Sudah menjadi teradatkan, setiap pemimpim seyogyanya ada wakil pemimpin. Entah itu gubenur, wali kota atau siapalah itu. Sebaiknya punya wakil untuk pendelegasian.
Meminjam istilah Profesor DR Hazairin SH, sudah merupaan adat yang teradatkan. Sudah menjadi ketentuan. Terlepas ada pertanyaan, apakah tanpa wakil tidak efektif, efesien dan apakah sistem tak bisa berjalan tanpa wakil? Itu soal sosial politik.
Di Indonesia ini, Presiden Soekarno pernah memimpin tanpa wakil dalam menjalankan negara ini. Provinsi Bengkulupun demikian. Tapi dengan diadakannya wakil, harapannya sang wakil nantinya dapat mendukung, menunjang program ketua, pemimpin yang mungkin itu untuk gubernur atau wali kota.
Seorang wakil boleh pusing dan kepala pening melihat misalnya agenda, program gubernur, wali kota atau bupati. Kalau pusing atau kepala pening, baiknya bawa tidur saja.
Banyolan orang Bengkulu bilang, “Kalau palak pening baok tidur. Cuman pas bangun kelak jangan meningpalak”. Udah bangun tidur jangan buat pusing. Ingat, wakil harus pakai baju sendiri. Jangan pakai baju pemimpin. Jangan melakukan cium, pelukan Yudas. Memeluk tapi menikam dari belakang. Sebagai wakil, jalankanlah sebagian tugas yang diemban pemimpin.
Seseorang yang memgaku pengusaha bahan bakar minyak sempat bertanya, apakah wakil itu sama dengan bayangan seseorang? Tidak tepat juga dianalogikan dengan bayangan. Kalau bayangan, itu hanya terjadi saat terang atau ada cahaya saja. Lantas kalau gelap nanti gimana?
Analogi yang tepat, wakil sama dengan ban serap. Selalu mendampingi ban utama dan siap mengantikan saat ban utama pecah atau rusak. Mangkanya ban serap itu harus yang bagus, baik pula. Mana mungkin ban buruk dan rusak mengantikan ban yang pecah atau rusak. Bagaimanakah kalau wakil itu merupakan utusan dari partai politik misalnya? Itu terserah kita yang menilainya.
Wartawan tinggal di Bengkulu Kota