Di Ibukota Provinsi Bengkulu tecancang Monumen Ibu Agung Fatmawati di Simpang Lima Ratu Samban. Monumen yang awalnya diharapkan sebagai icon dan menjadi cetar membahana di seluruh pelosok negeri. Sososk Ibu Negara Pertama Indonesia yang tersohor.
Kini hampir setahun monumen itu basah kering. Terang saat siang hari dan kegelapan dimalam hari, kecuali saat sorot lampu kendaraan menerangi monumen. Tapi itu hanya sesaat saja.
Monumen Ibu fatmawati yang sempat heboh saat didirikan, reda saat terang, indah beberapa hari, kini mengalami kegelapan. Pertanyaannya apakah kita sedih, pilu melihat kondisi itu? Itu pertanyaan yang mungkin nggak begitu penting. Tapi kalau kita malu mungkin itu iya.
Malu kita sama Pak Presiden RI Pak Jokowi yang ‘mendudu’ tiba ke Kota Bengkulu untuk meresemikan monumen itu. Malu sama keluarga mendiang Ibu Fatmawati yang hadir, khususnya Inga Puan, anak Makdang Mega. Belum lagi tetamu lainnya.
“Tapi untunglah tobotu idak tau. Enyokan jauh di Jekerta. Lagi pulo rasonyo idak pulo enyo ngaminkan nian seandainyo ado nangmelapor kek enyo”.
Lantas, apa yang terbetik saat kita melihat monumen Ibu Agung itu lagi? Mungkin kita berfikir, kenama monumen ibu Fat menoleh ke kiri arah rumah sakit kota?
Jawabannya mungkin kalau di buat ke arah kanan, takut mengingatkan kenangan lama. Kenangan saat Bank BNI di Simpang Lima Ratu Samban itu dahulu masih rumah keluarga Ibu Agung Fatmawati.
Nah, kenapa harus monumen itu dibiarkan gelapkan dan dikasih lampu yang nyeni? Kalau ada yang berfikir seperti itu, artinya orang itu enggak tahu kalau listrik itu kini ngebayarnya mahal. Apalagi pakai air mancur seperti tak lama diresnikan dulu.
Terus? Biarkan saja apa adanya. Meminjam istilah orang orang politik katanya, “Ongkos politik tu mahal nden, idak pacak pakai liur ajo”. Kira kira begitulah saat kita memikir Monumen Ibu Fat yang tecancang duduk sembari menjahit Sang Saka Merah Putih .