Jumat, April 19, 2024

Sekali Lagi Tentang Tani di Hari Tani

sumber foto: istimewa
sumber foto: istimewa

Oleh: Firmansyah

Tadinya aku pingin bilang
Aku butuh rumah
Tapi lantas kuganti
Dengan kalimat:
Setiap orang butuh tanah
Ingat: setiap orang!
Aku berfikir tentang
Sebuah gerakan
Tapi mana mungkin
Aku nuntut sendirian?
Wiji Thukul, “Tentang Sebuah Gerakan”

Aku melihat sendiri dengan mata kepalaku setiap pagi kaum ibu dan anak berangkat ke perkebunan kelapa sawit milik PTPN VII di Desa Pering Baru, Seluma, membawa beronang (semacam keranjang terbuat dari rotan atau bamboo). Anda bisa pastikan bagaimana seragam mereka? Si ibu dengan kain penutup kepala warna-warni, mengenakan kain sarung lusuh tanpa alas kaki.

Demikian pula sang anak, berbaju kandidat cagub atau cabup yang juga lusuh, bercelana pendek bahkan robek besar di bagian pantat.

Awalnya, kukira mereka menuju perkebunan dan sawah milik mereka sendiri. Namun tebakanku salah mereka menuju perkebunan milik PTPN VII. Mencurikah mereka? Atau menjadi buruh? Oh, ternyata mereka ‘mencuri’ buah berondol kelapa sawit milik PTPN VII. Sengaja kuberikan tanda kutip pada kata mencuri. Karena jujur aku tak tega jika menuliskan kata mencuri secara gamblang sebab jika ingin jujur mereka tidaklah mencuri, Justru PTPN VII yang telah mencuri tanah mereka sejak 25 tahun yang lalu. Aku ingin menjelaskan dahulu kepada pembaca mengenai arti berondol sawit. Berondol sawit adalah biji kelapa sawit yang terjatuh dari tandannya saat kelapa sawit telah matang.

Lalu beresikokah mereka jika mereka ‘mencuri’ buah milik PTPN VII? Tentu saja, yang namanya mencuri tentu ada akibat hukumnya. Dari bulan maret 2010 aku hidup bersama mereka, melihat, merasakan, dan mendengar kisah-kisah mereka, setidaknya ratusan kasus pencurian buah sawit yang terjadi di lokasi milik PTPN VII, sejak BUMN milik Negara ini hadir dari tahun 1985. Karena mereka mencuri,tentu banyak sekali rupa hukuman yang harus mereka terima, mulai dari peringatan oleh aparat keamanan, dipenjara, denda hingga jutaan rupiah, ditembaki, bahkan ada juga yang tewas meregang nyawa.

Itu sepenggal kecil kisah rakyat di Bengkulu yang ‘berebut’ tanah, di sudut Indonesia lain juga banyak kejadian serupa bahkan lebih tragis menimpa mereka. Petani yang notobenenya menggarap tanah, berkebun, bersawah dan lainnya pada hakikatnya diakui dan diamini oleh negara. Namun di sisi lain negara juga memfasilitasi kepentingan lain tentunya, sehingga sengkarut persoalan tanah tak kunjung selesai. Tak Tegas!

Pada masa Bung Karno persoalan ini sesungguhnya nyaris selesai dengan disahkannya UU Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 Tahun 1960. Hal ini sangat mulia mengingat petani merupakan mayoritas di negeri ini. Kepala BPS, Suryamin menambahkan, jumlah rumah tangga dengan usaha pertanian terus menurun akibat beberapa hal diantaranya alih profesi dan semakin sempitnya lahan pertanian karena alih fungsi lahan untuk pembangunan ifrastruktur, pembangunan pabrik dan perumahan.

“Rumah tangga yang menanam padi (di tahun) 2003 (sejumlah) 14,2 juta rumah tangga, sementara (tahun) 2013 turun menjadi 14,1 juta. Usaha tanaman kedelai menurun tahun 2003 ada satu juta, pada tahun 2013 hanya 700 ribu. Untuk usaha tanaman jagung juga terjadi penurunan (dari) tahun 2003 6,4 juta, pada tahun 2013 menjadi 5,1 juta,” jelas Suryamin. (voa indonesia).

