengan taktik strategi sosialnya berhasil mengembangkan partai, meskipun akhirnya dia harus kecewa saat ide kerakyatannya  ditolak petinggi partai.

Syamsulpun hengkang dari politisi desa dan memilih  menjadi     oportunis. Uang menjadi skala prioritas. Ibukota kabupatenpun seakan menyambut dirinya, hingga Syamsul yang agamis itu menjadi tim pengamanan Sang Penguasa kabupaten.  Berbagai organisasi kemasyarakatan mulai digelutinya. Pada fase inilah, nafsu lawamah merasuki, menguasai Syamsul. Anak dan bininya terlupakan. Hiburan malam dan miunman keras kian dekat ke dirinya.

Di pergaulan  berkabut hitam inilah, cara berfikir terbalik terkuak. Syamsul baru tersentak, ternyata  di pergaulan hitam ada rasa kepedulian yang dulu tidak diperolehnya. Syamsul  mencoba berfilsafat dengan mengedepankan rasa, bukan akal.

Gaungan suara adzan tak terdengar lagi di telinga Syamsul selain cekikikan para wanita seksi dan dentuman bas dari music remix dan rege syantik.

Badai

Mengutip kiasan seorang penulis lokal, Cik Ben mengatakan, “Bila rasa kian menguasai akal, alamat send kanan berbelok kiri”. Mungkin itulah yang terjadi pada Syamsul, saat uang kian mengalir tanpa henti, satu tandatangannya mengukir diatas kertas. Ternyata itulah awal dirinya  mendapat ‘tiket’ untuk hidup dibalik tembok tinggi luas sehektar. ‘Dunia Sehektar’ di Negeri Marlborough”. Sebuah penjara peningalan colonial dutch  di Bencoolen City.

Bakbadai angin puting beliung menghantam Syamsul, saat surat kejaksaan memanggil dirinya untuk di periksa, karena di duga merugikan keuangan negara. “Lah apa salah aku. Aku tidak korup. Ah…..ini kriminalisasi. Tuhan tidak sayang sama aku” fikir Syamsul sembari melihat bininya lagi menetekkan anaknya.  Tak terasa, air mata membasahi pipinya.

Hingga suatu sore usai diperiksa jaksa  penyidik , Syamsul dan beberapa rekan lainnya tak diizinkan pulang ke North Bencoolen. Dia  dihijrahkan ke  areal Dunia  Sehektar. Blank, kalut, takut dan terasa seakan diri mayat berjalan saat digiring masuk  ke  Negeri Marlborough.

Dari sinilah kehidupan baru berawal lagi, meskipun hanya  setahun enam bulan saja, hakim menjatuhkan hukuman . Kala itu ‘Dunia Sehektar’ ini masih sepi penghuni pasca kebakaran setahun yang lalu.

“Masuk…..jangan ada yang macam-macam. Nikmati saja”, bentak seorang sipir berwahaj biasa namun bersuara garang.

Dalam jeruji besi, jarang ada kata terucap. Tak tahu apa yang harus diperbuat.  Saat malam menjelang, suara nyamuk ibarat pesawat tempur melintas di daun telinga. Saat dihalau di kepala, nyamuk lain malah menyerang jemari kaki. Ini berlangsung hingga pagi tiba. Sebelum panas menderaskan kucuran keringat. Decapan kata “Ah…..Tuhaaan……..Ampun” acap kali  keluar dari mulut para tahanan.

Kian Ramai

Hari  berganti bulan dan terus…….Bumi  Sehektar kian ramai. Mulai dari penjahat kelamin  hingga penjabat korupsi tampak tak perkasa lagi tegak segal dan lagaknya. Bumi Sehektar menguak diri pribadi. Menguak tabiat asli. Tak ada sandiwara di ‘Bumi Sehektar’. Semuanya sesuai karakter asli bawak-an diri. Hidup kembali tanpa esensi.

Ruangan jail Syamsul  mulai ramai. Mantan gubernur non aktif dan pejabat  tampak muram menanapi dunia baru mereka. Tak ada rasa hormat lagi dari mantan bawahan di dunia ini. Semua penghuni seakan sama rata, sama rasa. Tatkala  perlakuan rata dan rasa mulai coba di berlangsungkan, maka energi negatif  ‘Bumi Sehektar’ akan bergetar. Saling palak, saling curi, saling gertak akan terjadi.

“Tak usah ngomong tinggi disini. Tak usah bicara berdalih tak bersalah, bicara demokrasi di Amerika atau diluar negeri. Ini di bumi lain, bukan bumi yang kita pijak kemarin. Omong kosong itu semua”, bentak Syamsul pada mantan gubernur yang saat itu bicaranya selagit sepeti saat dia berkuasa.

