Jumat, Maret 29, 2024

Goenawan dan Cara Pandang Hitam-Putih Kita

Dina Y. Sulaeman, (Foro: sindoweekly-magz.com)
Dina Y. Sulaeman, (Foto: sindoweekly-magz.com)

Oleh: Dina Y. Sulaeman*

Jujur, saya bukan pembaca aktif tulisan Goenawan Mohamad. Namun suatu ketika, saat saya diminta oleh sebuah komunitas (sebut saja komunitas A) untuk memberikan pelatihan penulisan, saya menemukan salah satu tulisannya yang menarik untuk dijadikan contoh.

Saya menemukan kalimat-kalimat yang menurut saya dahsyat dan patut dipelajari saat mendeskripsikan sesuatu. Betapa misalnya, ‘hanya’ untuk membahas banjir, dia menceritakan kisah banjir dalam berbagai cerita purba di Mesopotamia maupun Yunani; lalu membandingkannya dengan cerita banjir di agama-agama, termasuk dalam Quran; lalu menuliskan refleksinya tentang keabadian. Saya sampaikan kepada peserta pelatihan, suatu tema sederhana pun bisa dieksplorasi dengan luas dan menarik seperti yang dilakukan Goenawan.

Singkat cerita, peserta pelatihan merasa puas dan antusias untuk melanjutkan diskusi pada beberapa waktu mendatang. Namun sejak itu, saya tak pernah diundang lagi. Lama kemudian, bertahun-tahun, saya baru menyadari bahwa komunitas A itu adalah komunitas yang sangat strict.

Buat mereka, segala sesuatu yang berbau liberalisme adalah haram dan Goenawan adalah simbol liberalisme. Saya rupanya telah “berdosa besar” memberikan contoh tulisan Goenawan dalam pelatihanitu, padahal yang dibahas hanya kata-katanya dan cara menulisnya (dan itupun hanya satu dari beberapa contoh tulisan yang saya bawa waktu itu).

Itulah komunitas yang menilai segala sesuatu dari kulit luarnya saja: jangan baca tulisan si anu, nanti sesat; jangan baca buku terbitan Mizan,nanti sesat (tapi, lucunya, atas alasan pragmatis, banyak penulis dari komunitas A yang mengirimkan tulisan mereka ke penerbit  Mizan grup).

Di waktu lain, saya menulis kritikan yang cukup keras terhadap orang-orang liberal, atas dukungan mereka terhadap kehadiran Irshad Manji dan Lady Gaga ke Indonesia. Oleh komunitas A, tiba-tiba saya dianggap sebagai teman

.Tulisan saya diapresiasi dan dimuat di media mereka. Sebaliknya, saya malah mendapat kritikan dari seseorang dari komunitas B, yang  sangat relijius, tapi minoritas. Dan sebagai minoritas yang terzalimi, mereka sering mendapat  dukungan dari kelompok liberal (karena, sesuai dengan kredo liberal: semua manusia berhak menjalankan paham dan keyakinan masing-masing).

Jadi, menurut teman saya dari komunitas B ini: “Justru dengan adanya kelompok liberal  itu kami terlindungi. Bayangkan bila Indonesia dikuasai oleh komunitas A, bisa-bisa kami dibunuh semua.”

Ketika akhir-akhir ini media mengangkat kasus asusila penyair SS, nama Goenawan yang konon ‘guru besar’-nya SS pun dibawa-bawa. Bukan hanya kalangan A yang bersorak karena terbukti sudah doktrin mereka selama ini: jangan baca tulisan Goenawan, nanti sesat. Tapi kalangan anti-liberal (katakanlah, Marxisian) pun juga bersuara mengkritik pemikiran Goenawan. Bagaimana dengan kalangan B? Sepertinya tak ada komentar, mungkin karena mereka sedang sibuk menghadapi intimidasi dahsyat terhadap mereka.

Inilah cara berpikir hitam-putih yang saya maksud: pihak A secara membabi-buta membenci segala sesuatu di luar mereka; bahkan kalau perlu mengkafir-kafirkan dan para kafirin itu halal dibunuh. Di satu titik, mereka benar: paham liberalisme perlu diwaspadai (penjelasan akan saya berikan kemudian).

Namun, karena membenci membabi-buta, mereka tidak mau menerima kebenaran-kebenaran parsial yang dikemukakan oleh kelompok liberal: kemerdekaan berpikir dan penghormatan pada hak setiap individu untuk hidup berbeda. Dakwah silahkan, tapi jangan berlagak menjadi Tuhan dan merasa memiliki hak untuk mengadili keyakinan orang lain.

Sebaliknya, teman saya dari komunitas B memilih menutup mata atas kebobrokan liberalisme, hanya demi ‘kebaikan ‘ parsial yang ditunjukkan oleh kaum liberal (misalnya: pembelaan terhadap hak-hak kaum minoritas).

Saya menawarkan cara berpikir dan menganalisis yang by issue, bergantung isu/topiknya. Apakah ini plin-plan? Menurut saya tidak.

Kebenaran adalah milik Tuhan dan kita seharusnya mengumpulkan kebenaran-kebenaran itu dari mana saja. Terkadang, sikap kelompok A bisa jadi benar: sangat berhati-hati dalam menyikapi doktrin-doktrin kaum liberal.

