Selasa, Maret 19, 2024

Sriharti di Negeri Bukan Perawan

Hembusan angin senai-senai saat mentari menyengat Negeri Bengkulu,  sudah tak terasa nikmatnya lagi.  Rasa takut,  kuatir dan lelah jiwa mempupuskan asa masyarakat.
Kini  April sudah hampir berlalu usai meninggalkan Maret Tahun 2020. Ini menjadi catatan terpenting dalam perjalanan hidupku sebagai petualang. Tak terhingga uang dan waktu terkuras  menjelajahi  Indonesia Raya.  Hingga pada titik terakhir petualangan, aku Bram singgah di Negeri Bukan Perawan. Wilayah paling barat pulau Sumatera, Provinsi Bengkulu raya.
Tak ada rasa penat, apalagi pengalaman traumatik sebagai petualang. Selain kali ini cemas dan kikuk akibat serangan virus corona merata mendunia.  Tapi aku harus tetap terus bertualang, menyusuri wilayah provinsi akhir ini. Meskipun terkadang terasa seperti hidup dialam penjajahan yang selalu dalam mata pengawasan. Aku harus mengendap,  menyelinap dibalik dinding saat melihat aparat negara  sedang  melintas.
Terasa tak aman lagi istirahat di pelataran toko. Termasuk ingin numpang rehat di rumah ibadah. Disisi lain, petualangan musti terus berlanjut, mengejar  catatan perjalanan temuan hidup, untuk kenangan, sejarah masa datang sebagai pembelajaran yang harus dituntaskan.
“Melalar di Negeri bukan Perawan hendaknya pasang kuping, jangan lengah  dan atur langkah. Tahun ini tak ada silaturrahim, ramahtamah dengan secangkir kopi hangat ala kebengkuluan”, pesan seorang sopir truk angkutan barang yang ditumpangi.
Sempat risau ingin bertanya soal arti kata dari ‘melalar’. Terakhir ini baru aku tahu,  kata itu merupakan bahasa lokal, yang menunjuk seseorang yang suka keluyuran,  pergi kesana kemari.
“Ya……Mungkin itu sama dengan predikat yang melekat padaku, seorang petualang”, pikirku usai mengucapkan terimakasih pada sopir atas tumpangannya.
Tenyata kini aku sudah berdiri di Provinsi Bengkulu. Diseberang jalan tampak  sebuah gedung yang tepampang  nama  “Balai Buntar  Bengkulu”. Tenyata sebuah gedung yang konon representasi dari rumah adat. Rumah adat terlihat tanpa tangga. Padahal, kebiasaan masyarakat  melayu, tangga merupakan unsur penting dan punya filosofi dari biasanya rumah adat melayu khususnya Melayu Bengkulu.
Segera aku hampiri, sembari membuka literatur tentang Provinsi Bengkulu.  Namun  saat membuka catatan, pikiranku terganggu saat melihat sosok  seorang wanita bertubuh gempal, bohai tampak lelah usai berolahraga petang disekitar gedung.
Jantungku  sempat berdetup cepat tak beraturan. Aku kira  itu  Srihati. Wanita yang penah kucintai 20 tahun lalu. Untung hanya mirip saja. Tapi kenapa pada petualangan terakhirku ini, aku harus diganggu, di ingatkan kembali  pada  Sriharti, yang membuat aku seperti ini. Sebagai petualang mencari inspirasi dalam catatan perjalanan waktu kehidupan.
“Untung hanya mirip. Bila seandainya benar? Ah……Tak tahulah  cerita apa yang akan terjadi” kataku dalam hati.
Tapi sedikit penasaran, wanita tampak lelah itu akhirnya aku hampiri. “Ee…Maaf kak, mau tanya!” Kataku. “Apakah ini Ibu Kota  Provinsi Bengkulu?”.
Wanita itu sempat tampak sejenak bengong dengan pertanyaan itu. Ia tampak enggan menjawab pertanyaanku. Mungkin dia menganggap orang iseng atau jahil ingin mengoda saja. Takut salah sangka, cepat aku timbali  kalau aku memang baru tiba dari Yogyakarta. Melihat mimik mukaku, barulah wanita itu mengubris pertanyaanku.
