Kamis, Maret 28, 2024

Mengungkap Akal

Kompleksitas dalam kehidupan saat ini  bukan saja meninggalkan rasa, tapi pertimbangan akal kian disisihkan.  Padahal, dengan akalah perbedaan setiap dan antar mahluk  terjadi pembedaan dan perbedaan.

Dengan  kualitas  akal dengan asupan ilmu pengetahuan,  mahluk sosial    akan  pintar, cerdas  dalam  menjalani, menyikapi  dan menghadapi permasalahan kehidupan.  Ini anggapan yang kita sangkakan selama ini ternyata tidak benar.

Banyak intelektual pintar, cerdas melakukan hal yang tidak rasional.  Karena ingin dianggap, maka hal-hal yang tidak diketahui dan dipahaminya. Dicobanya mengkait-kaitkan dengan  sesuatu yang bukan  dasarnya, asumsi  yang tidak tepat, karena nafsu dan desakan sektoral.

Seorang intlektual  rela melakukan persetubuhan dengan  bukan pasangan resminya yang masih  isteri orang lain. Padahal seyogyanya dia tahu akibat  dari perbuatannya dapat  menghancurkan dirinya  sebagai makhluk sosial.  Andai ingin saja  dengan sedikit mengeluarkan koceknya,  maka  kondisi aman akan didapatkannya. Hanya saja, kepintaran, kecerdasan  akan tidak berarti apa-apa bila emosi, nafsu yang berkuasa.

“Masalahnya adalah, bagaimana mungkin seseorang yang jelas-jelas cerdas melakukan sesuatu yang sedemkian  tak rasional—sesuatu yang betul-betul bodoh? Jawabnya:  Kecerdasan akademis sedikit saja kaitannya dengan  kehidupan emosional. Yang paling cerdas diantara kita dapat terperosok kedalam nafsu tak kendali dan Impuls meledak-ledak; Orang dengan IQ tinggi dapat menjadi pilot  yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka”. (Daniel Goleman; Emotional Intelligence, hal 44)

Pertanyaannya adalah, apakah itu akal? Bukankah akal itu merupakan ‘kekuatan’ yang membedakan manusia dari semua jenis hewan.  Apa itu akal,  banyak perbedaan pendapat yang kontras dalam kalangan para ahli. Dalam literatur Bahasa Arab, akal diartikan kecerdasan lawan dari kebodohan: diartikan pula hati (Qalb).

Pendapat  Pakar

Akal  sebagai kekuatan tersembunyi yang ada di manusia, teryata  dibantah oleh  Abu Bakar ibn Al-‘Arabi. Tatatanama itu dikatakannya nama yang tidak berfaedah, pernyataan yang berlebihan (Eksagerasi) yang tak berguna. Segala sesuatu dan hasil serapan itu dinamakan ilmu, bukan akal. Akal itu adalah ilmu, yaitu suatu sifat yang dengannya persepsi ilmu dapat  dihasilkan.

Filosof  muslim,  Ibn Rusyd atau dikalangan  barat  disebut Averous memberikan pendapat yang menarik. Akal manusia katanya, tidak berada pada satu tingkatan dalam menyerap sesuatu.

Menariknya adalah, ada akal-akal yang menembus sampai jauh dan menyentuh benang- benang halus  untuk mengikat sesuatu. Ada akal yang tak sampai pada tingkat tersebut, karena terikat dan terhenti pada sifat-sifat yang tampak dan gejala-gejala yang nyata saja.

Berikutnya, dibawah tingkatan  itu sebuah, ada akal yang tidak mengetahui rahasia ikatan-ikatan yang tersembunyi atau yang tampak. Hanya tahu apa yang diungkap (resonan) dan kalimat-kalimat retorik saja.

Filosof Ibn Rusyd membangi akal manusia itu dalam tiga macam:  1. Akal Demostratif (Burhani), yang mampu memamahi dalil-dalil yang menyakinkan dan tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan penting. Melahirkan filsafat. Akal ini hanya diberikan pada sedikit orang saja. 2.  Akal Logik (Manthiqi), yang sejedar memahami fakta argumentasi. 3. Akal Ritorik (Khithabi), yang hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat nasehat dan ritorik, tidak dipersiapkan untuk memahami  aturan  berfikir sistematik.  

Terakhir, akal yang biasa dapat disaksikan  pada kebanyakan orang biasa. Salah satunya  tipe orang yang tidak fokus tapi nyiyirnya lama, selesaipun tidak.

Pengertian akal menurut  Dr Zaki Najib Mahmud,  gerakan yang menimbulkan perpindahan dari yang menyaksikan (Syahid) kepada yang disaksikan (Masyhud‘alaih), dari bukti (dalil)  kepada  yang dibuktikan (Mudlul’alaih), dari premis kepada konklusi, dari perantara (Wasilah) kepada  tujuan (ghayah).

Kata kunci dari pendapat ini adalah gerakan. Jadi, bila kita mengetahui sesuatu tanpa melakukan perpindahan darii keadaan tahu ke keadaan berikutnya, maka tidak ada yang disebut akal.

Konklusinya dari catatan ringkas diatas , manusia normal  memiliki anugrah akal. Akal  mahusia itu ada  pertikatan dan baru dikatakan manusia itu berakal sempurna  bila ada gerakan pepindahan dari tidak tahu menjadi tahu dan lebih tahu.

Sebagai catatan juga bagii kita, pintar dan certas  karena akal itu, tidak melulu ada korelasinya dengan kesuksesan seseorang.  Setinggi-tingginya kecerdasan intlektual (IQ)  seseorang, hasil riset Daniel goleman menyebutkan, kira-kira 20 persen saja menyumbang faktor kesuksesan seseorang dalam hidup. 80 persennya disisi oleh kekuatan lain.  Termasuk dalam hal ini kelas sosial  dan nasib baik.

*Wartawan  tinggal di Bengkulu/dariberbagai sumber.     

 

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis Mafia Tanah sudah menggurita dan telah...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...