Selasa, April 16, 2024

Platform Presiden 2014 (I) Ketata-Negaraan

Kwik Kian Gie (Foto: nusantaranwes.wordpress.com)
Kwik Kian Gie (Foto: nusantaranwes.wordpress.com)

Oleh Kwik Kian Gie

Era reformasi selama 8 tahun melaksanakan sistem ketata-negaraan yang didasarkan atas UUD 1945 yang sudah diamandemen empat kali. Ciri pokok dari UUD yang juga disebut sebagai UUD 2002 yalah liberalisme sangat jauh yang terkandung di dalamnya. (baca: Platform Presiden 2014 (II) Memberantas Korupsi)

Hasilnya dapat kita rasakan dalam bentuk kekalutan dan anarki dalam kkehidupan berbangsa dan bernegara kita yang akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan ini.

Saya mulai dengan apa yang hendaknya dilakukan secara konkret. Setelah itu baru memberikan uraian tentang latar belakang dan alasannya.

DEKRIT KEMBALI PADA UUD 1945

Presiden yang terpilih di tahun 2014 memberlakukan kembali UUD 1945 dalam bentuk aslinya. Caranya bisa melalui Dekrit Presiden seperti yang pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno di tahun 1959, dan bisa juga melalui lobi intensif dengan kalangan yang sangat luas.

Konsekwensinya sebagai berikut.

• DPR dan DPD dibubarkan.

• Untuk pertama kalinya DPR dan MPR dibentuk oleh Kongres Nasional yang diselenggarakan oleh Presiden tahun 2014.

• Kongres Nasional diselenggarakan oleh Presiden 2014 dari para anak bangsa yang diseleksi dengan ketat bahwa mereka mempunyai semua kwalifikasi untuk mewakili dan membela kepentingan masyarakatnya masing-masing.

• Jumlah partai politik diperkecil sampai menjadi paling banyak 5 partai

• Penghapusan semua Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945 seperti UU Otonomi Daerah.

• Penyempurnaan UUD 1945. Presiden segera membentuk Komisi Penyempurnaan Konstitusi.

• Para anggotanya ditentukan atas dasar integritas, pengetahuan dan pengalaman serta kwalitasnya sebagai manusia yang mempunyai visi jangka panjang dan manusia yang bijaksana. Mereka diseleksi dari orang-orang yang memahami kebudayaan dan nilai-nilai bangsa yang menjadi dasar dan landasan bentuk demokrasi yang paling cocok buat bangsa Indonesia. Bukan demokrasi yang direkayasa oleh National Democratic Institute bersama-sama dengan para kroni Indonesianya yang terdiri dari quasi elit bangsa.

PERMASALAHAN BANGSA DALAM BIDANG KETATA-NEGARAAN

Sejak era Reformasi, jelasnya sejak Presiden RI dijabat oleh KH Abdurrachman Wahid (Gus Dur), kebebasan dalam segala bidang, terutama dalam menyatakan pendapat sangat terasa. Dalam bidang politik dan kemasyarakatan Gus Dur mempunyai track record sebagai pendiri dari Forum Demokrasi yang cukup berpengaruh.

Maka sudah dengan sendirinya bahwa demokratisasi segera saja diterapkan secara sungguh-sungguh. Penerapan demokrasi selalu didasarkan atas peraturan yang berlaku. Demokrasi tanpa aturan main adalah anarki dan kekalutan (chaos).

Namun walaupun ada aturan main buat demokrasi suatu bangsa, aturan main yang kacau atau yang sama sekali tidak sesuai dengan tingkat pendidikan serta kematangan jiwa untuk berdemokrasi oleh rakyatnya, juga akan menimbulkan anarki dan kekalutan. Inilah yang terjadi di negara kita sejak diamendemennya UUD 1945 sampai empat kali.

Jiwa UUD 1945 yalah demokrasi yang bertingkat atau getrapte democratie, atau demokrasi perwakilan. Kekuasaan tertinggi ada pada MPR yang terdiri dari para anggota DPR sebanyak 1/3, Utusan Golongan sebanyak 1/3 dan Utusan Daerah sebanyak 1/3. Dari tiga kelompok ini, yang dipilih secara langsung hanya yang 1/3 para anggota DPR.

Unsur demokrasinya ada, yaitu para anggota DPR yang dipilih langsung oleh rakyat. Namun unsur kepemimpinan oleh hikmah kebijaksanaan dan oleh orang-orang yang dianggap mempunyai moralitas tinggi dan pengetahuan yang memadai untuk mengurus negara juga ada, yaitu para utusan golongan profesional dan para utusan daerah.