“Ini kota Bengkulu. Mas dari mana mau kemana?”
“Ya Tuhan…….Suaranya  juga mirip benar”. Aku jadi sedikit gemetar. Dalam hati nertanya, apakah ini benar Sriharti ataukah bagian dari reinkarnasi?  “Ah……”,  fikirku,  sembari konsent  pada pertanyaan, agar tak dicurigai sebagai ‘penjahat kelamin’.
Aku coba sodorkan tangan untuk berkenalan. Ternyata wanita itu menolak, sembari mundur selangkah.
“Perkenalkan, Aku Bram, petualang dari Yogyakarta  Jawa Tengah Indonesia”.
“Maaf Mas, lagi musim corona. Physical distancing”,  katanya dengan suara membuatku luluh.
Entah ada apa dengan rahasia rasa. Sriharti yang petang itu datang sendiri, open berbincang dan sempat memberikan nomor kontak whatsappnya. Hingga akhirnya perpisahan  dari awal pertemuan itu, menjadi catatan awal di pertualangan terakhirku. Akupun bergegas mencari Losmen untuk istirahat dan perintang hari.
Malam Pertama    
Malam pertama di Bengkulu kota harus di mulai malam ini. Karena waktu pertualangan di kota akhir ini hanya dua pekan saja sebelum pulang ke Yogyakarta. Tak seperti di provinsi lain, kali ini aku terasa terganggu oleh pikiran pada Sriharti.
Dilalanya, saat pertemuan petang itu di pelataran Gedung Balai Buntar, aku lupa menanyakan apakah Srihati itu sudah bersuami atau seorang janda? Ingin rasanya aku kontak, tapi ada rasa takut. Tak segera dikontak, rasa itu terus mendebar-deburkan jantungku. “Nanti malam sajalah aku hubungi”, kataku membesarkan hati, mencoba menghilangkan pikiran itu sejenak.
Malam corona di Kota Bengkulu aku habiskan. Dari titik nol kota Bengkulu hingga menyisir pinggiran pantai. Dalam setengah malam,   seperempat wilayah kota usai aku jelajahi. Lelah mulai terasa dengan buah beberapa catatan awal untuk kota yang katanya  berbudaya dan bersejarah ini. Meskipun sudah tidak perawan lagi.
Sembari  melepas lelah dipinggiran Fort Marlborough, benteng kedua  peninggalan koloni Inggris di Tahun 1674 itu, aku dapatkan kesimpulan, kalau ini memang negeri berbudaya yang merupakan akulturasi dari kebudayaan dan adat istiadat dari berbagai suku bangsa.
Banyak budaya serapan yang ada disini, meskipun ada pribumi yang lama menempati wilayah ini.  Seperti petualangan ku diprovinsi lain, ada penduduk pribumi. Hanya saja aku  agak ragu untuk mengatakannya kalau mereka itu  pribumi asli. Soalnya, wilayah Indonesia umumnya merupakan penduduk pendatang dan notabene Indonesia bukan ras induk.
Hari mulai larut, aku segera bergegas.  Ojek online tiba mengantarku ke losmen yang jaraknya sekitar 6 kilometer. Rasa ingin segera cepat tiba di losmen, karena bayangan Sriharti mulai membayangi pikiranku.
Dari atas kasur kamar losmen yang banyak nyamuk, dua titik saja aku kirimkan ke Whatsapp Sriharti. Bertapa kagetnya aku, tenyata, wanita impian yang lama terpendam itu  sepat merespon.
“Memangnya Mas belum bobok ya? Kok Wa-nya hanya dua titik saja….He he he he”, tulis  Sriharti.
Aku sempat kebingungan sembari bertanya dihati, kenapa sudah larut malam wanita ini belum tidur? Apa dia sendirian? Apakah rasaku terkonek dengan perasaannya?
“Eh kak Sri……Kirain sudah tidur. Emangnya lagi begadang ya?”
