Jumat, April 19, 2024

Empat Panakawan Pernah Jadi Alat Propaganda Orde Baru

Istimewa

Lantunan suara gamelan sempat berhenti. Bagong masuk ke panggung menemui Petruk. “Truk, Gareng kini punya penyakit aneh. Suka menggigit pantat orang,” ucap Bagong. Oleh Petruk percaya saja dengan apa yang disampaikan oleh si Bagong. Setelah itu, tak lama berselang, Bagong bertemu dengan Gareng. “Petruk kini berekor,” ujar Bagong mencoba untuk membohongi. seperti halnya Petruk, Gareng juga ikut percaya. Keduanya kemudian bertemu. Petruk waspada. Dia menutupi pantatnya dengan tangan. Penasaran, Gareng berusaha melihat pantat petruk.

Keduanya saling berkejaran, hampir berkelahi. Beruntung, Semar datang menengahi. Mereka akhirnya tahu bahwa Bagonglah dalang keonaran ini. Semar berkata, “Membuat isu atau sas-sus itu tidak baik. Cuma bikin celaka orang dan kisruh.” Adegan-adegan ini terdapat dalam acara Ria Jenaka di TVRI pada 1980-an.­ Sebuah acara yang menjadi corong penguasa untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan melalui tokoh panakawan atau biasa disebut juga punakawan. Tokoh-tokoh wayang yang lekat dengan lawakan dan keanehan bentuk tubuh. Tak seperti awal kemunculannya.

Kemunculan panakawan dalam tradisi seni pertunjukan di Indonesia dapat dilacak pada relief-relief candi dan naskah-naskah kuno Nusantara. Beberapa relief di Candi Prambanan dari abad ke-9, menggambarkan panakawan. Gambar-gambar dalam relief Prambanan mengisahkan tokoh-tokoh utama yang didampingi oleh seorang pengiring. “Para pengiring itu berpenampilan tampan dan cantik,” tulis Edy Sedyawati, guru besar arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dalam “Panakawan di Masa Majapahit”, makalah pada Seminar Naskah Nusantara tahun 2009.

Para pengiring itu menemani tokoh utama dengan pakaian yang berbeda. Bentuk tubuh mereka normal seperti tokoh utama. Mereka menemani tokoh utama hingga ke hutan. Menurut Edy, inilah arti dasar panakawan, kawan yang diharapkan siap membantu tokoh utama, baik jahat maupun baik, dimanapun. Kawan yang mampu memberikan nasihat kepada tokoh utama. Tetapi istilah panakawan kala itu belum dikenal.

Panakawan berasal dari dua kata, pana dan kawan. “Pana berarti mumpuni, sedangkan kawan dapat berarti seseorang yang cukup dikenal,” tulis Trias Yusuf, staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro dalam “Panakawan Dalam Tradisi Kesenian Pesisir Jawa”, makalah pada Seminar Naskah Nusantara. Menurutnya, istilah ini baru muncul pada masa Yasadipura abad ke-18 di Surakarta. Istilah yang sepadan dengan panakawan tersua dalam Kakawin Gathotkacasraya yang ditulis pada masa Raja Warsajaya dari Kediri (1104-1135).

Kakawin tersebut memuat istilah Jurudyah Punta Prasanta untuk menerangkan pengiring tokoh utama, Abhimanyu. Penyebutan itu merujuk pada satu orang. Kata “Juru” menunjukkan pekerjaan sang pengiring, mengurus atau mengasuh. Kata “Dyah” dapat berarti orang muda keturunan raja-raja. Sementara kata “Punta” merupakan nama depan sang pengiring, dan “Prasanta” nama panggilannya. Tokoh-tokoh dalam kakawin tersebut bersifat historis-mitologis. Artinya, mereka ada walaupun kisah mereka berbalut dengan simbol-simbol dan mitos.

