Rejang Lebong, Kupasbengkulu.com – Mendengar kata sinden, yang terbesit di pikiran adalah perempuan Jawa yang menggunakan kebaya dan bernyanyi dengan nada tinggi. Biasanya, penyinden akan muncul di pegelaran wayang atau musikal Jawa.
Hubungan yang akrab antara budaya Jawa dengan Rejang, khususnya di zaman Hindu-Budha, membuat ada banyak budaya Jawa berakulturasi dengan budaya Rejang. Tidak terkecuali untuk seni musik. Seperti alat musik Kelintang yang mirip dengan Bonang Jawa, dan alat perkusi lainnya. Begitu juga dengan Sinden yang khas di setiap kesenian musik Jawa.
Didalam kesenian Rejang, dikenal seorang penyanyi yang disebut Nyamei atau Ngandak. Tradisi Menyamei atau Mengandak inilah yang saat ini sudah begitu langka dan harus terus dilestarikan.
“Oleh sebab itu, dalam rangka festival Budaya HUT Curup tahun ini, tradisi tersebut dipentaskan,” kata Samsul Hilal, anggota Badan Musyawarah Ada (BMA) Rejang Lebong.
Sebelum dilakukan tradisi mengandak atau menyambei, maka akan dilakukan Tari Kejei. Namun, saat ini tradisi tersebut banyak mengalami perubahan, salah satunya hanya diawali dengan nyanyian saja.
Perbedaan mendasar antara Sinden dengan Penyamei ini adalah yang dinyanyikan Penyamei selalu sedih, sehingga dapat membuat penonton ikut tersentuh menitikkan air mata.
Perbedaan lainnya adalah, Penyamei ditutup wajahnya dengan kipas. “Biasanya tidak diiring musik, atau hanya didampingi dengan suling dan lainnya,” katanya.
Selain itu, Penyamei Rejang bisa laki-laki maupun perempuan. Namun, untuk penyamei laki-laki, tidak perlu ditutup dengan kipas. “Kalau perempuan ditutup kipas, atau selendang,” jelas Samsul.
Penulis : Adhyra Irianto