Jumat, Maret 29, 2024

Tabut Bengkulu Itu Budaya atau Idiologi?

Catatan Pinggir: Benny Hakim Benardie

Keberadaan Tabut, dalam  dialek masyarakat Melayu Bengkulu di sebut Tabot, di Tahun 2019 ini eksistensinya  sudah 300 tahun lebih. Tidak banyak berbeda ritualnya dari awal munculnya hingga saat kini. Hanya ada beberapa istilah saja yang mungkin disesuaikan dengan pembendaharaan kata kekinian.

Penulis mengenyampingkan kontrovesial sejarah Tabut Bengkulu itu sendiri.  Keberadaan Tabut sudah ada sejak koloni Inggris bercokol di Negeri ‘Tanah Mati’ ini, sekira Tahun 1714 di daerah pesisir Bemgkulu. Mereka datang  dan pekerja East India Company (EIC) dari India, untuk membangun markas pertahanan Fort Marlborough di areal Ujung Karang, Kota Bengkulu saat ini.

Tabut terus dilaksanakan di Kota Bengkulu setiap Tahun Baru Islam pada bulan tanggal 1 hingga 10 Muharram, untuk mengenang tragedi kesyahidan Al-Husain, Cucu Nabi Muhammad SAW yang di bunuh Yazid bin Muawiyyah di Karbala Irak. Kisah  itulah membuat luka dan duka mendalam bagi umat pencinta Al-Husain, yang tumpahkan dengan membuat Tabut. Penyebarannya hingga ke Pariaman Sumatera Barat.

Dari duka mendalam itulah timbul ekspresi mengungkapkan kekaguman dan kedukaan yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam bentuk  seni. Inilah Tabut Bengkulu, Bencoolen, Benkoelen dan kembali ke Bengkulu lagi. Ekspresi seni itu terwujud di Irak, Iran, India hingga Bengkulu Indonesia dengan bentuk yang berbeda tapi sifatnya tetap  sama.

Apakah Tabut itu Budaya?

Pertanyaannya adalah, apakah Tabut (Tabot) Bengkulu yang secara harfiah berarti kotak atau peti itu merupakan budaya atau idiologi?

Mengutip beberapa pendapat ahli tentang apa itu budaya, ternyata hingga kini belum mendapatkan kata kesepahaman. Ini terletak dri sisi apa mereka memandang, sesuai disiplin ilmu yang mereka pahami dan kuasai seperti pendapat:

Masyarakat dari berbagai daerah melihat dan mengangumi seni arsitektur Tabut.

Pertama,  Effat Al- Syarqawi yang menjelaskan pengertian budaya dari sudut pandang agama Islam. Budaya adalah, suatu khasanah dalam sejarah dari sekelompok masyarakat yang tercermin pada di kesaksian dan berbagai nilai kehidupan. Suatu kehidupan harus memiliki makna dan nilai rohaniah, yang memiliki tujuan sebagai pedoman hidup.

Kedua,  Sosiolog  Soelaiman Soemardi & Selo Soemardjan berpendapat, pengertian budaya ialah sesuatu kebudayaan yang merupakan hasil karya meliputi cipta dan rasa dari masyarakat. Budaya memang memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan masyarakat, sehingga masyarakat tersebutlah yang menciptakannya.

Ketiga,  menurut Arkeolog Soekmono, budaya adalah hasil pekerjaan atau usaha dari manusia yang berwujud benda atau pemikiran manusia pada masa hidup di kala itu.  Keempat, Atropolog Parsudi Suparian yang menyebutkan  pengertian budaya adalah seluruh pengetahuan manusia yang di manfaatkan untuk mengetahui serta memahami pengalaman dan lingkungan yang mereka alami.

Terdapat banyak ilmuwan dan ahli budaya lainnya yang memberikan pengertian budaya. Mereka sampaikan dari sudut pandang, unsur-unsur tertentu.

Menjavab pertanyaan diatas, maka Tabut Bengkulu dapatlah kita simpulkan merupakan budaya. Budaya yang dimaksud adalah  pandangan sekelompok masnusia yang mempunyai nilai dan makna, cipta dan rasa yang diwujudkan dalam bentuk benda ataupun pemikiran yang bermanfaat bagi setiap peradaban masyarakat Negeri Bengkulu. Hal itu dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Tabut Bengkulu, diwariskan untuk generasi ke generasi mendatang.

