Jumat, Maret 29, 2024

Pasar Bengkulu Kenangan yang Terhempas

Cerpen: Benny Hakim Benardie
Seorang pria setengah baya tampak berjalan berlahan memasuk perkampungan Pasar Bengkulu. Sesekali dia berhenti, dihirupnya udara khas pesisir. Bukannya karena sesak akibat berjalan, tapi aroma kenangan 40 tahun lalu cobah dikenangnya kembali.
“Ini kampungku. Nenek moyangku dulu disini. Disinilah dulu aku sempat dibesarkan, saat Datuk Nenekku masih hidup”, kata pria itu ngoceh berbisik.
Tak tampak satupun penduduk ada yang menyapa. Pria itu terus berjalan sembari menikmati apa yang laluinya, sembari berharap tak banyak kenangan yang di impikannya berubah. Kuburanpun masih seperti 35  tahun lalu. Hanya rumah kayu beratap rumbia kini sudah berganti sesuai zaman.
Saat memasuki ditengah kampoeng tua Pasar Bengkulu, pria itu tampak bingung. Namun bertanyapun ia enggan. Tak tampak lagi benteng  kecil pemantau  yang dahulunya berjejer di pinggir pantai. Dahulu anak negeri ini menyebut benteng pantau itu beton. Ya….Benton pemantau yang dibangun Koloni Inggris saat Fork York sempat tegak berdiri, diatas bukit Pasar Bengkulu.
Diingatnya saat itu, saat masih kanak-kanak, dia diam-diam mandi laut, takut dimarah Emak. Kini ombak laut itu pecah agak menjauh. Benton tempat dia bersama temannya dulu bermain di pantai, kini ditelan pasir pantai.
Pasar Bengkulu kini sudah berubah. Pria itu tetap berdiri di tepi pantai melihat deburan ombak. Menitik air mata ke pipinya. Entah kenangan apa yang ada dibenaknya.
“Ya…..Kenangan. Apa sebenarnya guna kenangan lampau ini. Bila tak berguna, kenapa aku harus menitikkan air mata. Bukankah kenangan itu membuat sesak dadaku saja? Ah.. Biarlah apa maunya diri. Mungkin ini kebutuhan khayal”, lamun pria itu.
——–         
Mentari sudah mulai sepengalan. Pria itu mencoba mendekati ombak. Sebelum ombak membasah kakinya, pria itu tampak memeluk perahu atau sampan nelayan yang ditaruh berjejer di pinggir pantai Pasar Bengkulu. Seperti ada kerinduan mendalam pria itu, akan kampoeng nenek moyangnya.
Kali ini pria itu tampak tersenyum. Terkenang olehnya teriakan ala masyarakat disini,  saat melihat ada sampan yang pulang dari melaut. “Tu  dua  tigo…Bottoi…Satu duo tigo……..Bottoi”, teriakan aba-aba kegotongroyongan membantu adik sanaknya yang pulang melaut.
Teriakan Itu yang sama, aba-aba saat pukat atau mayang ditarik bersama-sama. “Ini kenangan yang pernah aku saksikan dahulu Ya Rabb”, kata pria itu menengadah ke langit biru.
Kenangan kecil di Pasar Bengkulu yang berarti Marga Bengkulu itulah  rupanya menarik dirinya pulang dari negeri perantauan. Langkah gontai terus melaju ketepi deburan ombak. Menunduk ia dan dipukulnya ombak yang dulu hampir mengulung dirinya,  saat mandi sedang mandi bersama teman-teman kecilnya yang kini entah  dimana kini.
“Woi…….Naiklah. Jangan main air tu. Idak liek apo ombaktu gedang”, teriak seorang nelayan yang lagi memperbaiki jaring ikannya di atas perahu.
Pria itu sempat kaget. Segera ia beranjak mundur dari ombak. Ia mencoba mendekati nelayan tua yang lagi memperbaiki jaringnya yang sobek.
“Maaf pak….”, tegur ku.
Nelayan tua tu tak menjawab. Ia tampak konsen akan jaringya yang banyak bolong-bolong.
Kampoeng tua Pasar Bengkulu. 
“Saya ini aslinya orang sini Pak. Hanya saja kini saya menetap di Negara German. Kenalkan saya Pak”, kata pria itu sembari mengulurkan tangannya ke nelayan tua itu.
Nelayan tua itu menyambut tangan pria itu. “Oo cemitu.  Apo ulah wa’ang ke siko? Pai kerumah sanak wa’ang?” Tegur nelayan tua bercelana terening merah,  yang mengaku dirinya dipanggil  Cik An.
