Jumat, Maret 29, 2024

Sebuah Ironi: Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Terhadap Aparatur Sipil Negara

“PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT TERHADAP APARATUR
SIPIL NEGARA YANG HARUS DILAKUKAN KEPALA DAERAH SEBAGAI
PEJABAT PEMBINA KEPEGAWAIAN, ATAS ANCAMAN DAN SANKSI
SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI
DAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA, ANTARA PELANGGARAN
TERHADAP UUD RI 1945, PELANGGARAN TERHADAP HAK AZAZI
MANUSIA DAN KESEWENANG-WENANGAN PEMERINTAH DALAM
BENTUK PERBUATAN MELAWAN HUKUM”

Oleh:  Dr. Ir. H. Herawansyah S. Ars., M.Sc., MT, IAI

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 serta tercatat pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, sudah hampir 5 Tahun berlaku, namun Pemerintah selama ini dengan arif dan bijaksana berusaha untuk melindungi Aparatur Sipil Negara (ASN) mengingat ASN yang terkena musibah pidana korupsi sebagian besar bukanlah pelaku utama tetapi karena terseret akibat tugas dan jabatannya sebagai ASN.

Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dikenal dengan azas Ultimum Remedium yang artinya penerapan sanksi pidana merupakan sanksi terakhir setelah berbagai upaya pengembalian kerugian negara tidak dapat terwujud. Kenyataannya banyak Aparat Penegak Hukum menegakkan hukum bukan mengutamakan azas Ultimum Remedium dengan mengutamakan pengembalian kerugian negara tetapi lebih mengutamakan prestise Aparat dan Institusi penegak hukum.

Sehingga makin banyak ASN yang masuk penjara, akan membuat Aparat dan Institusi Penegak Hukumnya terkenal, dan merasa hebat. Walaupun kadangkala dalam kalkulasi ekonomi, hukum dan sumber daya manusia hal ini kadangkala malahan merugikan negara (efek Pasal 55 Ayat 1 KUHP terutama “yang turut serta melakukan”,  yang sering digunakan Aparat Penegak Hukum untuk menghabiskan semua ASN yang mempunyai jabatan dalam kegiatan/pelaksanaan pekerjaan, walaupun pengaruh ASN tersebut dalam kegiatan/pelaksanaan pekerjaan yang bermasalah hanya seperti sebutir debu di padang luas).

Saat ini sebagian besar Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sangat ketakutan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendagri, MenPan dan RB dan Kepala BKN Nomor 182/6597/SJ, Nomor 15 Tahun 2018 dan Nomor 153/KEP/2018 Tanggal 13 September 2018, apalagi dengan adanya pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang turut mengawasi Surat Keputusan Bersama tersebut, padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Surat Keputusan Bersama tersebut bukanlah Peraturan.

Oleh karena itu penerbitan Surat Keputusan Bersama yan memaksa Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina 2 Kepegawaian untuk memecat ASN Terpidana Korupsi adalah tindakan sewenangwenang pemerintah berupa perbuatan melawan hukum. Bahkan salah satu Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) saat verifikasi gugatan mengatakan “apabila Surat Keputusan Bersama itu dilakukan dengan sembrono maka akan lebih berbahaya daripada tindak pidana korupsi itu sendiri”.

Gugatan di PTUN

Sehubungan dengan hal tersebut di atas sat ini sedang dilakukan gugatan TUN Surat Keputusan Bersama (SKB) di PTUN dan Judicial Review Surat Keputusan Bersama (SKB) di Mahkamah Agung serta Judicial Review UU RI Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara di Mahkamah Konstitusi.

Apabila seorang Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) melakukan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap ASN Terpidana Korupsi, maka ASN Terpidana Korupsi tersebut akan melakukan gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan saat ini sudah banyak ASN Terpidana Korupsi yang memenangi gugatan pada PTUN tersebut.  Masalahnya, walaupun ASN Terpidana Korupsi tersebut menang gugatan di PTUN, Pejabat Pembina Kepegawaian tersebut tidak bisa mengaktifkannya lagi karena pengaktifan ASN Terpidana Korupsi bukan merupakan wewenang Pejabat Pembina Kepegawaian tetapi merupakan wewenang Kepala BKN (Kepala BKN saat ini yang notabene Sekretaris Jenderal Korpri Pusat jelas tidak mau dan belum pernah mengaktifkan lagi ASN Terpidana Korupsi tersebut).