MPR ini yang memilih Presiden dan Wakil Presiden, bukan rakyat secara langsung melalui pemungutan suara. Pemilihan dilakukan melalui musyawarah yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. Pemungutan suara hanya dilakukan bilamana musyawarah sudah diupayakan secara maksimal, namun gagal memperoleh konsensus. Hikmah kebijaksanaan dapat dilakukan karena 2/3 dari anggota MPR terdiri dari Utusan Golongan dan Utusan Daerah yang diusulkan oleh rakyat setempat. Mereka adalah para pemuka yang dikenal sebagai pemimpin dan orang berpengetahuan luas serta bijak oleh golongannya masing-masing.

UUD 1945 tidak dirumuskan dengan tergesa-gesa dan secara sembarangan. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, para pemimpin intelektual dengan pendidikan dan pengetahuan yang memadai sudah memikirkan secara mendalam tentang supra struktur dan infra struktur politik yang cocok untuk bangsa Indonesia. Maka kesemuanya ini perlu diberlakukan kembali.

UUD 1945 berlaku sejak Indonesia merdeka sampai tahun 1950. Di tahun 1950 diberlakukan UUD 1950 yang menganut sistem parlementer. Sistem ini berlaku sampai bulan Juli 1959. Dalam periode itu kita saksikan bubar dan dibentuknya lagi kabinet atas dasar kesepakatan beberapa partai politik yang ketika membentuk kabinet sepakat untuk memerintah, karena mempunyai kedudukan mayoritas dalam parlemen. Sering terjadi bahwa platform gagal dibentuk, sehingga dicarikan kombinasi baru. Maka setiap kali kabinet jatuh dibutuhkan waktu banyak untuk membentuk kabinet baru. Dan kalau sudah terbentuk seringkali juga dalam waktu singkat jatuh lagi.

Maka dalam bulan Juli 1959 Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945, yang menganut sistem presidensiil.

Di tahun 2002 UUD 1945 diamandemen empat kali oleh MPR yang oleh sementara orang disebut UUD 2002. Demokrasi ini tetap presidensiil. Namun sangat berbeda dengan UUD 1945 yang asli, demokrasinya sangat liberal. Semua anggota DPR dipilih langsung oleh rakyat. Utusan golongan dan utusan daerah tidak ada. Perannya diganti dengan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, yang juga disebut Senat. Para anggotanya dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian di tingkat pusat semua anggota badan legislatif dipilih langsung oleh rakyat.

Dalam praktek DPD sama sekali tidak beperan. Alangkah kontrasnya dengan di AS, di mana Senat yang sangat berpengaruh. Ini adalah contoh pencangkokan sistem dari AS yang sama sekali salah kaprah.

Maka ditinjau dari sudut legitimasi, Presiden mempunyai legitimasi yang sama dengan DPR dan DPD. DPR sendiri dan DPD sendiri tidak dapat menjatuhkan (impeach) Presiden. Namun DPR dan DPD bersama-sama dapat menjatuhkan Presiden. Walaupun demikian, dalam UUD 2002 terdapat pasal 7B yang antara lain mengatakan bahwa “…usul pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden harus diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi, yang akan memutus apakah Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Sejak era reformasi Presiden tidak melakukan hal-hal tersebut dalam pasal 7B, jauh dari itu. Tetapi hampir tanpa kecuali rakyat merasa bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara carut marut, yang dalam sistem ketata-negaraan kita hanya dapat diperbaiki oleh Presiden yang kuat. Kebijakan yang sangat salah atau tidak mengambil kebijakan sama sekali, atau Presiden yang tidak mempunyai Platform sama sekali dapat mengakibatkan malapetaka yang lebih dahsyat dibandingkan dengan tindak pidana korupsi, sehebat apapun juga. Contohnya adalah kebijakan dalam bidang BLBI dan Obligasi Rekapitulasi Perbankan yang telah merugikan negara dengan jumlah yang besarnya ratusan kali lipat dibandingkan dengan bail out Bank Century yang sangat menghebohkan itu.

Maka kalau penentuan siapa yang harus jadi Presiden diserahkan sepenuhnya kepada rakyat yang miskin, kekurangan gizi dan kekurangan pendidikan, akan selalu kacau balaulah negara ini.

Diberlakukannya UUD 2002 pada waktu yang bersamaan dengan pergantian pimpinan nasional. Karena banyaknya ketentuan yang baru, terjadi kebingungan tentang bagaimana harus menafsirkannya.

