Senin, April 29, 2024

Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu dan Upaya Merebut Keadilan (III)

M. Prihatno
M. Prihatno

Penulis: A.M Prihatno*

SPBHR dan Aktualisasi Hukum Rakyat

Dalam perspektif sejarah, hukum pada dasarnya untuk pengaturan kehidupan dalam konflik-konflik antar masyarakat dengan komponen-komponen kehidupan. Dalam hal ini, dengan menggunakan kebijakan-kebijakan lokal, masyarakat mampu menata sistem hukumnya dengan tata aturan yang sinergis dengan sosiokulturnya.

(Baca juga: Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu dan Upaya Merebut Keadilan (II)

Kemampuan masyarakat saat itu dalam menata sistem hukum dapat dipahami, karena kebijakan yang digunakan benar-benar diekstrasi dari sosiokultur masyarakat itu sendiri.

Dalam perkembangan berikutnya, sebagai konsekuensi dari terjadinya revolusi industri yang diikuti oleh imperialisme yang berujung pada kapitalisme liberal, maka tata hukum yang berkembang diintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik hukum imperialis yang didukung oleh kekuatan struktural, kuasa finansial dan kuasa adminstratif yang massif dan tersistematis.

Pada kondisi ini tata hukum masyarakat akhirnya “kalah”, sehingga dengan terpaksa masyarakat menerima tata hukum yang dipenuhi oleh kepentingan-kepentingan tersebut. Fenomena ini berlanjut sampai pada titik dimana masyarakat tidak mengenal lagi tata hukum yang selama ini mampu menata kehidupan yang selaras dan harmonis.

Sementara itu tata hukum yang dibawa oleh kaum imperialis berkembang menjadi hukum mainstream sedangkan hukum masyarakat lokal tenggelam dalam kebisingan hukum mainstream yang positivistik. Hukum masyarakat yang kalah itulah yang kami namakan HUKUM RAKYAT.

Indonesia sebagai negara yang memposisikan hukum sebagai acuan dan pedoman dalam bernegara juga terintervensi oleh sistem hukum mainstream tersebut.

Walaupun, tidak dipungkiri bahwa dalam beberapa hal tata hukum di Indonesia juga mengakomodasi kebijakan-kebijakan masyarakat lokal sebagai sumbernya.

Dan, saat ini posisi hukum tersebut mulai dipertanyakan oleh sebahagian masyarakat terutama dalam hal pemenuhan rasa keadilan.

Meningkatnya konflik-konflik dalam pengelolaan kekayaan alam dimana masyarakat lokal (indigenous people) cenderung selalu dalam posisi yang tidak seimbang ketika berhadapan dengan sistem hukum mainstream adalah salah satu indikasi dari belum adanya “keseimbangan” antara hukum mainstrem dengan hukum rakyat.

Masyarakat lokal dengan sendirinya terpinggirkan dan akhirnya kehidupan mereka berada pada posisi kelompok masyarakat rentan.

Paparan di atas menjadi faktor pemicu dalam pendirian Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu (SPHR-B) yang di lounching pada tanggal 28 Oktober 2013 di Ruang Rapat Utama Universitas Bengkulu (Unib).

Pemaknaan sekolah yang dikembangkan oleh SPHR-B adalah sebuah wadah tempat belajar yang isi pendidikannya disesuaikan dengan kebutuhan murid-didik dengan menggunakan pola-pola pendidikan orang dewasa yang partisipatif.

Alasan membangun sekolah dengan paradigma tersebut adalah agar kegiatan pendidikan tidak dilandasi oleh keterpaksaan dan juga proses pendidikan akan terhindar dari kejenuhan.

Selain itu paradigma pendidikan yang dikembangkan di sekolah ini adalah bahwa proses pendidikan bukan untuk memenuhi tuntutan pasar yang industrialis tetapi berdasarkan kebutuhan hakiki yang benar-benar dibutuhkan murid-didik. Dan saat ini SPHR-B, dengan umur yang relatif muda, masih dalam pematangan secara institusional.

