By: Cik ben
Bila ingin jadi pemimpin atau kepala daerah, berarti berani pula bersama dengan resiko-resikonya. Kalau takut resiko, maka jadilah rakyat saja, yang saban hari mengarungi resiko karena ulah pemimpinnya.
Sifat seorang pemimpin itu menurut Sabardin. Pemimpin yang selalu mengaungkan soal pembangunan, kemajuan dan ide-ide brilian. Tentunya dengan sikap elegan. “Membangun itu semboyannya, mecamano negara jangan rugi nian, kalu pacak kito dapek dikit”.
Tentunya, sikap yang dipakai Sabardin itu merupakan sikap kesabaran dari kehati-hatian dengan kesadaran.
Tampaknya, Sabardin setengah paham betul akan resiko jadi pemimpin. Dia sadar, “Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin berhembus”. Dera dan terpaan mulai menghantam dirinya saat memimpin. Mulai tudingan pemimpin ‘idak ngucup’, pemimpin wacana hingga tudingan pemimpin yang di duga terlibat korupsi.
Sabardin tetap tenang dan sabar. “Biarkan anjing mengonggong, kafilah tetap berlalu”. Apalagi Sabardin sebelum menjadi pemimpin, dirinya merupakan seorang tabib, yang dapat mengetahui penyakit pasiennya tanpa diberi tahu oleh Sang pasien.
Pertanyaannya, bagaimanakah kolerasinya antara pemimpin dan profesi tabib dalam ceritera ini? Korelasinya adalah Sabardin merupakan sosok pemimpin yang selalu berfilosofi dalam kepemimpinannya. Seperti kita ketahui, profesi dasar sangat mempengaruhi profesi baru yang datang kemudian.
Lantas, kenapa Sabardin selalu mendapat hujatan dari rakyatnya? Karena Sabardin menjadi Kukang di Negeri Beruk. Kukang terlalu slow sementara beruk terlalu lincah.
* Wartawan tinggal di Bengkulu
The post Girik Cik: Sabardin appeared first on kupasbengkulu.com.