Sang mantan gubernur hanya diam. Berani menatap mata Syamsulpun tidak. Syamsul  kian lupa diri. Hingga titik nadirnya Syamsul membentak seorang pejabat saat berbicara soal Tuhan Yang Maha Esa. Sang pejabatpun sempat menasehati  Syamsul yang mengaku  dirinya tak percaya lagi pada Tuhan yang ada. Syamsul berang  semuanya diam.

Syamsul mulai tampak garang dan roman ‘berdarah dingin’ terpancar diraut mukanya. Warga binaan ‘Dunia Sehektar’ kini menjuluki Syamsul dengan sebutan Sang Dajjal. Hingga suatu malam tanpa rembulan dan bintang, seorang  alim satu kamar jail dengannya mencoba berdialog dengan Syamsul.

“Janganlah kamu tidak percaya sama Tuhan. Kita ada disini ini merupakan ujian bagi kita sanak”, tegur Sang Alim.

“Ah…..Antum tak usah mengajari aku. Antum tahu anak bini aku kini sengsara, karena tak bisa penuhi kebutuhan kesehariannya”, bentak Syamsul.

“Tapi…tidak begitu cara kita berfikir, Kita wajib berbaik sangka pada Tuhan, yakinlah sanak”.

“Hei antum….Tuhan tidak baik dan sayang pada aku. Aku tidak korupsi, malah dikurung disini.  Jadi untuk apa aku  menyembah yang tidak sayang dan perduli padaku. Sekarang baiknya antum tidur, kepala aku tambah pusing”, jawab Syamsul, membuat Sang alim menghentikan bujukannya.

Lamunan

Suasana Bumi Sehektar di Negeri Marlborough  mulai sunyi,  Saat itu sekira pukul 01.34 WIB. Hanya sesekali terdengar suara piring kaleng terhempas dilantai, teriakan helaan nafas para penghuni yang dihembus kencang.

Syamsul duduk di pinggir pintu  jeruji besi. Entah mengapa malam ini matanya enggan terkantuk. Tanpa rokok dan kopi, terkenang saat dirinya pernah aktif dalam  kegiataan keagamaan dan sempat memimpin partai walaupun tingkat kecamatan. Saat itu dirinya ingat.  dimana saat diterpa kesusahan ekonomi, para teman sejawat handai tolan enggan dan sulit sekali memberikan bantuan padanya.

Teringat dirinya  saat saat sempat terjerumus ke dunia malam dan hitam. Dimana uang mengalir bak air  mengalir. Saat uang tak ada dikantong,  dia mencoba menelepon teman sesama dunia malam, ternyata mereka cepat membantu.

Kini dirinya hidup di ‘Dunia Sehektar’. Dunia yang tak pernah diharapkan,  termimpipun tidak. “ Walaaah…….Mengapa begini hidup ini”,  bisik Syamsul sembari menatap lampu diatas posko penjagaan.

Mentari terus menyinari ‘Bumi Sehektar’ kecuali bulan yang sering tak berkawan dengan para penghuni bumi. Tiba suatu siang, seorang sipir menyampaikan pemberitahuan, kalau Syamsul akan segera  berahir hidupnya di ‘Bumi Sehektar’.  Riang bukan kepalang bercampur dendam tak karuan menyeliputi khayalnya.

Hingga saatnya tiba, pintu gerbang ‘Bumi Sehektar’ dibuka setengah menggiring kepulangan Syamsul ke dunia nyata.  Peluk cium anak bini dan air mata  menerima kepulangan Syamsul. Sebuah bisikan mampir ditelinga Syamsul. “Gunung Yang Engkau Lihat Indah, Sesungguhnya  Tak Seindah Apa Yang Engkau Lihat”.

“Jangan menoleh kebelakang lagi sanak”, teriak para penghuni ‘Bumi Sehektar”.

“Sikap Syamsul itu sementara. Aku Yakin dalam waktu dekat dia akan kembali lagi dengan Tuhan Yang Maha Esa”., kata Sang Alim  kepada para penghuni yang melambaikan tanggan.

Cerpenis Tinggal di Bengkulu Kota

Related

Torehan Pena Emak

Cerpen:  Benny Hakim Benardie Kata kunci hidup itu bergerak....

Cerpen: Rumah Bengkulu

Oleh: Benny Hakim Benardie Sewindu sudah negeri ini tak ramai...

Tekijang

Cerpen Benny Hakim Benardie “Masih Kecik Kudo Tembago. La Gedang...

Bukit Tapak Paderi Sepenggal Kenangan

“Tak tahu dan diam itu wajar. Bila tahu tapi...

Ta’un Sang Caleg

Cerpen: Benny Hakim Benardie Pagi itu Juli 2018, Negeri Bencoolen...