Semangat yang ditanamkan ke tubuh SPHR-B antara lain adalah:

1. Bahwa Hukum Rakyat pernah menunjukkan eksistensinya ketika unsur “asing” belum mengintervensi nilai-nilai murni yang terdapat pada Hukum Rakyat.

2. Bahwa perjuangan untuk untuk menjadikan Hukum Rakyat kembali menjadi pusat inspirasi hukum di negara ini telah berlangsung lama dan belum berada pada titik yang strategis.

3. Konflik-konflik dalam pengelolaan kekayaan alam selama ini selalu hanya diselesaikan dengan pendekatan Hukum Positif dan mengabaikan kebijakan-kebijakan lokal masyarakat.

Hukum Rakyat sebagai issue utama dari sekolah ini tentu saja menjadi hal yang urgen untuk dikembangkan, walaupun persepsi sebahagian orang ketika mendengar Hukum Rakyat masih terkesan sebagai sesuatu yang mengandung unsur makar dan tidak nasionalis. Hukum Rakyat jadi makhluk asing saat ini di Bengkulu.

Dari beberapa kali proses diskusi yang dilakukan oleh SPHR-B baik secara formal maupun informal mengenai Hukum Rakyat dapat ditarik kesimpulan bahwa sebahagian besar peserta diskusi sangat minim pengetahuannya tentang Hukum Rakyat bahkan sama sekali tidak tahu.

Hal yang sangat miris ini tidak hanya terjadi dikalangan masyarakat umum tapi juga di kalangan akademisi.

Melihat kondisi yang seperti ini, pengenalan tentang Hukum Rakyat masih menjadi pekerjaan besar bagi SPHR-B. Oleh karena itu, dalam rangka untuk membumikan kembali Hukum Rakyat dan menemukan “bentuk-ideal” dari Hukum Rakyat, pendirian Laboratorium Hukum Rakyat dianggap sangat penting dan strategis.

Saat ini SPHR-B sudah menjalin komunikasi dengan pihak Universitas Bengkulu untuk mendirikan Laboratorium Hukum Rakyat.

Laboratorium Hukum Rakyat ini akan menjadi wadah-kelola akademis tentang Hukum Rakyat dengan bahan yang akan dikelola di laboratorium bersumber dari literasi dan nilai-nilai lokal yang akan digali dari masyarakat.

Kemudian, hasil dari laboratorium akan dikembalikan lagi kemasyarakat untuk diaplikasikan dan evaluasi dari aplikasi Hukum Rakyat akan dikembalikan kembali ke laboratorium, demikian seterusnya.

SPHR-B dalam menjalankan proses pendidikan pada masyarakat di 5 desa tersebut di awali dengan melakukan suatu proses yang berusaha mengembalikan daya-kenal masyarakat akan dirinya, lingkungannya dan budaya lokal.

Hal ini dimaksudkan agar murid-didik dapat menggali kebutuhan mendasar yang seterusnya akan menjadi materi dalam pendidikan. Untuk mendukung proses tersebut dilakukan juga kegiatan-kegiatan yang dapat menumbuhkan daya kritis terutama keterkaitannya dengan Hukum Rakyat.

Kolaborasi antara daya-kenal dan daya-kritis inilah yang akan menjadi spirit dari murid-didik. Spirit ini menjadi hal pertama dan utama dalam proses pendidikan yang dilkakukan SPHR-B.

Kegiatan penting lainnya yang dilakukan SPHR-B adalah berusaha merumuskan “rasa keadilan” yang ada di masyarakat. Yang dimaksudkan dengan rasa-keadilan di sini adalah bahwa keadilan tidak diindikatori oleh hal-hal fisik-material tapi dari “perasaan masyarakat akan ketidakadilan”.