Paling tidak, setiap orang akan bergoyang saat teringat pukulan atau ketukan suara dhol dan tassa, sebagai alat musik dari Tabut Bengkulu  itu sendiri.

Dari Tabut Bengkulu ada ritual, yang mempunyai berbagai makna mulai dari berdoa, mengambil tanah hingga Tabut tebuang (Dibuang) di Padang Karbela, Padang Jati Kota Bengkulu, yang mensadur nama Karbela di Irak.

Idiologis

Apakah Tabut itu sebagai idiologi? Ada pendapat mengatakan bahwa Tabut Bengkulu merupakan idiologi bagi kelompok yang hingga kini masih berkecimpung di Tabut Bengkulu tersebut. Bila prosesi Tabut Bengkulu  itu tidak dilaksanakan, maka ada perasaan tidak mengenakan, kegelisahan serta rasa bersalah.

Ritual terakhir Tabut Tebuang di areal pemakaman Syech Burhanudin alias Imam Sanggolo di Karbela Bengkulu.

Bagi separuh kelompok yang hijrah dari komunitas Tabut Bengkulu, maka Tabut hanya merupakan budaya anak negeri semata,  yang merupakan tradisi lama sebagai seni dan budaya saja. Tidak pula melaksanakan itu dianggap sebagai perintang hari atau pengisi kesibukan tahunan saja.

Separuh orang Tabut Bengkulu menganggap melaksanaan Tabut itu merupakan idiologi. Apa itu idiologiyang ini pertama kali diperkenalkan oleh Destutt de Tracy, seorang filsuf asal Perancis. Secara etimologis kata “Ideologi” berasal dari bahasa Perancis, yaitu: Idéo yang artinya ide, cita-cita, melihat, memandang. Logie yang artinya logika atau rasio. Sehingga arti ideologi dapat di definisikan sebagai seperangkat ide yang membentuk keyakinan dan paham untuk mewujudkan cita-cita manusia.

Filsuf Italia, Niccolò Machiavelli menjelaskan Idiologi hakekatnya adalah pengetahuan mengenai cara menyembuyikan kepentingan, mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan   dengan  memanfaatkan konsepsi – konsepsi keagamaan dan tipu daya.

Seorang komunis, Karl Max mengatakan idiologi adalah kesadaran palsu, sebab idiologi merupakan hasil  pemikiran tertentu yang diciptakan oleh para pemikir sesuai kepentingannya.

Berbeda dengan pakar politik DR Alfian  yang berpendapat idiologi adalah suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam tentang bagaimana cara sebaiknya yaitu secara moral  dianggap benar dan adil  mengatur tingkah laku bersama  dalam berbagai segi kehidupan.

Dapatlah kita tarik kesimpulan sementara bahwa, Tabut Bengkulu saat ini bukan  idiologi lagi. Dalam ritualnya tidak ada kepentingan materi. Hanya memberlakukan apa yang sudah menjadi sampaian turun-temurun, meskipun filosofinya hanya dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Sistem nilai  yang ada dalam ritual dan seni Tabut Bengkulu itu sendiri dalam praktiknya,  kurang dipahami sebagian kelompok Tabut Bengkulu itu sendiri. Apalagi orang diluar kelompok yang hanya tahu kenikmatan dalam hiburan seni dan budaya saja.

Ini tentunya berbeda saat awal keberadaan Tabut di Negeri  Pulau Emas (Suwarnadwipa) atau  Tanah Emas (Suwarnabhumi) ini mulai di perayakan pada  Pesisir Pantai Berkas Kota Bengkulu.saat itu Tabut masih merupakan idiologi yang menjadi acuan, landasan berpikir dan cara pandang manusia dalam menafsirkan dan memahami lingkungan  tempatan kelompok berada.

Pemerhati Sejarah dan Budaya tinggal Bengkulu

 

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis Mafia Tanah sudah menggurita dan telah...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...