Catatan Pinggir: Benny Hakim Benardie
Keberadaan Tabut, dalam dialek masyarakat Melayu Bengkulu di sebut Tabot, di Tahun 2019 ini eksistensinya sudah 300 tahun lebih. Tidak banyak berbeda ritualnya dari awal munculnya hingga saat kini. Hanya ada beberapa istilah saja yang mungkin disesuaikan dengan pembendaharaan kata kekinian.
Penulis mengenyampingkan kontrovesial sejarah Tabut Bengkulu itu sendiri. Keberadaan Tabut sudah ada sejak koloni Inggris bercokol di Negeri ‘Tanah Mati’ ini, sekira Tahun 1714 di daerah pesisir Bemgkulu. Mereka datang dan pekerja East India Company (EIC) dari India, untuk membangun markas pertahanan Fort Marlborough di areal Ujung Karang, Kota Bengkulu saat ini.
Tabut terus dilaksanakan di Kota Bengkulu setiap Tahun Baru Islam pada bulan tanggal 1 hingga 10 Muharram, untuk mengenang tragedi kesyahidan Al-Husain, Cucu Nabi Muhammad SAW yang di bunuh Yazid bin Muawiyyah di Karbala Irak. Kisah itulah membuat luka dan duka mendalam bagi umat pencinta Al-Husain, yang tumpahkan dengan membuat Tabut. Penyebarannya hingga ke Pariaman Sumatera Barat.
Dari duka mendalam itulah timbul ekspresi mengungkapkan kekaguman dan kedukaan yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam bentuk seni. Inilah Tabut Bengkulu, Bencoolen, Benkoelen dan kembali ke Bengkulu lagi. Ekspresi seni itu terwujud di Irak, Iran, India hingga Bengkulu Indonesia dengan bentuk yang berbeda tapi sifatnya tetap sama.
Apakah Tabut itu Budaya?
Pertanyaannya adalah, apakah Tabut (Tabot) Bengkulu yang secara harfiah berarti kotak atau peti itu merupakan budaya atau idiologi?
Mengutip beberapa pendapat ahli tentang apa itu budaya, ternyata hingga kini belum mendapatkan kata kesepahaman. Ini terletak dri sisi apa mereka memandang, sesuai disiplin ilmu yang mereka pahami dan kuasai seperti pendapat:
Masyarakat dari berbagai daerah melihat dan mengangumi seni arsitektur Tabut.
Pertama, Effat Al- Syarqawi yang menjelaskan pengertian budaya dari sudut pandang agama Islam. Budaya adalah, suatu khasanah dalam sejarah dari sekelompok masyarakat yang tercermin pada di kesaksian dan berbagai nilai kehidupan. Suatu kehidupan harus memiliki makna dan nilai rohaniah, yang memiliki tujuan sebagai pedoman hidup.
Kedua, Sosiolog Soelaiman Soemardi & Selo Soemardjan berpendapat, pengertian budaya ialah sesuatu kebudayaan yang merupakan hasil karya meliputi cipta dan rasa dari masyarakat. Budaya memang memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan masyarakat, sehingga masyarakat tersebutlah yang menciptakannya.
Ketiga, menurut Arkeolog Soekmono, budaya adalah hasil pekerjaan atau usaha dari manusia yang berwujud benda atau pemikiran manusia pada masa hidup di kala itu. Keempat, Atropolog Parsudi Suparian yang menyebutkan pengertian budaya adalah seluruh pengetahuan manusia yang di manfaatkan untuk mengetahui serta memahami pengalaman dan lingkungan yang mereka alami.
Terdapat banyak ilmuwan dan ahli budaya lainnya yang memberikan pengertian budaya. Mereka sampaikan dari sudut pandang, unsur-unsur tertentu.
Menjavab pertanyaan diatas, maka Tabut Bengkulu dapatlah kita simpulkan merupakan budaya. Budaya yang dimaksud adalah pandangan sekelompok masnusia yang mempunyai nilai dan makna, cipta dan rasa yang diwujudkan dalam bentuk benda ataupun pemikiran yang bermanfaat bagi setiap peradaban masyarakat Negeri Bengkulu. Hal itu dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Tabut Bengkulu, diwariskan untuk generasi ke generasi mendatang.