Semua anggota dari infra struktur politik maupun supra struktur politik mempunyai legitimasi langsung dari rakyat kecuali para menteri. Kalau kita menganut vox populi vox dei, atau suara rakyat adalah suara Tuhan, yang tidak mempunyai suaranya Tuhan hanya para menteri. Bupat, Wali Kota dan DPRD memperoleh haknya langsung dari rakyat, yang berarti suaranya adalah vox dei. Para menteri hanya mempunyai legitimasi dari Presiden.

Maka kita menyaksikan bahwa ketika Wagub Ahok diberi nasihat oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, supaya memindahkan Bupati tertentu ke daerah lain, karena tidak kondusif dalam kaitannya dengan unsur keagamaan, Wagub menyuruh Menteri Dalam Negeri belajar Konstitusi lebih baik. Suaranya A Hok suara Tuhan, sedangkan suaranya Menteri Dalam Negeri adalah suaranya SBY.

Demokrasi yang berlangsung di Indonesia adalah demokrasi di mana 50% + 1 bisa menentukan segala-galanya. Asas musyawarah memang masih diberlakukan, tetapi mulai terasa bahwa lambat laun praktek politik didominasi oleh pengambilan keputusan yang didasarkan suara terbanyak, walaupun kelebihannya hanya satu persen saja.

Keanehan-keanehan seperti ini dan kebingungan lainnya terjadi. Buat saya sistem politik yang berlaku sekarang bukan cerminan dari demokrasi, tetapi cerminan dari kekalutan (chaos) dan anarki.

Rakyat banyak tidak paham tentang akar permasalahannya, sedangkan elit politik hanya sangat sibuk bagaimana membuat dirinya populer dan dikenal orang banyak dengan melakukan lenggak-lenggok atau gerakan-gerakan dangdut politik, yang oleh para elit itu dikatakan bahwa mereka sedang melakukan manuver politik yang lihay dan cerdas

Eksperimen demokrasi a la era reformasi sudah kita praktekkan selama 8 tahun dengan hasil yang sekarang kita alami sehari-hari. Gambaran demokrasi kita dewasa ini yalah antara lain DPR yang kosong, tetapi daftar presensi ditandatangani, banyak dari para anggota DPR korup, suara diperjual belikan, menonjolkan diri sendiri tanpa malu melalui iklan bayaran dan masih banyak lagi.

Rakyat bingung dan apatis

Dalam pembicaraan di kalangan manapun, kapan saja dan di mana saja, rasa galau, takut, jengkel, marah selalu mencuat. Kalau kita amati apa yang terjadi di seluruh Indonesia, ratusan seminar dan diskusi diselenggarakan untuk “menyelamatkan” bangsa. Dalam pembicaraan yang sifatnya lebih pribadi dalam lingkungan yang lebih kecil seperti pesta ulang tahun, resepsi pernikahan, arisan dan boleh dikatakan apa saja, perasaan yang sama selalu mencuat sambil bertanya apa yang akan terjadi ? Kalau ditanya lebih spesifik apa yang dikahawtirkan, semakin lama semakin banyak orang yang mulai khawatir bahwa kerusuhan sosial dengan kekerasan bisa terjadi kalau rakyat yang mengalami pemiskinan tidak mampu lagi menahan penderitaannya.

Dari segi politik, perpolitikan yang serba free fight atau gontokan bebas
mengakibatkan demikian banyaknya partai dan organisasi massa serta LSM yang masing-masing mempunyai strategi sendiri-sendiri, yang tentunya mempunyai potensi mengembangkan konflik agar dari kondisi yang kacau itu mereka bisa memancing di air keruh.

Media massa kita semakin lama semakin banyak. Kondisi dan perkembangan yang demikian dengan sendirinya memunculkan persaingan, karena sifatnya yang hampir semuanya komersial. Persaingan untuk menarik masyarakat konsumen yang tingkat pendidikannya masih rendah cenderung ke arah pemberitaan yang sifatnya sensasional.

Demikian juga dengan para elit politik. Yang dikemukakan bukan tentang bagaimana mengurus negara ini dengan lebih baik dalam segala aspeknya, tetapi bagaimana membuat dirinya dirasakan sebagai orang hebat. Lagi-lagi, kalau mayoritas pemilih kurang memadai tingkat pendidikannya, yang dipertontonkan kepada rakyat adalah dirinya yang gerak geriknya sudah bagaikan seorang presiden, tanpa mengemukakan konsep atau platform tentang bagaimana memecahkan masalah besar yang dirasakan oleh rakyat banyak. Hal yang demikian lebih memperparah penghamburan uang tanpa penyelesaian masalah.

