By:: Cik Ben
Masih pagi buta, masyarakat di bingungkan dengan aroma harum menusuk hidung, yang menyebar seluruh pelosok Negeri Ulu. Heboh bukan kepalang selain sisi senang hidup udara nyaman. “Bagai katak di musim hujan”. Padahal, baru beberapa hari lalu masayarakat “bagai katak dimusim kemarau”.
Bingung, haru sedikit ketakutan masyarakat Negeri Ulu. Mereka menganggap ini anugerah dari Tuhan. Berkumpulah para pemuka dan pemikir negeri. Tak pasrah dan ikhlas dengan apa yang terjadi. Soalnya, bila itu aroma dari bunga yang menjadi lambang neger, itu tidak mungkin. Itu bunga bangkai pemakan serangga.
“Ataukah ini aroma logam mulia 99 dari dalam bumi Tuan?” tanya seorang datuk.
“Tidak mungkin Datuk. Logam muia 99 sudah pupus di Negeri Ulu ini”, bantah seorang pemikir negeri.
Biasanya, dikebun bunga terasa aroma harum. Tapi hari ini memang penuh kebingungan. Pemuka dan pemikir tampak putus asa mencari sumber aroma harum disemerbak negeri . Bulat sepakat mereka untuk tidak berfikir lagi. Karena harum semerbak bukannya tak menguntungkan. Kenapa harus pening mencari penyebab atau sumber harum di tengah bunga bangkai yang terlanjur menjadi kebanggaan masyarakat Negeri Ulu.
Seorang pengumpul sisa sampah tersenyum melihat reaksi masyarakat, yang menjadi bingung akibat merebaknya aroma harum . Padahal kemarin saat Aroma busuk menyengat hidung, mereka tidak ada reaksi.
“Saya rakyat jelata paham dan tau sumber harum semerbak seantero Negeri Ulu ini. Bukan bunga ataupun lainya yang menjadi sumber semerbak. Tapi hati masyarakat Negeri Ulu ini yang sudah baik dan ikhlas menjadi penyebab”, jelas seorang Pemulung.
Sumringah seorang seniman apatis yang dari tadi tak perduli begitu perduli dengan apa yang terjadi. “Kato burung Merba, endak badai, badailah. Kato burung Tempuo, , endak hujan, hujanlah”. .