Petang Jumat , 21 Februari 2020 di Pulau Enggano. Panas terik mentari terasa pekat di kulit. Lengket akibat pekat garam dari angin laut. Tak tampak aktifitas dari masyarakat, kecuali beberapa kali truk pengangkut hasil bumi seperti pisang dan kelapa yang lalu lalang.
Dari ketinggian bukit di Desa Malakoni, tampak serombongan orang bergegas menuju dermaga Desa Malakoni, Pulau Enggano yang terletak di perairan Samudera Hindia itu. Hari ini ada kapal KM Peritis yang bersandar, siap menhantarkan para penumpang menuju Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu kota.
Berbagai muatan hasil bumi masuk kedalam KM Perintis, kecuali kendaraan yang terpaksa menanti di keesokan harinya, mengenakan Kapal ferry.
Semangat berlayar tampak dari sekelompok pemuda, yang sudah bertandang selama empat hari di pulau ini. “Mari kita pulang, tugas kita telah usai”, teriak dari salah satu dari mereka yang bertubuh tambun.
Meskipun kapal yang akan menuju Dermaga Pulau Baai Bengkulu kota akan berangkat pukul 17.00 WIB, namun satu jam sebelumnya, kapal sudah dipenuhi para penumpang dari berbagai pekerjan. Termasuk para pejabat daerah ikut kembali pulang, berlayar dari pulau terluar Provinsi Bengkulu Indonesia ini.
Klakson kapal berbunyi mengalun, pertanda kapal siap akan mengarungi 12 jam perjalanan, menyusuri samudera luas dengan cuaca cukup cerah. Penduduk pulau yang ingin berlayar tampak segera memasuki geladak bawah kapal untuk beristirahat, mengingat perjalanan memakan waktu sekira 12 jam, bila gelombang laut relatif tenang.
Lain halnya para pendatang yang ingin pulang, sebagaimana mereka datang, selalu ingin menempati geladak atas kapal, dengan berbagai alasan. Termasuk ingin menikmati alunan ombak Samudera Hindia, dengan ikan lumba-lumba yang mengiringi laju kapal. Sungguh kenangan yang tak terlupakan bagi pelancong.
Pria berjenggot putih itu.Puluhan orang di geladak kapal tampak santai dan menikmati pelayaran jelang matahari terbenam di ufuk timur, berganti kejora bersama jutaan bintang. Menyeruput kopi bersama makanan ringgan diiringi canda ala kebengkuluan, menambah sukarianya menanti waktu yang ditunggu tiba. Suara adzanpun berkumandang. Termasuk seorang wanita di tengah kerumunan penumpang, berparas cantik bak arties papan atas , bersama teman dan rekannya.
Sayup- sayup terdengar wanita itu dipanggiil Suharti oleh beberapa temannya. Entah apa profesinya. Yang jelas wajahnya ceria lepas. Dia tampak bersenda gurau hingga dingin angin laut malam membuatnya kantuk. Saharti mulai berkali kali menguap, menahan kantuk pasca ditinggal temannya yang lebih dahulu tertidur. Rasa kantuk tak dapat Suharti tahan. Terlelap tidur Suharti dalam remang-remang cahaya bintang.
Tak tampak lagi kecantikannya, saat kepalanya di tutup selimut kerudung. Temannyapun terpencar diberbagai sudut mencari tempat nyaman untuk beristirahat. Suharti tinggal sendirii, terlelap tidur beralaskan sepotong tikar. Dia tampak tertidur pulas. Namun begitu, Suharti tetap enggan menempati ruang tidur yang tersedia.
Suharti tetap bertahan di geladak atas kapal dalam kantuknya. Hingga tiupan anggin laut dingin membuat Suharti meringkuk kedinginan. Selendang tipis dicobanya untuk menghangatkan dan menahan tiupan angin laut nakal dan dingin. Beberapa kali berbalut selendang tipis, namun upaya sadar tak sadar Suharti gagal, akibat angin terus mendesak meniup selendang warna coklat tipis Suharti yang bertubuh gempal itu.
Hening
Suasana gelada atas kapal tampak tak ramai lagi. Hanya sesekali terdengan suara orang mengobrol dalam kegelapan. Bara api rokok masih tampak di sudut-sudut geladak, membuat warna dalam kegelapan. Tak jauh dari Suharti, duduk seorang pria yang dari awal kapal berangkat, pria itu tetap duduk, sambil memandang laut lepas. Sesekali terdengan zikir yang terucap. Enggan beranjak pria berjenggot putih itu, entah apa yang ada dalam pikirannya .
Seorang penumpang mencoba menyapa pria berjenggot putih itu. “Tampaknya asyik menatap laut pak?”
“Eh ia……Saya dari tadi hanya membayangkan saat koloni Belanda yang datang ke Negeri Bengkulu, melintasi perairan Pulau Enggano ini”, jawab pria berjenggot putih sembari menunjuk ke arah timur laut.
Obrolanpun tak berlanjut. Mungkin yang bertanya tak pernah menduga jawabannya kearah history zaman dahulu.
