Kamis, Maret 28, 2024

Haji : Pertarungan Prestise dan Kesalehan

Haji bagi umat muslim bukan saja merupakan rukun Islam yang wajib ditunaikan bagi yang mampu. Tapi lebih jauh dari itu, haji memiliki dimensi sosiologis bagi masyarakat.

Haji secara sosiologis merupakan simbol sekaligus gengsi untuk menunjukkan “kesempurnaan” keislaman seseorang. Predikat haji juga simbol kemapanan ekonomi dan sekaligus bukti  kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup. Oleh sebab itu, tidak heran kalau di kampung-kampung, orang yang sudah mampu berhaji selalu linear dengan predikat orang “kaya”.

Biasanya, di kampung pasti mereka ini  memiliki status sosial terpandang. Memiliki banyak properti seperti tuan tanah, sawah, kebun dan hewan ternak. Oleh sebab itu, sering muncul sindiran seperti ini: “Belum mapan dan kaya anda, kalo belum berangkat haji”. Walaupun saya sendiri menolak tesis ini, karena kemapanan dan kesuksesan hidup seseorang itu tidak diukur apakah sudah bergelar haji atau belum. Toh, faktanya orang yang hidup dalam kesederhanaan tapi mampu berhemat dan menyisihkan sebagian rezeki yang  diperolehnya, banyak juga yang mampu menunaikan ibadah haji. Artinya, kemampuan berhaji itu bukan semata-mata dilihat dari kemampuan finansial, tetapi juga berkaitan dengan komitmen tauhid seseorang.

Bisa saja yang mampu secara ekonomi, tapi karena tidak memiliki komitmen tauhid, sampai meninggal dunia tidak sempat menunaikan ibadah yang masuk rukun Islam kelima ini.

Secara sosiologis, juga haji memberikan legitimasi munculnya kekuasaan dan kepemimpinan informal dalam masyarakat. Dalam masyarakat kita, gelar “Haji” memberikan kedudukan sosial yang terpandang.

Pak haji di kampung-kampung dianggap orang yang memiliki kemampuan ilmu agama yang tinggi. Memiliki kewibawaan, sebagai tokoh masyarakat dan agama yang didengar petuah-petuahnya. Tidak heran kalo mulai dari urusan ibadah di masjid, acara dan kenduri adat, resepsi pernikahan sampai mengurus soal suami isteri bertengkar, anak tetangga berkelahi, konflik batas tanah dan kebun ikut menjadi urusan Pak Haji.

Hal ini menunjukkan bahwa betapa orang yang sudah berpredikat haji itu, dianggap sosok panutan (Role model) dan sekaligus pemimpin informal yang disegani dan dipatuhi.

Tidak itu, saja pak haji juga terkadang tidak jarang menjadi “tenaga kesehatan” di kampung. Jika ada warga yang sakit, pasti bukan Puskemas dan Polindes atau Bides yang menjadi tempat pertolongan pertama masyarakat, tapi Pak Haji (Yang sudah dianggap sebagai orang yang mampu memberikan kesembuhan).

Pengalaman saya sendiri yang lahir dari persalinan produk “dukun kampung”, dan masih ingat dulu kalau sakit sering diajak ibu berobat ke pak haji di kampong, dengan membawa jeruk nipis dan ramuan tradisional lainnya. Membawa sebotol air putih yang sudah mendapat “jampi-jampi” dari Pak Haji. Mungkin karena sugesti dan keyakinan diri, tidak sedikit mereka yang sakit menjadi sembuh.

Cerita-cerita ini sengaja saya ketengahkan dalam tulisan sederhana ini, untuk menunjukkan bahwa betapa predikat haji itu bagi sebagian masyarakat kita, sebagai sesuatu yang sangat diidam-idamkan dan ditunggu-tunggu untuk dapat digapai selama hidupnya.

Saking tingginya animo orang Indonesia berangkat haji, menyebabkan antrian atau waiting list calon jemaah haji sungguh luar biasa. Bisa anda bayangkan, jika anda mendaftar berangkat haji Tahun 2021, maka anda baru akan bisa berangkat ke Tanah Suci 10 sampai 15 tahun yang akan dating. Yaitu sekitar Tahun 2035 nanti. Artinya, calon jemaah yang akan berangkat Tahun 2022 nanti (Jika sudah diizinkan Arab Saudi) adalah para calon jemaah yang mendaftar Tahun 2005 lalu.

