Jumat, Maret 29, 2024

Menangiskah Gadis Bengkulu di Eropa

Cerpen: Benny Hakim Benardie

“Tidurlah Amna, Dang lagi buat pekerjaan kantor. Kamu jangan ke luar pintu, nanti diganggu polisi Inggris yang lagi menggila. Mana Encik Naurinnah kau sama Donga Radja Gendam?”

Angin senai-senai berhembus lembut dari balik gemerisik pohon bambu di Negeri Mati, sebutan lain Negeri Bengkulu di 190 Tahun nanlalu. Negeri ini terus menjadi lirikan para pengarung lautan saat melintas di perairannya. Hasil bumi dan keramahan penduduknya menjadi kerinduan tersendiri tanpa pilihan lain.

Tuangku Radja Bilang terus memantau kondisi negeri ini dari Fort Marlborough, tempat dirinya bekerja Hoofd Jaksa. Tahun 15 September 1826 merupakan tahun cobaan yang berat baginya, dimana ia melihat anak negeri dipersunting orang-orang Inggris yang bercokol di negeri ini.

Kerisauan itu ditambah kabar, kalau banyak gadis negeri ini akan diboyong ke eropa. Meskipun sudah dipersunting, namun Tuangku Radja Bilang terlintas khayal bila gadis negeri ini tersia-siakan nantinya di eropa.

“Hei babu, tolong buatkan saya secangkir kopi. Jangan lupa koe beli rebus ubi di lepau pinggir pantai,” kata Tuanku Radja Bilang dalam keresahan.

Sebagai pribumi Negeri Bengkulu, kepeduliannya terhadap daerah yang dipijaknya menjadi beban moral dan mental. Bukan karena dirinya sebagai seorang Hoofd Jaksa, tapi di tanah inilah pancaran darah ibunya tumpah. Walaupun dirinya berdarah Koto Gadang Minang Kabau.

Sejak awal tahun 1800-an, dirinya ditugaskan pemerintah kala itu untuk mengabdi di Negeri Bengkulu ini. Bersama tertua dan para pemimpin Negeri Bengkulu lainnya, Tuangku Radja Bilang mengelar rapat di gedung belakang dekat perkampungan Cina. Suasana tegang pun tampak saat pembahasan.

“Meskipun gadis negeri ini ada yang sudah dipersunting orang Inggris, namun kebijakan untuk membawa mereka ke Eropa harus digagalkan,” kata Tuanku Radja Bilang.

Ide tersebut disambut baik dengan yang lainnya. “Harus kita buat surat protes ke pemerintah Inggris, karena itu tidak sesuai dengan aturan atau norma adat yang hidup di negeri ini,” tegas Pengeran Linggang Alam.

Hari menjelang sore, rapat terbatas dibubarkan. Dengan mengunakan kereta angin -Sepeda, Tuangku Radja Bilang bergegas pulang ke daerah Pasar Melintang. Malamnya ia tampak membuat konsep surat protes kepada pemerintah Inggris yang berkuasa.

“Sudah larut malam Dang? apa gerangan yang dibuat itu,” tegur Amna, adik Radja Bilang.

“Tidurlah Amna, Dang lagi buat pekerjaan kantor. Kamu jangan ke luar pintu, nanti diganggu polisi Inggris yang lagi menggila. Mana Encik Naurinnah kau sama Donga Radja Gendam?” tanya Tuanku Radja Bilang ke Amna soal keberadaan istri dan adiknya.

Surat Protes
Fajar menyingsing, kicauan Burung Muray Batu terdengar dari dahan kopi di daerah Kebun Roos. Hari ini Tuanku Radja Bilang sengaja tidak mengayuh kereta anginnya, menyisir jalan ke arah wilayah Jitra, dimana para pejabat Inggris dan pribumi acapkali berkumpul dan mengopi.

“Tuan-tuan tabik tuan. Saya minta didengar. Hari ini saya akan melakukan protes kepada pemerintah, yang mengizinkan gadis Bengkulu diboyong ke eropa, atau Negeri Inggris.” pekik Tuanku.

Hari ini bersama pejuang lainnya beliau melayangkan surat protes keras kepada pemerintah Inggris, atas kebijakan mengizinkan, membawa para gadis-gadis Bengkulu yang dinikahi, untuk dibawa ke eropa. Ulah yang dilakukan itu bertentangan dengan adat Negeri Melayu Bengkulu.

“Nah ada apa ini, Bukankah Tuanku Radja Bilang itu selain hoofd Jaksa, ia juga sebagai penjembatan penyelesaian kasus-kasus antara pemerintah kolonial kala itu?” tanya beberapa tokoh negeri yang merasa aneh.

Surat protes pun melayang, namun kekuasaan tetap tegak dengan kuat. Rupanya segenggam kekuasaan lebih berharga dari sekeranjang kekuatan. Aturan adat pun tertampik. Di Tahun 1838 letih karena umur dirasakan Tuanku Radja Bilang.

Delapan anaknya kian berumur dan ingin berperan bagi Negeri Bengkulu, sebagaimana Sang Ayah. Kabarnya, di Inggris, bayak keturunan gadis Negeri Bengkulu yang hidup dan membaur hingga kini.

“Mereka masih ingatkah sama kampoeng asalnya?” tanya Sabrina Rianti Tasyah yang memikirkan kisah seorang gadis yang dipersunting dan dibawa jauh dari sanak saudaranya. Sabar Menanti dan Pasyrah (Sabrina Rianti Tasyah).

Cerpenis tinggal di Bengkulu Kota

Related

Dunia Sehektar di Negeri Marlborough

“ Gunung Yang Engkau Lihat Indah, Sesungguhnya  Tak Seindah Apa...

Torehan Pena Emak

Cerpen:  Benny Hakim Benardie Kata kunci hidup itu bergerak....

Cerpen: Rumah Bengkulu

Oleh: Benny Hakim Benardie Sewindu sudah negeri ini tak ramai...

Tekijang

Cerpen Benny Hakim Benardie “Masih Kecik Kudo Tembago. La Gedang...

Bukit Tapak Paderi Sepenggal Kenangan

“Tak tahu dan diam itu wajar. Bila tahu tapi...