Jadi, yang ditangkap bukan definisi keadilan tapi rasa keadilan. Sebagai contoh: masyarakat di desa Embong 1 pernah mengutarakan bahwa dulunya mereka bebas memanfaatkan hutan akan tetapi ketika hutan tersebut ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat mereka dilarang untuk memanfaatkan hutan tersebut, dan dengan kejadian itu mereka mengatakan bahwa “TNKS telah merampas hutan kami”.

Pernyataan seperti inilah yang dimaksud dengan rasa ketidakadilan. Dari rasa ini terjadi pembalikan logika keadilan kalau ditinjau dari kacamata hukum positip. Bahwa bukan masyarakat yang menjadi perambah hutan tapi TNKSlah yang telah merampas hutan rakyat.

Kemampuan pengelola SPHR-B dalam menangkap rasa keadilan dengan sendirinya menjadi sebuah keharusan, karena tanpa ini mustahil SPHR-B mampu memformulasikan rumasan rasa-keadilan yang ada di masyarakat.

Selain itu hal ini juga untuk menghindari pengelola SPHR-B memandang Hukum Rakyat dari perspektif Hukum Mainstream. Hukum Rakyat selayaknya punya kacamata sendiri dalam memandang Hukum Rakyat.

Dalam perjalanannya selama kurang lebih 1 tahun SPHR-B mencatat beberapa temuan, yaitu:

1. Wacana Hukum Rakyat masih perlu untuk dikembangkan ketengah masyarakat selain untuk menghindari salah pengertian juga untuk menemukan respon-balik sehingga pada saatnya Hukum Rakyat dapat menjadi sesuatu yang strategis dalam penegakan keadilan.

2. Keadilan substansial semakin hilang terutama untuk kalangan masyarakat rentan. Oleh karena itu Hukum Rakyat dapat mengambil posisi sebagai penjaga dan penegak keadilan-substansial.

3. Kekayaan alam tidak hanya dipandang dari kacamata ekonomi belaka tapi juga di dalamnya mengandung unsur spiritual yang dapat menentukan identitas-kedirian masyarakat sekitar.

4. Untuk melakukan “perlawanan” terhadap ketidakadilan eko-sosial, maka pendidikan rakyat adalah sebuah langkah penting sebagai instrumen perekayasa sosial yang efektif.

5. Hukum tidak mesti sebagai alat penegak ketertiban tapi seharusnya untuk menemukan keseimbangan dalam kehidupan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan hal ini dapat menjadi tawaran cara pandang Hukum Rakyat.

6. Hukum Rakyat saat ini terpersepsi sebagai Hukum Adat yang hanya mengatur tentang perkawinan dan tata susila belum menyentuh kekedaulatan pengelolaan kekayaan alam.

7. Ada ketidakberdayaan masyarakat ketika berkonflik dengan hukum mainstream terutama yang berkaitan dengan pengelolaan kekayaan alam.

8. Problema terbesar dalam pemberlakuan Hukum Rakyat adalah masyarakat adat/lokal hampir tidak mempercayai lagi Hukum Rakyat sebagai penegak keadilan.
Temuan yang di dapat oleh SPHR-B ini didapat dari berbagai aktivitas baik itu yang berupa diskusi maupun pendidikan di masyarakat itu sendiri. (Bersambung)

Penulis: Masyarakat Bengkulu

Related

Kadis PMD Kaur Ingatkan Peran Kepala Desa Jaga Kamtibmas

Kupas Bengkulu - Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD)...

Resmi Dilantik, Berikut Susunan Pengurus APDESI Provinsi Bengkulu

Kupas Bengkulu  – Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Pemerintah Desa...

JMSI Apresiasi Kesepakatan Dewan Pers dan Polri Cegah Polarisasi Pemilu 2024

Kupas News, Jakarta – Organisasi perusahaan pers Jaringan Media...

JMSI Bengkulu Selatan Peduli Bantu Sembako untuk Warga

Kupas Bengkulu - Pengurus Cabang Jaringan Media Siber Indonesia...

Ramadan IKA SeMaKu Gelar Silaturahmi dan Buka Bersama

Kupas Bengkulu - Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah sore kemaren...