Jumat, Maret 29, 2024

Khayal Sang Cawara

Cerpen: Benny Hakim Benardie

“Jangan kau bangunkan Cawara  yang sedang dilanda khayal. Biarkan dia larut dalam khayal indah, agar tak menangis saat menghadapi fakta yang ternyata mengerikan”.

Tiga orang Calon Wakil Rakyat (Cawara) mirip Calon legislatif (Caleg) ini berlainan rumah dan desa, tampak tergadah menatap bubungan rumah. Diujung desa,  seorang pria tersenyum tersipu-sipu diruang tamu rumah. Sesekali terdengar kata “Nah….Naaah meleset, meleset”.

Di desa sebelah, ada perempuan mengangguk-anggukan kepalanya sembari memasak didapur. Dia ngedumel, “Tunggu kau Pa…..Selesai. Pokoknya selesai kau Pa”, terus ia tersenyum manis sekali.

Sisi kiri pinggir danau, ada seseorang sesungguhnya ia berkelamin ganda juga duduk, senyum lalu cekakak-cekikik sendirian. Untung dia lagi sendirian. Kalau ia besama temannya, tentunya  menjadi kelamin ganda beregu.

Masyarakat negeri itu tahu, kalau ketiga orang itu bagian  dari ribuan Anak Negeri Antahberantah yang ingin berpartisipasi langsung sebagai Cawara. Karakter mereka umumnya sama. Rasa merasa bertutur cinta negeri.

Secara intelektual tak diragukan lagi. Hanya saja kelemahannya, mereka tak dapat mencerna, bila tutur yang  keluar soal cinta itu, merupakan perselisihan antara khayal dan pikirannya.  Sikap yang rawan akan memperkosa diri sendiri.

Ngayal

Para Cawara sadar  bila pemilihan masih beberapa bulan lagi. Tapi khayal selalu menghampiri saat mereka sendiri, berorasi bahkan saat jelang bobok siang ataupun malam. Bahkan diantara mereka ada yang berulang kali jadi Cawara. Latah ngayal terus saja menghampiri.

Seorang penulis berlagak seorang filosof, rupanya terus mengamati gejala jiwa ini sejak 30 tahun lalu. Nyatanya, gejala itu memang tidak pernah berubah. Sudah begitu bila seseorang mencalonkan diri sebagai Cawara. Memastikan khayal yang belum pasti. Belum pasti, khayal telah memonopoli diri.

“Dia hanyut dalam khayal keindahan dan cinta. Padahal bakkata peribahasa, gunung yang engkau lihat indah, sesungguhnya tak seindah apa yang engkau lihat” tulis seorang penulis yang sebenarnya punya gejala psikis yang sama. Merasa diri raja di dusun tinggal.

Dari meja penulis tampak sebuah buku yang berkali-kali terbuka ditiup angin. Tertera sebuah tulisan  Agatha Christie yang mengatakan, “…kekejaman itu kadang-kadang bukan merupakan pembawaan, melainkan disebabkan oleh daya khayal yang lambat pematangannya. Seseorang yang kekanak-kanakan adalah yang paling menakutkan di dunia ini…”

Tak tahu persis apa korelasinya antara kekejaman dengan khayal. Namun  tak juga penting bila itu menjadi pembahasan. Yang peting saat ini menurut Sang Penulis, kita tunggu akhir dari Cawara yang saat ini.

Bila mengingat Cawara periode sebelumnya, akibatnya sama, bila seorang Cawara gagal. Dia akan merasa sedih, rugi bahkan bisa ketawa sendiri saat sedang marah. Gejala sakit jiwa yang bertedensi pada siapa saja.

Akan terjadi send kiri belok kanan. Send kanan tapi tetap melaju. Titik nadirnya nanti bagi Cawara gagal, dia akan berkutat di Lingkar Barat saja, tanpa tahu mana Lingkar Timur, Selatan atau Utara lagi.

Ternyata nasib menentukan lain. Ketiga Cawara itu berhasil dipilih jadi wakil rakyat Negeri Antahberanta. Ternyata  sumringah, senyum manis  dan cekakak cekikik itupun tak hilang. Bahkan kian menjadi.

Pria yang sumringah itu tak lagi bilang nah atau meleset lagi. “Itu dan yang itu baru tepat”, katanya.

Perempuan senyum manis, kini akan selalu tersenyum manis saat dikantornya. Lain bila ia sudah pulang kerumah. “Papa nggak usah banyak ngatur deh….Sekarang kalau tak senang dengan saya kita end”, gayanya.

Sendang berkelamin ganda kian menjadi ganda campuran. Study banding, kunjungan kerja dilakukannya tiap hari Selasa hingga Jumat. Cekikikkanpun kerap santer terdengar.

Penulis mengelengkan kepalanya. Rupanya sudah di prediksi. Penulis teringat  pesan seorang agamawan yang mengatakan, “Apa yang kamu lihat, apa yang kamu dengar akan tercermin dimuka. Dia akan keluar tak mesti dengan ucapan, ada kala-nya dia akan keluar dalam bentuk tingkah lagu”.

* Cerpenis tinggal di Bengkulu Kota.

Related

Dunia Sehektar di Negeri Marlborough

“ Gunung Yang Engkau Lihat Indah, Sesungguhnya  Tak Seindah Apa...

Torehan Pena Emak

Cerpen:  Benny Hakim Benardie Kata kunci hidup itu bergerak....

Bukit Tapak Paderi Sepenggal Kenangan

“Tak tahu dan diam itu wajar. Bila tahu tapi...

Ta’un Sang Caleg

Cerpen: Benny Hakim Benardie Pagi itu Juli 2018, Negeri Bencoolen...

Cerpen: Rumah Bengkulu

Oleh: Benny Hakim Benardie Sewindu sudah negeri ini tak ramai...