Akibatnya, ASN Terpidana Korupsi yang menang gugatan di PTUN tersebut akan menggugat Kepala Daerah sebagai PPK tersebut secara Perdata ke Pengadilan Negeri. Mengingat nilai manusia itu tidak berhingga dan keputusan Hakim tidak bisa diintervensi, bisa saja nilai gugatan itu bernilai hingga milyaran rupiah.

Kalau dari 2.357 ASN Terpidana Korupsi itu yang menag gugatan 20% aja atau sekitar 500 orang dan jika perorang nilai gugatan rata-rata 2 Milyar maka total uang yang harus disiapkan Kepala Daerah sebagai PPK sebesar Rp. 1.000.000.000.000 (1 Trilyun). Itu semua tanggung jawab Kepala Daerah sebagai PPK sedangkan Mendagri, Menpan dan RB serta Kepala BKN tidak akan bertanggung jawab (akan lepas tangan) karena yang melaksanakan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) tersebut adalah Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian bukan mereka. Inilah perilaku tidak bertanggung jawab yang dilakukan terhadap Kepala Daerah.

Saat ini Permohonan Penundaan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 182/6597/SJ, Nomor 15 Tahun 2018 dan Nomor 153/KEP/2018 Tanggal 13 September 2018 Atas Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara (TUN) Nomor Gugatan : 244/6/2018/PTUN-JKT Tanggal 17 Oktober 2018 pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sedang dalam proses penerbitan.

Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 67 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi “penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama 3 pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Kepala Daerah Adil

Berdasarkan hal di atas, diharapkan kebijakan dari para Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian untuk menunda Pemberhentikan Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap para ASN Terpidana Korupsi sambil menunggu kepastian hukum putusan Judicial Review UU RI Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang dilakukan oleh kelompok Marwah ASN RI dan ASN Bangkalan di Mahkamah Konstitusi RI.

Gugatan TUN Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kepala Badan Kepegawaian yang dilakukan oleh Marwah ASN RI di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Judicial Review Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kepala Badan Kepegawaian yang dilakukan oleh Dr. Ir. H. Herawansyah, M.Sc., MT, IAI, Albinus Oktavianus Kase, Otniel A. Tulle, ST, Surtika Sari, dkk di Mahkamah Agung RI .

Walaupun para ASN Terpidana Korupsi tersebut dianggap melakukan dosa yang sangat besar, tetapi setidaknya mereka telah menebusnya dengan hukuman penjara dan denda uang yang melebihi apa yang dituduhkan terhadap mereka, dan jangan pula dilupakan jasa-jasa mererka dalam membangun negara dan bangsa ini.

Perlu pula diingat, saat ini hampir setiap bulan para Kepala Daerah menjadi tangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami yang menunggu kematian ini selalu berdo’a agar para Kepala Daerah yang baik-baik ini terbebas dari tangkapan KPK tersebut dan semoga para Kepala Daerah yang adil dan bijaksana ini menunda Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) menunggu kepastian hukum putusan Judicial Review UU RI Nomor 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara di Mahkamah Konstitusi RI.

Gugatan TUN Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Judicial Review Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kepala Badan Kepegawaian di Mahkamah Agung RI mempunyai kekuatan hukum tetap.

Asas Ne Bis In Idem

Memecat ASN Terpidana Korupsi sama saja dengan membunuh mereka dan keluarganya, serta membunuh masa depan anak-anak mereka yang tidak berdosa. Bahwa mereka sudah dihukum penjara dan denda oleh Majelis Hakim, mengapa kami dihukum lagi (lebih dari 1 kali) oleh para atasan mereka atas objek yang sama, apalagi Indonesia tidak mengenal hukuman tambahan atas objek yang sama tetapi pidana tambahan.

Bahkan menghukum terpidana korupsi dengan hukuman lebih dari 1 (satu) kali adalah melanggar hukum, yang dikenal dengan dengan ne bis in idem, azas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya. Asas ne bis in idem ini berlaku secara umum untuk semua ranah hukum, padahal Kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Menurut Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah salah satunya adalah : memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik 4 Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam hukum pidana nasional di Indonesia, asas ne bis in idem ini dapat kita temui dalan Pasal 76 Ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yaitu seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Asas ne bis in idem ini berlaku dalam hal seseorang telah mendapat putusan bebas (vrijspraak), lepas (onstlag van alle rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling) (lihat Pasal 75 ayat [2] KUHP).

Kalau dilihat UU RI Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang saat ini sedang dilaksanakan Judicial Review benar-benar bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengapa Pemerintah Pusat melalui Surat Keputusan Bersama memerintahkan Kepala Daerah untuk melaksanakan hal-hal yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi janji sebagai seorang Kepala Daerah?