“Ya Mas, lagi tidak bisa tidur aja malam ini. Mungkin tadi keminum kopi. Lah Mas sendiri lagi ngapain juga udah larut belum bobok?”
Bakkata pepatah, pucuk dicinta, ulampun tiba. Percakapanpun berlanjut hingga menjelang adzan subuh berkumandang baru berakhir.   Tak hanya rasa-rasa  yang terbetik terungkap, tapi beberapa informasipun aku peroleh. Mungkin inilah yang dikatakan orang, “Saat petualang menemukan bongkahan emas yang tak pernah direncanakan”.  Emas harus dimilki, sementara perjalanan panjang masih harus dilalui.
“Maaf Kak Sri,  kalau begitu kesimpulan aku adalah Bengkulu ini merupakan Negeri Bukan Perawan”.
“Maksudnya? Eh Mas, tolong jangan panggil kakak  ya….Kan aku masih muda. Tadikan Mas bilang,  kalau Mas lahir Tahun 1972, sedangkan akukan kelahiran 1975 ”.
Aku hanya tersenyum saat membaca WA Sri.  Aku hanya bisa menjawab, “wkwkwkwkw” dengan anime orang yang lagi bilang “Ah ngejut-ngejut aja”. Tak terasa sebenarnya ini percakapan dua insan yang telah berumur. Hanya satu yang tak bisa aku ungkap, apakah Sri itu masih lajang seperti diriku. Tak mampu otakku merespon untuk memerintahkan jemariku untuk menanyakan itu. Meskipun aku merupakan seorang petualang sejati sedunia. Ini kataku.
Petualang bukanlah seorang pengembara. Petualang punya persiapan dan tujuan. Sorang petualang tahu kapan dirinya harus pergi dan kapan harus pulang. Yang terpenting, seorang petualang selalu pulang dengan  hasil. Hal inilah spontan sempat aku katakan pada Srihati tadi, yang ternyata bukan orang yang dalam kenanganku. Sri merupakan gadis dusun yang merantau ke kota, dimana dahulu  ayahnya bertugas .
Meskipun dia bukan Sriharti yang ada dalam benakku dahulu, kenapa sosok wanita dari Negeri Bukan Perawan ini bisa mirip dan serupa tutur dan gaya narasinya. Mungkin beginilah kehidupan manusia di dunia, yang mungkin saja bisa sama. Meskipun 1001 untuk menemukannya.
Mas Bram Sang PetualangKaget
Petualangan  keesokan harinya, aku merencanakan melanjutkan petualangan menuju arah paling utara  Bengkulu, yang informasinya menghabiskan waktu  6 jam berjalanan. Tak aku hirau dan pedulikan  perjalanan ditengah ketatnya penjagaan musim virus corona oleh aparat.  Yang ada dibenakku mungkin konyol. “Bertualang mati,tidak bertualang juga mati. Jadi lebih baik terus bertualang hingga mati”.
Pagi ini persiapan dan pelunasan losmen sudah kelar. Tapi aku sempat kaget, seakan diluar kewajaran. Di hadapanku berdiri Sriharti dengan ransel digendongnya.
“Aku ikut Mas…..Lah kok Bengong?”
Aku sempat gagap dan sedikit senyap pikiran. Terasa tanggal semua tulang sendiku berhadapan dan mendengar kata-kata itu.  Tak masuk dalam nalar. Seorang wanita baru kenal dan hanya bermodalkan getaran rasaku, bisa ingin ikut bertualang.
Bibirku terkatup, terkunci. Aku hanya bisa mengangukan kepala. Tak mampu jua kepala ini mengeleng. Petualangan kembali dimulai lagi dengan rasa dan sedikit sandiwara diri. Tak aku pikirkan setiap perjalanan bisa saja akan terjadi ‘khilaf’.
Dibenakku hanya  bilang, “Biarlah ini mengalir seperti air. Bukankah seorang petualang sejati tak boleh menduga, memprediksi  tentang apa yang akan terjadi di depan?”
Mengalir saja seperti air. Tentunya menunjukan mata air sudah dekat. Dalam perjalanan, tak ada pertanyaan. Kami hanya bercerita tentang diri masing-masing. Terkuaklah beberapa tabir diri. Anehnya, fakta dan sedikitpun merubah rasa, meskipun bertambahpun juga tidak.