Dari pinggiran tempat duduk tepian geladak kapal, pria itu masih tampak memandang laut. Setelah diamati dari kejauhan, ternyata pria berjenggot putih, yang berat dugaan itu memang benar manusia bukan malaikat itu, teryata juga melirik kearah Suharti dalam kegelisahan dan kedinginannya. Karena tak kenal, pria itu hanya bisa memelirik Suharti sesekali. Perhatian pria itu bertambah, saat ada dua pria yang mengantuk, berusaha tidur di dekat Suhartti yang sedang terlelap.
Awalnya pria berjenggot menjadi pahlawan tanpa daya itu, ingin menjadi pahlawan berdaya guna bagi Suharti. Melihat Suharti bulak-balik tidur seperti orang gelisah dalam tidurnya, akhirnya pria itu mencoba berbuat sesuatu untuk Suharti yang tak dikenalnya. Mungkin maksud hati agar Suharti nyaman dari kedinginan akbat hembusan angin dingin laut Samudera Hindia.
Pria berjenggot putih itu mencoba menata selendang yang tersingkap. Itu dilakukan, bukan karena iba, cinta ataupun sayang . tapi dilakukannya sebagai tanggungjawab sebagai lelaki saat melihat seorang wanita terlelap tidur dengan berbagai posisi yang dapat memancing libido. Termasuk mengantisipasi kekhilafan, akibat angin laut yang pekat dengan garamnya.
Kentut
Malam mulai larut. Kala itu sekira pukul 11.34 WIB, hembusan angin semakin menusuk tulang . Tak tampak lagi bara api rokok dalam kegelapan, termasuk sayup-sayup penumpang yang mengobrol. Termasuk dua orang penumpang yang tidur di sebelah Suharti.
Sebelumnya Suharti sempat terbangun saat mengetahui ada pria lain didekatnya. Namun rasa kantuk membuatnya tak berdaya. Termasuk saat salah satu dari dua pria itu terkentut. Untung saja di alam terbuka, maka aromanya tak begitu mengkuatirkan. Suharti kembali tidur. Pria berjenggot puti tetap mengawasi dalam jarak tiga meter dari posisi Suharti.
Tak lama berselang, masuk lagi orang ketiga yang mencoba berguling di lambung kiri Suharti. Melihat situasi dirasakan tak patut secara norma dan kaedah, pria berjenggot putih segera mendekati Suharti. Ia berpura-pura memperbaiki selendang yang bergeser ditiup amgin. Melihat itu, lelaki berbaju hitam itu segera berdiri pergi dan berlalu.
Tapi ironisnya, gas tak beracun yang dikeluarkan oleh salah satu dari dua pria itu, berulang kali terjadi. Jangankan yang dekat dengan lelaki pengentut itu, pria berjenggot yang jaraknya cukup jauh seakan-akan terjangkit inspeksi saluran pernafasan atau ISPA, saat mendengar kentut itu. Baru yang berbunyi ketahuan, belum lagi yang silent sound. Untung saja angina laut bertiup kencang, menghilangkan kenyataan yang ada, kecuali beban psikis saat kentut itu disadari Suharti.
Malam kian larut. Perjalanan serasa tak akan pernah berujung. Alunan gelombang kian asyik mengoyang kapal. Pria berjenggot putih tetap duduk dibangku di pinggir geladak kapal. Entah apa yang ada dibenaknya. Yang jelas selaih Suharti, wanita yang tak dikenalnya, langit dan lautan luas menjadi obyek pandangannya, sembari mulutnya melantunkan dzikir.
Adzan subuhpun berkumandang dari musholah Kapal KM Perintis. Tanpa tedeng aling-aling, pria berjenggot putih itu tampak berani mendekati Suharti sembari memanggil
“Non…Non, adzan subuh tiba. Nona shalatkah?”
Sontak Suharti kaget. “Aaa…..Ia makasih”, katanya masih ngelindur.
Suharti tampak memandangi pria berjenggot putih, yang akhirnya pergi entah kemana. Suharti memandangi dua pria didekatnya dan keadaan sekelilingnya. Tampak memaksakan diri Suharti bangkit saat adzan usai berkumandang menuju mushola.
Tak selang berapa lama, kapal mulai mendekat dan merapat di Pelabuhan dermaga Pulau Baai Bengkulu kota. Pria berjenggot putih tak tampak turun dari kapal, termasuk Suharti. Mungkin terlepas dari pandangan saja.
Setelah dua hari berlalu cerita pulang dari Pulau Enggano, diatas KM Perintis, terdengar kabar, kalau Suharti merupakan sosok wanita dari Bengkulu Utara. Memang saat belianya dahulu, Suharti merupakan aktivis yang pantang mundur. Bila kini dirinya sering maju mundur, maju mundur syantik, itu mungkin karena umur yang kian bertambah dan kini konsent terhadap performance diri, dalam menunjang kualitas diri. Siapakah sosok Suharti itu sebenarnya?
Cerpenis tinggal di Bengkulu kota
The post Suharti di Geladak Kapal KM Perintis appeared first on kupasbengkulu.com.