Disatu pihak memerintahkan Kepala Derah melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilain pihak memerintahkan melaksanakan hal-hal yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kalau ini sampai dilaksanakan maka alangkah anehnya negeri dan pemerintah kita saat ini.

Ancaman PPK

Semua Lembaga Negara berlomba-lomba untuk mendapat predikat bersih dan anti korupsi dengan membuat berbagai macam aturan walaupun aturan yang dibuat itu bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi bahkan bertentangan dengan UUD 1945. Mereka tidak peduli, yang penting mereka kelihatan bekerja memberantas korupsi. Bukankah penegakan hukum dengan melanggar segala tatanan hukum adalah kesewenang-wenangan ? Bahkan saat ini para ASN Terpidana Korupsi seolah-olah tidak boleh mendapatkan perlindungan apapun dari negara, bahkan cenderung mereka boleh diperlakukan sewenang-wenang? Disaat warga negara sudah merasa tidak terlindungi hak-haknya, disitu negara sudah kehilangan makna.

Suatu yang aneh dan menarik adalah pemberlakuan SKB yang berlaku surut tanpa batas waktu yang jelas. Kalau SKB ini benar-benar konsisten, harus juga menyasar semua ASN atau Pensiunan PNS eks Terpidana Korupsi, termasuk mereka yang sudah meninggal. Kalau tidak diberlakukan berarti negara sudah berlaku tidak adil dan diskriminatif dan hal ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28D Ayat (1). Para peracang SKB ini harus mampu menjelaskan sejak kapan SKB ini diberlakukan surut, apakah sejak UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN atau sejak UU Kepegawaian Tahun 1974 ataukah sejak Indonesia Merdeka ?. Kalaupun memang berlaku surut, di Pasal berapa UU dan PP yang menjadi rujukan para koseptor SKB tersebut ?, yang mengatakan bahwa peraturan itu berlaku surut ? dan kemudian menimbukkan ketidakpastian hukum dan ini yang paling berbahaya.

Mengenai sanksi yang diancam kepada PPK, inipun merupakan sesuatu yang agak aneh, ketika PPK berpegang teguh kepada UUD 1945 tetapi diancam akan di sanksi karena tidak melaksanakan SKB yang tidak jelas dasar hukumnya. Kami yakin, 5 tidak semua Kepala Daerah mau manut-manut saja terhadap SKB sebagai Surat Keputusan Bersama tanpa dasar hukum yang jelas. Karena melaksanakan sesuatu keputusan tanpa dasar hukum yang jelas merupakan pelanggaran terhadap Kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Menurut Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah salah satunya adalah : memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Terhadap  apa yang terjadi pada ASN Terpidana korupsi tersebut, jelas juga akan berakibat negatif bagi ASN aktif yang berkerja pada saat ini, apalagi dengan jabatan struktural dan fungsional dalam bidang keuangan dan pembangunan seperti Pengguna Angaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Penatausahaan Keuangan, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), Panitia/Pokja Lelang, Panitia PHO/FHO, Bendahara, Panitia Peneliti Kontrak, Kapala Satuan Kerja (Satker), Pejabat Pembuat Komitmen. Sebagaian dari ASN tidak bersedia lagi memegang jabatan di atas karena resiko yang terlalu besar berupa PTDH dibandingkan dengan perlindungan hukum terhadap ASN dan pendapatan yang mereka terima.

Beberapa ASN yang berkonsultasi dengan penulis, telah penulis sarankan untuk tidak memegang jabatan yang sangat beresiko tersebut, masa depan keluarga terutama anak dan istri akan terancam kalau sampai dipecat karena apa yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang seharusnya melindungi Aparatur Sipil Negara, kenyataannya Undang-Undang tersebut malah digunakan oleh Pemerintah berkuasa untuk membunuh masa depan ASN beserta keluarganya.

Nasihat dari orang tua-tua.  “Ngapain sok berjasa pada negara, kalau kalian bermasalah hukum, apa atasan kalian dan negara akan melindungi kalian ? Sebagian besar atasan kalian dan negara akan meninggalkan bahkan memusuhi kalian, walaupun permasalahan itu bukan karena kalian tetapi karena jabatan kalian sebagai ASN. Bahkan kalian akan menjadi tumbal keserakahan orang-orang besar yang seolah-olah menjadi Nabi tetapi kenyataannya, merekalah aktor intelektual tindak pidana korupsi, yang menekan kalian lewat pihak lain tanpa kalian sadari.”

*ASN Tinggal di Provinsi Bengkulu

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis Mafia Tanah sudah menggurita dan telah...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...