Tapi sudahlah, air mengalir bertanda mata air sudah dekat.  Misi untuk catatan petualang harus  ada.  Ada yang tercatat soal Negeri  Bukan Perawan  ini yang sempat kucatat dari Sri.  Ternyata,  Bengkulu  sudah cukup lama terjadi pencampur bauran atar suku pendatang dan ‘asli’. Tiga rumpun besar pribuminya, Suku Rejang, Suku Serawai dan Suku Melayu.
Dengan gamlang, Srihati menceritakan Suku-suku pribumi di Provnsi Bengkulu itu. Sempat menjadi pertanyaan di diriku, apa sebenarnya pekerjaan Sriharti yang bertubuh semok dan bohai ini.   Ini juga salah satu yang berlum terkuak selama perjalanan didalam bus antar kota.
“Pribumi itu Mas, seperti yang daerah yang kitatuju saat ini. Namanya Mukomuko. Pribumi Pekal. Nah ini suku aku Mas. Ada Suku Lembak,  Suku Basema dan Kaur. Terakhir ada yang di pulau di Laut lepas Samudera Hindia, namanya Suku Enggano yang terdiri dari lima puak. Selebihnya seperti tiga tadi”, ujar  Sriharti,  bicaranya sembari menatap kearahku. Terkadang aku berani menatap balik, namun banyaklah aku menundukan kepala saja. Istilah Jawanya, “Aku isin karo koe”.
Saat  berbincang itu pulalah, aku baru tahu kalau Srihati merupakan istri orang.  Namun karena aku sudah kadong menobatkandiri sebagai petualang, maka prinsip ‘Cuek aja’ terpaksa aku patrikan. Apalagi Sriharti sempat bilang, tak satupun dapat menghalangnya saat dirinya punya keinginan. Aku kaget. Persis Srihartiku dulu. Kokoh, kuat dan tegar seperti karang yang tetap tampil walaupun selalu dihantam riak gelombang.  Lenggaknya selalu seirama dengan lenggok.
Kami sempat beristirahat di sebuah motel, namun lain kamar. Tak ada khilaf ataupun kesengajaan. Banyak catatan yang kuperoleh, termasuk Sriharti yang masuk dalam catatan petualangan.
Petualangan selama dua minggu kini ditemani Sriharti. Terkadang aku berfikir tak masuk akal ini bisa terjadi, tapi begitulah nyata adanya. Hingga akhirnya  April ini juga kami harus berpisah. Deraian airmatapun bercucuran hingga membasahi dada.
Entah……..Semuanya mengalir begitu saja. Hanya saja perpisahan tanpa pegangan tangan selain tatapan. Tak banyak yang terucap, saat bus antar provinsi akian berangkat.
“Terimakasih…..A a aku tunggu”, kata-kata ku  terputus.
“Ya….tunggu apa Mas Bram?”
“Tunggu takdir menyatukan apa yang dirasa dan terasa”.
Lambaian tangan dan titikan airmata mengiringi perpisahan dari Negeri Bukan Perawan.
Cerpenis tinggal di Bengkulu, cerita yang ada hanya fiksi semata.  
 
The post Sriharti di Negeri Bukan Perawan appeared first on kupasbengkulu.com.

Related

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Tamat)

Peran  Orang Dalam Tahun  kepemimpinan Residen Thomas Parr dianggap melakukan...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Part 2)

Siapa Pelakunya “Pribumi tak berprikemanuasiaan, kejam dan sadis”. Itulah yang...

Malam Pembantaian Thomas Parr 1807 (Part 1-3 tulisan)

“Malam itu, sekelompok pribumi merangsek masuk Gedung Mount Felix...

Girik Cik: Matisuri Peradatan di Negeri Bukan Kukang

Tekad  anak negeri ingin “Adat Bersendi Sarak, Sarak Bersendikan...

Girik Cik: Jangan Pilih Cagub ‘Pengicu’

Tinggal hitungan bulan, Provinsi Bengkulu bakal pemilihan calon gubernur...