STRUKTUR KETATA-NEGARAAN

Struktur ketata-negaraan atas dasar UUD 1945 yang telah diamandemen empat kali, yang dijuluki dengan nama “UUD 2002” mengakibatkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang kacau balau. Yang kita alami sehari-hari bukan demokrasi, tetapi anarki dan chaos. Demokrasi atas dasar UUD 2002 tidak mencerminkan kepribadian Indonesia, tetapi membuat beberapa orang berperilaku yang sama sekali menyimpang dari akar budaya dan nilai-nilai leluhur serta karakteristik bangsanya. Penjelasannya sebagai berikut.

Demokrasi dengan pemilihan langsung sampai pada jenjang Bupati membuat mereka merasa lebih mempunyai legitimasi ketimbang atasannnya. Atasannya merasa lebih mempunyai legitimasi ketimbag atasannya lagi dan seterusnya. Akibatnya wibawa kepemimpinan nasional terkikis.

Para pendukungnya tidak mengerti demokrasi a la Amerika Serikat, sehingga massa yang kalah dalam pilkada berkelahi fisik dengan massa pendukung yang menang.

Orang Indonesia yang terkenal rendah hati, yang humble, mendadak menjadi orang yang tanpa malu menyombongkan diri, terang-terangan mengatakan kepada rakyat bahwa dirinyalah yang paling hebat memimpin bangsa ini. Untuk itu mereka mengeluarkan banyak biaya perjalanan rombongan tim sukses yang besar, mengetengahkan massa bayaran, membayar iklan media massa yang mahal.

Kalau kalah hartanya habis, bahkan masih dililit hutang, membuat massa donaturnya marah dan berkelahi fisik. Kalau menang, uang dalam jumlah besar yang harus dikeluarkan harus dikembalikan yang menciptakan potensi menggunakan kekuasaannya untuk berkorupsi.

Mereka yang menyodorkan dirinya sebagai calon pemimpin praktis tidak ada yang mempunyai program yang konkret, rinci dan dapat diterapkan dalam praktek. Semuanya hanya retorik yang mengemukakan apa yang harus dicapai, tetapi tidak dapat mengemukakan bagaimana caranya mencapai tujuan dan target yang dikehendaki atau didambakannya. Mereka hanya mengemukakan what to achieve yang bagus dan indah, tetapi tidak mampu menyusun program kerja tentang how to achieve.

Kita saksikan DPR yang tingkat kehadirannya sangat minimal, yang tidak pernah konsisten antara galaknya ketika mensinyalir adanya masalah dengan sikap akhirnya. Adanya indikasi kuat terlibatnya banyak dari anggota DPR dalam korupsi. Kesemuanya tidak terlepas dari jumlah partai politik yang terlampau banyak tanpa mempunyai platform, sehingga yang mengemuka adalah kekuasaan yang tidak dipakai untuk memajukan dan membela kepentingan rakyat yang memberikan kepadanya kedudukan yang terhormat dengan kekuasaan legislatif.

Pemilihan Presiden secara langsung ditentukan oleh rakyat yang mayoritasnya miskin dan kurang terdidik. Mereka menjadi obyek manipulasi oleh uang, sehingga tidak menghasilkan pemimpin yang memang mempunyai semua kwalitas untuk memimpin bangsanya.

Tidak demikian dengan UUD 1945. Presiden dipilih oleh MPR yang kurang lebihnya memang sudah terpilih sebagai elit bangsa yang cukup mempunyai pengetahuan, pengalaman dan kebijakan (wisdom) dalam memilih Presiden yang paling kapabel dan paling cocok untuk memimpin bangsa ini, terutama karena sebagian dari anggota MPR adalah wakil daerah dan fungsional yang diseleksi dengan matang.(***).

Related

Dua Objek Wisata Air di Seluma Jadi Favorit Wisatawan Selama Libur Lebaran

Dua Objek Wisata Air di Seluma Jadi Favorit Wisatawan...

Bupati Seluma Hadiri Open House Gubernur Bengkulu di Desa Gelumbang

Bupati Seluma Hadiri Open House Gubernur Bengkulu di Desa...

Gratis Biaya Masuk, Pantai Cemoru Sewu di Seluma Diserbu Pengunjung

Gratis Biaya Masuk, Pantai Cemoru Sewu di Seluma Diserbu...

Tagana Kota Bengkulu Siap Tangani Bencana 24 Jam

Tagana Kota Bengkulu Siap Tangani Bencana 24 Jam ...

Dewan Novri Imbau Warga Taati Aturan Selama Libur Lebaran

Dewan Novri Imbau Warga Taati Aturan Selama Libur Lebaran ...