Paling tidak, setiap orang akan bergoyang saat teringat pukulan atau ketukan suara dhol dan tassa, sebagai alat musik dari Tabut Bengkulu itu sendiri.
Dari Tabut Bengkulu ada ritual, yang mempunyai berbagai makna mulai dari berdoa, mengambil tanah hingga Tabut tebuang (Dibuang) di Padang Karbela, Padang Jati Kota Bengkulu, yang mensadur nama Karbela di Irak.
Idiologis
Apakah Tabut itu sebagai idiologi? Ada pendapat mengatakan bahwa Tabut Bengkulu merupakan idiologi bagi kelompok yang hingga kini masih berkecimpung di Tabut Bengkulu tersebut. Bila prosesi Tabut Bengkulu itu tidak dilaksanakan, maka ada perasaan tidak mengenakan, kegelisahan serta rasa bersalah.
Ritual terakhir Tabut Tebuang di areal pemakaman Syech Burhanudin alias Imam Sanggolo di Karbela Bengkulu.
Bagi separuh kelompok yang hijrah dari komunitas Tabut Bengkulu, maka Tabut hanya merupakan budaya anak negeri semata, yang merupakan tradisi lama sebagai seni dan budaya saja. Tidak pula melaksanakan itu dianggap sebagai perintang hari atau pengisi kesibukan tahunan saja.
Separuh orang Tabut Bengkulu menganggap melaksanaan Tabut itu merupakan idiologi. Apa itu idiologiyang ini pertama kali diperkenalkan oleh Destutt de Tracy, seorang filsuf asal Perancis. Secara etimologis kata “Ideologi” berasal dari bahasa Perancis, yaitu: Idéo yang artinya ide, cita-cita, melihat, memandang. Logie yang artinya logika atau rasio. Sehingga arti ideologi dapat di definisikan sebagai seperangkat ide yang membentuk keyakinan dan paham untuk mewujudkan cita-cita manusia.
Filsuf Italia, Niccolò Machiavelli menjelaskan Idiologi hakekatnya adalah pengetahuan mengenai cara menyembuyikan kepentingan, mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan dengan memanfaatkan konsepsi – konsepsi keagamaan dan tipu daya.
Seorang komunis, Karl Max mengatakan idiologi adalah kesadaran palsu, sebab idiologi merupakan hasil pemikiran tertentu yang diciptakan oleh para pemikir sesuai kepentingannya.
Berbeda dengan pakar politik DR Alfian yang berpendapat idiologi adalah suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam tentang bagaimana cara sebaiknya yaitu secara moral dianggap benar dan adil mengatur tingkah laku bersama dalam berbagai segi kehidupan.
Dapatlah kita tarik kesimpulan sementara bahwa, Tabut Bengkulu saat ini bukan idiologi lagi. Dalam ritualnya tidak ada kepentingan materi. Hanya memberlakukan apa yang sudah menjadi sampaian turun-temurun, meskipun filosofinya hanya dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Sistem nilai yang ada dalam ritual dan seni Tabut Bengkulu itu sendiri dalam praktiknya, kurang dipahami sebagian kelompok Tabut Bengkulu itu sendiri. Apalagi orang diluar kelompok yang hanya tahu kenikmatan dalam hiburan seni dan budaya saja.
Ini tentunya berbeda saat awal keberadaan Tabut di Negeri Pulau Emas (Suwarnadwipa) atau Tanah Emas (Suwarnabhumi) ini mulai di perayakan pada Pesisir Pantai Berkas Kota Bengkulu.saat itu Tabut masih merupakan idiologi yang menjadi acuan, landasan berpikir dan cara pandang manusia dalam menafsirkan dan memahami lingkungan tempatan kelompok berada.
Pemerhati Sejarah dan Budaya tinggal Bengkulu