Profesor Soetjipto Wirjosoeparto, mantan dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menyatakan bentuk tubuh pengiring dalam Gathotkacasraya digambarkan layaknya manusia. “Dalam deskripsinya tidak disebutkan bahwa tampilannya serba aneh dan kocak,” tulis Soetjipto sebagaimana dikutip Edy Sedyawati. Gambaran Ini masih sesuai dengan relief Prambanan. Tugas mereka pun masih jauh dari melawak.

Ketika kemasyhuran Kerajaan Kediri meredup, Kerajaan Majapahit perlahan bersinar. Candi-candi Majapahit segera berdiri di wilayah bekas Kerajaan Kediri. Candi-candi itu memiliki relief yang menggambarkan para pengiring yang agak berbeda dengan masa sebelumnya. Edy Sedyawati menambahkan bahwa beberapa candi yang dibangun pada abad ke-14 seperti Tegawangi, Kedaton, dan Surawarna mulai menampilkan relief adegan pengiring berbadan gemuk.

Dalam relief Candi Tegawangi misalnya, terdapat gambar dua pengiring berbadan gemuk. Pengiring itu masuk dalam relief cerita Sudamala, yaitu cerita ruwatan yang melibatkan Sadewa, salah satu tokoh Pandawa. Kedua pengiring sedang berpacaran dalam posisi yang menggelikan. Seorang pengiring keluarga Pandawa, Semar, mulai dikenal melalui cerita Sudamala dalam relief candi Sukuh tahun 1439 dan Kakawin Sudamala.

Berbadan serba bulat, berbibir maju, dan bermata besar, Semar tak melulu memberikan nasihat, melainkan juga humor untuk tuannya. Dengan demikian, Sedyawati berkesimpulan bahwa tokoh panakawan yang berbentuk tidak lazim, namun bersifat lucu mulai muncul kala Majapahit.

Memasuki masa kesultanan Islam, para wali mengenalkan para pengiring dengan bentuk dan fungsi yang berbeda itu ke dalam wayang. Menurut Ronit Ricci, peneliti pada Universitas Michigan, dalam “Conversion to Islam on Java”, Jurnal KITLV, Vol. 195 No. 1 (2009), “Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga sering dianggap perekacipta pengiring tersebut dalam pertunjukan wayang.” Kedua sunan di tanah Jawa ini membalut kisah Ramayana, Mahabarata, dan Sudamala dengan ajaran Islam. Padahal, kisah Ramayana dan Mahabarata versi India sama sekali tidak menyertakan pengiring untuk tokoh utamanya. Apalagi sampai yang berbentuk aneh.

Selain Semar, pada masa itu muncul pula nama-nama pengiring lain seperti Petruk, Gareng, dan Bagong. Mereka tidak hanya sekadar penasihat tokoh-tokoh utama, tapi juga berlakon sebagai pelawak-cum-kritikus. Sebab, lawakan mereka hanyalah alat penyampai kritik sang pujangga atau dalang. Gambaran tokoh ini semakin banyak ditemukan dalam karya-karya sastra masa Yasadipura seperti Wedatama. Mereka kemudian dikenal dengan nama panakawan.

Memasuki abad ke-20, panakawan populer dalam pertunjukan wayang, ketoprak, dan seni pertunjukan lainnya. Penonton selalu menunggu kehadiran mereka. Tak heran, penguasa Orde Baru menggunakannya sebagai corong propaganda dalam acara Ria Jenaka.

historia

Related

Sriharti di Negeri Bukan Perawan

Hembusan angin senai-senai saat mentari menyengat Negeri Bengkulu,  sudah...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Tamat)

Peran  Orang Dalam Tahun  kepemimpinan Residen Thomas Parr dianggap melakukan...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Part 2)

Siapa Pelakunya “Pribumi tak berprikemanuasiaan, kejam dan sadis”. Itulah yang...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Part 1-3 tulisan)

“Malam itu, sekelompok pribumi merangsek masuk Gedung Mount Felix...

Girik Cik: Matisuri Peradatan di Negeri Bukan Kukang

Tekad  anak negeri ingin “Adat Bersendi Sarak, Sarak Bersendikan...