
kupasbengkulu.com- Muspani menilai pernyataan Pansus RUU Desa dan anggota Komisi II DPR bahwa UU Desa merupakan perubahan radikal akan otonomi Desa, terlampau berlebihan.
“Kalau kita membaca dari 122 pasal di UU Desa yang baru itu, justru saya melihat tetap sentralisasi. Jadi dimana otonomi desa ?” ujar Muspani.
Dalam asas pertama memang dikatakan UU Desa menganut asas rekognisi, pengakuan terhadap hak asal usul. Namun, dengan penjelasan dan uraian akan pasal-pasal yang sedemikian detail akan desa, asas ini terabaikan. Lalu, dimana ruang untuk pemerintah daerah untuk membuat Perda tentang Desa yang benar-benar mendasar pasa asal usul, adat istiadat dan nilai nilai sosial budaya mayarakat setempat.
Dalam kaitan itu Muspani menjelaskan bahwa asas rekognisi seharusnya meletakan Desa sebagai self governing community. Tata kelola yang dilakukan oleh komunitas itu sendiri, tanpa pemerintah ikut campur didalamnya. Komunitas mempunyai inisiatif untuk menyelenggarakan urusan-urusan bersama secara sukarela.
Bila pemerintah dan anggota DPR benar-benar ingin memberikan otonomi berdasarkan asas rekognisi, UU Desa tidak perlu mengatur tugas, wewenang, hak, kewajiban dan larangan Kepala Desa cukup mengatur tentang wewenang, hak dan kewajiban pemerintah komunitas desa saja. UU Desa tidak menempatkan PNS dalam struktur pemerintah komunitas desa.
Ditambahkannya, UU Desa tidak perlu mengatur lembaga-lembaga desa, cukup memberikan hak pemerintah komunitas desa untuk membentuk lembaga desa sesuai kebutuhan komunitasnya. Bahkan UU Desa tidak perlu mengatur masa jabatan dan periodisasi kepala desa, biarkan pemerintah komunitas desa yang mengatur berdasarkan kesepakatan komunitasnya.(adi)