Jumat, Maret 29, 2024

Pergolakan Kebudayaan Anak Negeri

Catatan  Pinggir Wartawan Bangkotan

Sejak pergerakan akal sehat, sikap kritis terhadap kemaksiatan dan kezaliman digulirkan  mulai pada Tahun 1966, 1974 hingga 1998 lalu, maka besar harapan  anak negeri  sebagai manusia yang meredeka, untuk berfikir maju berkreasi dan berinovasi dalam hidup.

Dalam enam tahun terakhir, sebagian pihak merasa harapan itu pupus.  Setiap ungkapan dan perkataan yang tak berpihak menuai pengkhianat.  Itu semua masih merupakan tataran pengertian kebudayaan anak negeri.  Termasuk  inisiatif anak negeri untuk melakukan demonstrasi atau unjuk rasa, bila merasa diberlakukan, melihat  ketidakadilan, kezaliman atau kemaksiatan yang terjadi.

“Sebaliknya, bila anak negeri apatis, stagnan melihat apa yang terjadi, maka baiknya ganti saja pakainnya dengan pakaian kematian”.

Apa benar kalau semua itu merupakan kebudayaan? Lah…. ialah! Kebudayaan berasal dari kata sankrit, buddhi yang berarti akal, kepandaian dan kebaikan. Latinnya culture yang berarti memelihara atau menumbuhkan. Jadi, segala hal yang masuk dalan kecerdasan, kepandaian manusia masuk dalam kebudayaan.

Secara umum dapat dikatakan, kebudayaan itu adalah segala perwujudan dan hasil kerja jiwa manusia. Baik  sebagai individu maupun hubungan sebagai anggota masyarakat. Jika begitu, maka demonstrasi itu merupakan bagian kebudayaan anak negeri.

Apalagi dalam kebudayaan itu selalu tampak harapan, anasir anasir akan kemajuan.  Perlu kita ingat, tinggi rendahnya kebudayaan suatu negeri, mengambarkan tinggi rendahnya kemajuan, termasuk  anak negerinya.

Zaman kerajaan dahulu, setiap pemimpin dan anak negerinya, selalu  menjalankan kekuasaan, kehidupannya atas dasar filsafat agama atau keyakinannya.  Kini terjadi pergeseran,  dimana semua itu sesuai konstitusi atau hukum positif yang berlaku. Filsafat agama atau keyakinan sediit terkesampingkan, meskipun ada pihak yang mengatakan itu terkesan pragmatisme.  Hal ini juga menunjukan akan kebudayaan yang ada.

Antithese                 

Sejak anak negeri terdikotomi masif terjadi akibat kepentingan politik, yang sesungguhnya tidak berdasarkan idiologis juga. Maka sadarlah kita akan adanya antithese yang timbul akibat perubahan kebudayaan yang dibentuk dan dipaksakan.

Hakekatnya,  terbentuklah dua sifat. Pertama, terjadilah rasa saling tidak percaya dan menolak akan fakta, realitas  yang ada.  Kedua, membuka timbulnya kebudayaan baru, sesuai dengan keinginan pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan.

Apakah itu merupakan kesalahan fatal sebagai anak negeri?  Tidak ada kesalahan dalam kebudayaan, kecuali terjadi pergeseran. Kebudayaan yang ada merupakan warisan orang sebelumnya. Anak negeri dapat pilah-pilih, disesuaikan dengan kekinian.   Kebudayaan bentuknya aktif dan dapat diperkaya dengan hal yang baru.

Benny Hakim Benardie, wartawan tinggal di Bengkulu   

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis Mafia Tanah sudah menggurita dan telah...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...