Resonansi: Benny Hakim Benardie
Raja Dang Wai Kuyung merupakan raja yang berkuasa sejak dua puluh tahun lamanya di Negeri Antahberantah. Titah raja itulah hukum. Bila tidak, maka tanggung saja pengasingan sebagai hukumnya.
Takut itu pasti. Paling tidak hukuman pengasingan selama lima tahun berlaku. Hilang rasa idealisme, patriotisme serta isme-isme lainnya. Padahal kata pepatah, “Raja Alim Raja Disembah, Raja Zalim Raja Disanggah”.
Sudah merupakan aksioma penduduk negeri, bila Raja Dang Wai Kuyung ini mempunyai tiga karakter dalam tubuhnya. Itu terwujud dari namanya yang terdiri dai tiga kata Dang-Wai -Kuyung.
Dang itu karakternya, Dang ada dia makan, Dang tidak dia memakan. Wai, karakter santun, keras dan terkadang membuat orang lain berdecap kagum, tapi penuh emosi. Sedangkan Kuyung merupakan cerdik, licik dan sok energik.
Raja Dang Wai Kuyung mempunyai prinsip dalam memimpin, “Orang Bodoh ditipu orang pintar. Orang pintar dimakan orang calak. Orang calak matikutu sama Ta’un”.
Jadi hanya Tuan Ta’unlah yang dapat menjatuhkan posisi Raja Dang Wai Kuyung. Hanya saja raja tahu kelemahannya Tuan Taun.
Tuan Ta’un ini suka masuk angin. Bakkerupuk kena angin, melempem jadinya. Tidak garing lagi. Hanya saja saat angin sudah keluar, itulah yang ditakuti raja.
Pernah Ta’un bergerak, bertindak sesuai wataknya, maka selesailah sudah Sang Raja. Pernah juga saat Ta’un sudah merasa nggak enak badannya, kayaknya angin sudah mulai masuk, Sang Raja sebelumnya nyaris juga selesai.
Kini Ta’un tampaknya sedang menunggu, dan belum ada angin yang berhembus. Raja Dang Wai Kuyung tentunya masih dalam bahaya, seperti kejadian sebelumnya.
Negeri Antahberantah tentunya bukan target, tapi Raja Dang Wai Kuyunglah target Tuan Ta’un, selagi angin belum berhembus menusuk pori-porinya.
Jurnalis