By: Cik Ben
Sejak era Orde Baru, munculah istilah oknum. Hingga kini tidak semua masyarakat paham dan cerdas dalam mengunakan istilah oknum itu. Masyarakat menegah keatas, saat melihat misalnya pegawai, polisi hingga anggota partai melihat, mendengar ada kesalahan seseorang dari mereka, yang mengarah pada perbuatan kejahatan, maka itu adalah ulahnya oknum saja. Bukan predikat atau profesi seseorang yang melekat.
Pertanyannya adalah, apakah salah seorang dari gank motor yang melakukan kejahatan atau pelanggaran, dapat kita dalihkan itu merupakan perbuatan oknum? Bila seorang pemulung yang mempunyai kelompok , tukang sayur yang mempunyai komunitas, tukang becak yang mempunyai persatuan melakukan pelanggaran, dapatkah kita bilang itu adalah oknum?
Ideal jawabnya adalah, kata oknum itu dapat saja kita gunakan. Tapi dalam kenyataannya . pengunaan kata oknum, tidak berlaku untuk masyarakat menengah kebawah. Darimana kelompok yang melakukan, maka predikat atau profesi, pekerjaannya akan disebut. Bukan pribadi yang melakukannya. Inilah hal yang sering kita lihat dan dengar di masyarakat. Bahkan itu acap kali membuat kita ‘ngejut-ngejut aja’.
“Anda lihatlah Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa kata oknum ituada tiga maksudnya. Oknum itu berarti pribadi, orang seorang atau orang anasir yang artinya kurang baik. Jelas?” tegur seorang guru Bahasa Indonesai .
Jadi kalau dapat kita simpulkan, oknum itu pribadi, orang seorang yang melakukan hal yang kurang baik. Mungkin termasuk yang sangat tidak baik. Lantas, kenapa orang yang melakukan sedikit atau banyak kebaikan, tidak dapat kita sebutkan “itukan ulah oknum?”
Nah, disinilah ketidakadilan berbahasa dalam menyebut istlah. “Buruk makanlah dekek kau. Tapi kalu baik, itu ulah dari kelompok, lembaga atau perkumpulan”. Sungguh istilah yang membingungkan. Kepentingan, sentimen bisa memisahkan antara seseorang dengan bayangannya sendiri. Padahal bayangan dan orang itu adalah satu.
Wartawan di Bengkulu.