Pria itu sempat tertegun sejenak. Terbayang olehnya bahasa dirinya saat kecil dahulu. Merinding rasanya bulu kuduk pria itu,  saat mendengar bahasa Pasar Bengkulu lama itu terngiang kembali.
“Eh……….Saya kesini hanya mau melihat tempat asal nenek moyang saya aja Pak. Memang seingat saya dahulu, disini  banyak keluarga saya. Nanti usai dari pantai saya akan melihat ke darat. Siapa tahu masih ada sanak  saudara saya. Meskipun nama mereka saya lupa”, jelasnya.
Cik An tampoak menganguk-angukan kepalanya. Sembari menyulam jaringnya. Melihat itu, pria itu permisi pergi.
“Wa’alaikumsalam”, kata Cik An.
Pria itu tampak binggung. Padahal dirinya belum mengucapkan salam. Tapi kenapa nelayan tua itu menjawab salam? Terakhir baru tahulah pria itu, ternyata nelayan tua itu agak tuli. Agak pekak-pekak badak. Kadang dengar, terkadang los aja tu kupingnya.
——
Kaki pria itu terus melangkah di ujung kuala Pasar Bengkulu, dimana dulunya ia sering membantu ayahnya saat ikut menjaring ikan di kuala. Pria itu kembali terlihat  bingung.  Kuala itu tak ada lagi. Dilihatnya ada sebuah tugu berdiri. Tak tampak olehnya pertemuan air sungai dan laut seperti dulu. Rupanya air tak bisa di atur. Ada saatnya ia kekiri, ada saatnya ia kekanan. Bahkan uniknya air itu, saat dia atur agar mengalir semau aturan kita, maka air akan menentukan mengalir lurus.
Pasar Bengkulu banyak dan tampaknya akan terus berubah. Budaya dan bahasa mulai mengalami pergeseran.
Sembari beristirahat, pria itu mencoba merebahkan tubuhnya yang mulai basah dengan keringat asin pekat di Tugu Perjuangan Pasar Bengkulu. Teringat ceritera Emaknya dahulu, berkisar 60 Tahun nanlalu. Pasar Bengkulu ini ramai.
Kini rumah penduduk hanya tampak dua lapis berjejer ke arah pantai. Dulu jauh kearah pantai, masih sekitar delapan lapis rumah lagi. Laut masih tampak jauh. Kecuali rumah di pinggiran Sungai Pasar Bengkulu, yang dari zaman dahulu memang satu baris saja rumah di pinggiran sungai.
“Kenapa aku jadi terkenang akan kapoeng tua ini terus ya! Apalah guna dan manfaat dari kenangan ini untuk hidupku di zaman serba modern ini ya?” Pikir pria itu sembari merebah menatap langit.
Pria itu tersentar, saat beberapa titiu air mengenai pipinya. Ternyata langit kelabu, pertanda  hujan akan segera turun. Sebuah mobil Alvart putih tampak menghampiri pria itu.
“Mari tuan”, kata sopir sembari membukakan pintu mobil. “Maaf tuan Benny, tadi ada telepon dari kedutaan, tuan disuruh segera pulang ke German”, kata Sang Sopir sembari berlalu menginjakkan gas kendaraannya.
“Ia….Coba buka semua kaca mobil. Kamu jalan saja berlahan. Biarkan udara Pasar Bengkulu ini memenuhi ruamgan kendaraan”, perintah pria itu hingga kampoeng tua itu lenyap dari pandangannya.
“Aku ini anak bada sekawik. Selamanya akan menyandang gelar Anak Bada”, kata pria itu pada Sang Sopir, yang baru juga paham kalau anak Pasar Bengkulu itu sering di gelar Anak Bada Sekawik.
* Cerpenis tinggal di Kota Bengkulu.
 
The post Pasar Bengkulu Kenangan yang Terhempas appeared first on kupasbengkulu.com.

Related

Sriharti di Negeri Bukan Perawan

Hembusan angin senai-senai saat mentari menyengat Negeri Bengkulu,  sudah...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Tamat)

Peran  Orang Dalam Tahun  kepemimpinan Residen Thomas Parr dianggap melakukan...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Part 2)

Siapa Pelakunya “Pribumi tak berprikemanuasiaan, kejam dan sadis”. Itulah yang...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Part 1-3 tulisan)

“Malam itu, sekelompok pribumi merangsek masuk Gedung Mount Felix...

Girik Cik: Matisuri Peradatan di Negeri Bukan Kukang

Tekad  anak negeri ingin “Adat Bersendi Sarak, Sarak Bersendikan...