Ini membuktikan betapa pesona dan niat naik haji  sungguh tinggi luar biasa. Ini juga yang memaksa Pemerintah Indonesia setiap tahun, selalu melobi pemerintah Kerajaan Arab Saudi, untuk penambahan kuota haji. Ironisnya, tidak jarang juga terungkap ke public, demi hasrat mau naik haji, tidak jarang melakukan cara-cara curang dan tidak terpuji. Hanya sekedar untuk mendapatkan “kursi”  berangkat.

Mulai manipulasi dokumen kependudukan, tempat domisili dan bahkan menggunakan cara KKN lainnya. Oleh sebab itu, sering muncul guyonan, “mau beribadah aja, masih dilakukan dengan cara curang”

Namun dibalik hiruk pikuk urusan haji ini, sebuah kritik kita tujukan soal fungsionalisasi haji dalam kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Yakni, yang berkaitan dengan fungsionalisasi haji dengan perubahan sikap dan perilaku warga negara. Logikanya, semakin banyak orang Indonesia menyandang predikat haji, seharusnya linear dengan perubahan perilaku yang lebih baik dan sholeh.

Soalnya, esensi dari ibadah haji itu adalah sebuah kepasrahan kepada  sang khalik,  membangun kepekaan sosial dan nilai-nilai moralitas yang adiluhung. Semestinya, semakin banyak pejabat yang naik haji, maka semakin menurun, bahkan zero corruption di lembaga birokrasi pemerintahan. Semakin banyak masyarakat yang naik haji, semestinya angka kejahatan/kriminalitas semakin menurun. Jika perlu zero.

Semakin banyak warga negara yang naik haji, semestinya lebih toleran dan terhindar dari perilaku radikalisme dan terorisme dan sikap positif lainnya. Namun yang terjadi justru sangat paradox.

Korupsi semakin merajalela, kejahatan semakin brutal, sikap intoleransi dan penggunaan kekerasan kepada yang berbeda agama dan keyakinan semakin marak terjadi. Kohesi sosial sesama warga bangsa semakin renggang. Lalu pertanyaan mendasarnya, berarti haji tidak berkorelasi positif dengan perubahan sikap dan tingkah laku sebagai individu?

Terkait dengan batal atau tertundanya kembali para calon jemaah haji Indonesia, untuk berangkat menunaikan ibadah haji tahun ini, sebuah kebijakan yang serba dilematis.

Di  satu sisi ada kritik juga buat pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama RI yang dianggap tidak sungguh-sungguh mengupayakan proses keberangkatan Jemaah. Dengan cara melobi pemerintah Arab Saudi agar diberikan izin untuk masuk ke negara para nabi itu. Soalnya, banyak negara yang justru diizinkan pemerintah Arab Saudi untuk memberangkatkan jemaahnya ke tanah suci.

Namun ada juga pihak yang memberikan apresiasi atas kebijakan pemerintah Indonesia yang menunda keberangkatan jemaah haji, karena mempertimbangkan aspek kesehatan dan keselamatan jiwa para tamu Allah tersebut. Soalnya, sampai saat ini kondisi pandemi covid 19 belum sepenuhnya aman.

Selain memang dari otoritas Arab Saudi sendiri belum memberikan “karpet merah” bagi jemaah haji asal Indonesia, untuk bisa berangkat ke tanah suci melaksanakan panggilan Allah. Walaupun peristiwa penundaan keberangkatan haji ini  dalam sejarah baru pertama kali terjadi sejak zaman Hindia Belanda dulu.

Tulisan sengaja dengan narasi yang ringan dan menonjol fakta emperis, sehingga muncul dimensi dan perspektif lain bagi kita dalam melihat fenomena haji. Terutama dimensi pergumulan antara prestise sosial dan kesalehan seseorang. Semoga bermanfaat, jangan lelah untuk Indonesia lebih.

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis Mafia Tanah sudah menggurita dan telah...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...