Dalam studi HI, liberalisme identik dengan teori-teori kerjasama dan pembentukan organisasi internasional. Doktrinnya: ketika hambatan dalam kerjasama ekonomi  antarnegara dihapus, dunia akan lebih makmur. Oke, memang demikianlah idealnya. Karena itulah,misalnya WTO dibuat.

Namun, ada yang dilupakan oleh para pemikir politik liberal ini: starting point yang berbeda dan kerakusan pihak yang kuat. Bagaimana mungkin negara yang miskin disuruh bersaing dengan negara kaya dalam satu pertandingan yang sama? Karena itulah kita melihat bahwa dalam WTO ada faktor power yang berperan kuat: negara yang kuat akan mampu mendominasi negosiasi, sehingga keputusan yang dihasilkan akan menguntungkan negara-negara kuat itu.

Sayang, banyak pejabat Indonesia yang sepertinya cinta buta pada doktrin liberalisme ekonomi ini: kerjasama dengan asing dilakukan seluas-luasnya, bahkan sampai pihak asing merampok kekayaan kita pun dibolehkan saja dengan segala argumentasi sesat ala liberalisme-ekonomi.

Dalam seni, doktrin liberalisme adalah kebebasan berekspresi. Oke, dalam teori parenting dan pendidikan pun, para ortu dianjurkan untuk memberikan kebebasan berekspresi kepada anak. Anak jangan terlalu diatur dan didikte, karena hasilnya adalah anak-anak pasif dan penurut, yang tak punya inovasi dan kreasi. Tapi, ada yang dilupakan oleh pemikir liberalis itu, yaitu batasan kebebasan itu. Manusia bukan binatang yang boleh bebas telanjang atau berhubungan seksual tanpa aturan.

Sayangnya, inilah yang ternyata dikembangkan oleh para budayawan liberalis itu, yang dikomandani oleh Goenawan: sastra pembebasan yang menjadikan kelamin sebagai simbol kebebasan. Karya sastra yang mereka anggap bermutu adalah sastra yang secara vulgar mengumbar seksualitas. Seks bebas sah saja, asal suka sama suka, kata mereka. Kebebasan yang diusung Goenawan dan kelompoknya bahkan lebih jauh lagi: kebebasan untuk berhubungan dengan siapa saja, termasuk dengan sesama jenis.

Dalam tulisannya di sebuah situs propaganda homoseksualitas, Goenawan menceritakan bahwa dia menerima ‘pilihan’ putrinya untuk menjadi lesbian, atas nama cinta. Kali ini, dengan mudah saya bisa menangkap ‘kesesatan’ kalimat indah Goenawan “Cinta itu tidak bersyarat.”

Dalam tulisannya tersebut, Goenawan memperkenalkan kata ‘melela’: memperagakan diri, mengungkapkan identitas. Goenawan melalui tulisannya, memberikan penghargaan kepada para homoseks yang berani mengaku kepada publik, dan memberikan ‘teladan’ kepada para ortu agar membiarkan saja anak mereka bila memilih menjadi homoseks, atas nama ‘cinta tanpa syarat’.

Seperti pernah saya tulis dalam artikel saya terkait Irshad Manji dan Lady Gaga, saya tegas menolak pemikiran seperti ini. Untuk kasus seks bebas dan homoseksualitas, alasan kebebasan berekspresi  telah dimanfaatkan secara salah kaprah oleh kaum liberalis. Tapi, di saat yang sama, saya tetap mendukung doktrin kaum liberalis yang terkait kebebasan dan kemerdekaan berpikir, karena kejumudan berpikir juga akan membawa kerusakan besar dalam masyarakat.

Sikap takfiri dan menghalalkan terorisme atas nama Tuhan  adalah salah satu bentuk konkrit dari kejumudan berpikir itu. Bisa dibayangkan, bila paham seperti ini berkembang luas, Indonesia akan hancur;  sama hancurnya bila seks bebas dan homoseksualitas dipropagandakan dan dianggap sebagai kelumrahan. Dan inilah yang saya maksud dengan berpikir dan menganalisis by issue. Tidak hitam-putih. Tidak gebyah uyah dalam menolak, maupun menerima.(***)

*Peneliti di Global Future Institute dan menulis beberapa buku kajian Hubungan Internasional

dukitp dari: http://dinasulaeman.wordpress.com
Artikel ini pernah dimuat di The Global Review dan IRIB Indonesia

Related

Elisa Sebut Kemenangan Dirinya Bukan Milik Sendiri, Tapi Bersama

Kupas News - Calon DPD RI Dapil Provinsi Bengkulu...

Elisa Ermasari Raih Kemenangan Telak di Setiap TPS

Kupas News - Dalam pemilihan umum yang berlangsung serentak...

Elisa Ajak Masyarakat Bengkulu Gunakan Hak Pilih 14 Februari 2024

Kupas News - Elisa Ermasari, calon anggota Dewan Perwakilan...

Janji Elisa untuk Bengkulu Sejahtera dan Bermartabat

Kupas News - Calon DPD RI Dapil Bengkulu nomor...

Generasi Milenial Dukung Penuh Kemenangan Elisa Ermasari

Kupas News – Dalam suasana politik yang semakin dinamis,...