Jumat, Maret 29, 2024

Ta’un Sang Caleg

Cerpen: Benny Hakim Benardie

Pagi itu Juli 2018, Negeri Bencoolen terasa panas sedari fajar. Entah apa sebabnya, sebulan terakhir cuaca terasa lengket dikulit.  Munkin inilah salah satunya kata pepatah orang tua melayu dahulu, “Panas Tak Berarti  Akan Turun Hujan” .

“Tapi itu,  ah……sudahlah! kenapa mesti dipikirkan  soal hujan ataupun panas.  Momentum empuk  yang penting harus diraih”,  kata  Ta’un dalam hati, sembari merapikan dandanannya agar necis ghitu loh.

Sementara bini Ta’un, Upik Jenggo  sedang sibuk membongkar laci lemari,  seperti mencari sesuatu. Siulan  sebuah lagu melankolis yang di senandungkan lakinya, sedikitpun tak membuat  Upik  tergoda.  Lipatan bajupun kena sasaran di bulak balik.

“Say…..Apasih dong yang dicari?  Masih pagi udah ngejut-ngejut aja neh”, tegur Taun sembari nyisir rambutnya bergaya belah pantat.

“Say sey say sey…..”, jawab Upik. “Aku nih lagi nyari minyak pomade yang aku beli tahun lalu. Kalau nggak keliru naruhnya di lagi lemari ini”,  upik ngedumel  dan melirik ke arah lakinya.

“Lah ini sudah aku ambil”.

“Ai abang nih, ngomong kalau udah ngambil, jadi upik nggak puyeng nyari lagi”,  ujarnya  langsung bergegas menuju rak-rak sepatu.

Prinsipnya, Upik Jenggo sangat mensuport lakinya untuk bergegas untuk mendaftar  sebagai calon Legislatif.  Upik beranggapan kalau lakinya pintar dalam berbicara, karena  hampir 16 tahun  Ta’un berkiprah sebagai penjual obat dipinggir jalan.  Apalagi ia sudah dikenali orang, khususnya kalangan menengah kebawah.

Hari ini merupakan hari istimewah. Didepan kaca dengan pakaian stedy, dihentakannya kaki kanan ke lantai rumah dan Ta’un berucap, “Tes kantong uji mental. Yang jauh  kian mendekat, yang dekat kian merapat”.

Langkah kanan meninggalkan rumah usai sebuah kecupan mendarat di kening bininya. Upik Jenggo tampak terus berdoa, demi kelancaran  urusan lakinya,  agar tercapai apa yang diinginkan.

Lolos

Dengan  mengendarai sepeda motor metic keluaran 2017, Ta’un  meluncur ke tempat pendaftaran Caleg.  Semua mata melirik Ta’un  dengan tajam.  Lirikan itu membuat Ta’un kian percaya diri. Sapaan lambaian tanganpun dia berikan.

“Pagi semua……apa kabar?” sapanya.

Ironinya, berkali-kali sapaan itu tak mendapat tanggap. Tapi itu tak membuat Ta’un kecewa. Dia beranggapan begitulah  para pendukung bila melihat sosok calon tokohnya. Entah apa dasar rasa dan cara berfikir Ta’un,  dengan  menenteng tas yang bertuliskan, “Menjemput Takdir”.

Saat masuk diruang pendaftaran,  Ta’un sempat kaget dengan tepukan dipundaknya. Ternyata rekan sejawatnya dikaki lima juga mendaftar sebagai Caleg.

“Weiiii sanak, ketemu di sni……..Jadi sama-sama berjuang kita nih”, tegur temannya.

“Ia nih sanak, kita harus ikut berjuang untuk  negeri ini,  agar mencapai keluarga Sakinah Mawadah Warahmah” jawab Ta’un seperti seorang intlektual  berindeks prestasi komulatif  4,3 saja.

“Lah ia lah Un”, kata salah seorang temannya. “Apa Kurangnya dengan Ikan Selengat, Sisik Ada Tulangpun Ada”, katanya sembari tertawa terkekeh-kekeh.

Al hasil, secara administrasi, Ta’un lolos.  Banyak calon yang selama ini tahu dengan penjual obat kaki lima ini, tenyata seorang sarjana strata satu.  Hanya saja, sejak tamat kuliah 13 tahun yang lalu,  Taun  tidak pernah lagi mengulang dan mengkaji lagi ilmu yang pernah didapatinya.  Yang ditekuninya selama ini, bagaimana  uang bisa masuk kantong, tanpa terasa oleh yang punya.

Belum selesai urusan, mendadak Negeri Bencoolen turun hujan beserta badai yang tak seberapa kencang. Dari ruang lobi kantor pendaftaran Caleg,  tanpak para calon berbincang dengan karaakter dan gayanya.  Tanpa disadari mereka, disudut ruangan, seorang psikiater mengamati mereka. Mungkin Psikiater tersebut tak sengaja atau menghantarkan saudaranya ke kantor itu.

Dengan membawa buko catatan kecil, psikiater itu tampak menuliskan hasil pengamatannya. “‘Ke Ate Idak Nyampai, Kebawah Idak Njejak. Ngota Idak Bepangkal, Ngecek idak berujung. Akal idak nyampai sejengkal, Ngota Berapi, Padohal Palak Idak Berisi.
Ngecek bepatah-patah lidah, bejalan mati langkah. Ke Laut Hanyut, Ke Darek Sesek. Bigal Idak Masuk Tunjuk, Cerdik Idak Masuk Ajar
”.

Entah apa dan siapa yang dimaksud Sang Psikiater, yang jelas itu tidak masuk dalam katagori Ta’un. Kalau Ta’un itu, ngecek lambek, ceritonyo panjang  lebar, tapi idak nyelesai.

Saat hujan reda, tibalah para wartawan dari berbagai media mencari berita. Ta’un tampak diwawancarai.

“Apa motivasi anda untuk mendaftar jadi anggota dewan bang?” tanya wartawan saat wawancara keroyokkan.

“O ya……Saya ingin menadikan masyaraakat sejahterah menuju keluarga Samara.”.

“Bukankah menjadi wakil rakyat itu repot dan sering menadi sorotan masyarakat?”

“Siapa bilang? Hidup ini jangan repot-repot. Temui konstituen kita dengan sabar.  Laksanakan program kerja  hari Senin gencar tampung aspirasi, Selebihnya, Selasa hingga Jumat, lakukan perjalanan dinas atau studi banding untuk kepentingan negeri  ini”, jawab Ta’un hingga para wartawan bubar pergi.

“Seperti sudah pernah jadi wakil rakyat aja”, kata seorang wartawan yang tampaknya bukan pemilih Ta’un nantinya.

Cerpenis tinggal di Bengkulu Kota

Related

Dunia Sehektar di Negeri Marlborough

“ Gunung Yang Engkau Lihat Indah, Sesungguhnya  Tak Seindah Apa...

Torehan Pena Emak

Cerpen:  Benny Hakim Benardie Kata kunci hidup itu bergerak....

Cerpen: Rumah Bengkulu

Oleh: Benny Hakim Benardie Sewindu sudah negeri ini tak ramai...

Tekijang

Cerpen Benny Hakim Benardie “Masih Kecik Kudo Tembago. La Gedang...

Bukit Tapak Paderi Sepenggal Kenangan

“Tak tahu dan diam itu wajar. Bila tahu tapi...