Menjadi petani bukan pilihan menarik mengingat tak ada karir menjanjikan di sana. Ditambah dengan mental rakyat yang juga menghambat untuk menjadikan petani berjaya di lumbung sendiri.

Ada sekelumit harap bagi ribuan petani agar pesan UUPA dapat direalisasikan secara murni dan konsekuen di hari tani yang jatuh pada 24 September ini.

Sejarah Singkat
Penetapan hari tani didasarkan pada hari kelahiran Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, lebih dikenal dengan UUPA. Alasannya UUPA menjadi hari pertanian adalah karena salah satu isi UUPA mengatur tentang ketetapan hukum bagi pelaksanaan redistribusi tanah pertanian (reforma agraria). Ditetapkan kelahiran UUPA sebagai hari tani dengan pemikiran bahwa tanpa peletakan dasar keadilan bagi petani untuk menguasai sumber agraria, seperti tanah, air, dan kekayaan alam, mustahil ada kedaulatan petani. (Pramono, 2010)

Kelahiran UUPA melalui proses panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari pembentukan “Panitia Agraria Yogya” (1948), “Panitia Agraria Jakarta” (1951), “Panitia Soewahjo” (1955), “Panitia Negara Urusan Agraria” (1956), “Rancangan Soenarjo” (1958), “Rancangan Sadjarwo” (1960), akhirnya digodok dan diterima bulat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin. Kelahiran UUPA mengandung dua makna besar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA bermakna sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kedua, UUPA bermakna sebagai penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan rakyatnya. (Bey, 2003)

Semangat UUPA
Setelah proses pembahasan RUUPA yang berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria saat itu mengucapkan pidato pengantarnya1. Dikatakan dengan jelas bahwa:
“…perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangankekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing…”

Dalam Penjelasan Umumnya2, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah:
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Sebenarnya kelahiran UUPA ini menunjukkan semangat perlawanan terhadap kapitalisme dan kolonialisme yang menyebabkan “penindasan manusia atas manusia” yang menggunakan alat negara dan kekuasaan. Namun semangat itu saat ini terempas oleh kepentingan penguasa dan pemilik modal. (gagaspertanian)

Banyak masyarakat yang lelah dan letih memperjuangkan tanah mereka, sehingga mereka menyerahkan saja pada keadilan Tuhan semoga berpihak kepada mereka. Namun, semakin banyak juga bermunculan pula generasi-generasi berikutnya dengan kesadaran positif.

Aku berharap untuk kali ini para petinggi negeri dapat menyelesaikan masalah ini hingga tuntas berilah rasa keadilan untuk rakyat. Agar kedepan konflik-konflik serupa tak lagi bermunculan. Berilah akses ruang hidup kepada rakyat, bukan kepada korporasi-korporasi yang mengenyangkan perut beberapa gelintir orang saja. Rengkuhlah senyum damai kami dalam dekap pengayommu wahai penguasa yang telah kami beri amanah. Dan Rakyat Bersatulah!!!

Penulis Warga Bengkulu

Related

Polisi Tangkap Tersangka Narkotika Jaringan Nasional di Bengkulu

Polisi Tangkap Tersangka Narkotika Jaringan Nasional di Bengkulu ...

Pendaftaran Lelang Jabatan 3 Kepala OPD Pemda Lebong Kembali Diperpanjang

Pendaftaran Lelang Jabatan 3 Kepala OPD Pemda Lebong Kembali...

Dua Sahabat Bang Ken Ambil Formulir Pendaftaran Cawagub

Dua Sahabat Bang Ken Ambil Formulir Pendaftaran Cawagub ...

Sungai Ulu Kungkai Meluap, Fasilitas Desa Wisata Arang Sapat Rusak Parah

Sungai Ulu Kungkai Meluap, Fasilitas Desa Wisata Arang Sapat...

Hasil Monev Penanganan Banjir Lebong Keluarkan 10 Arahan Strategis

Hasil Monev Penanganan Banjir Lebong Keluarkan 10 Arahan Strategis ...