Selasa, April 16, 2024

Widuri di Taman Nusa Indah

Mendung di senja  Senayan, 17 Mei 2021 kian membuat gundah gulana hatiku. Sudah beberapa hari ini, tampaknya mendung masih membalut langit Kota Bengkulu. Tak ada kaget dengan kondisi alam yang seharusnya meresahkan warga kota pesisir ini, selain ungkapan, “Ai….Mendung lagi hari ini”.

Aku tahu, mendung tak berarti hujan akan mendera. Terkadang mendung berlalu, anginpun menderu. Ternyata benar. Semuanya berlalu, awan pekat berganti cuaca lembab lengket terasa bergaram  dikulit. Tak banyak orang di kota ini menghiraukan itu, selain orang yang baru menetap di kota bagian barat Pulau Sumatera ini.

Sebenarnya akupun tak hiraukan itu. Tapi memikirkan bayangan seseorang yang terpendam di lubuk hati, maka semua rasa jadi tersibak. Apalagi aku sudah 18 tahun basah kering, terlentang terlungkup di kota kelahiran Ibu Agung Fatmawati ini.

Bila di ibaratkan pakaian, basah kering selama itu dipastikan lapuk dan rawan koyak. Belum lagi uap air laut yang acap kali melekat di kulit. Bila telur asin saja di garami beberapa hari menjadi telur asin, apalagi kita.

Tapi esensi yang aku maksud bukan soal itu. Ini soal yang memmuncak di benak hari ini. Ada rasa lain memuncak, klimaks  menyelimuti fikiran. Ilustrasi imaginer, fantasi yang aku rasa indah sekali bila terwujudkan. Rasa yang meresap hingga menembus jauh diangan-angan. Sesekali geli juga sih bila sosok Widuri terbayang. Perempuan  ibarat nyata  Bunga Widuri ditaman Bunga Nusa Indah.

“Rasanya oh Tuhan……Seandainya Widuri ditaman Nusa Indah itu dapat aku miliki, mungkin…….Ah sudahlah”, khayal menhujam benakku, yang tak sanggup aku gamlangkan buat aku ucapkan untuk harapanku  sebenarnya. Biarlah itu ada jauh di dalam benakku. Direlung lubuk hatiku.

Widuri, sosok wanita yang punya daya pikat dahsyat. Biasanya, bila pikatnya dahsyat, maka lekat pulutnya juga mantap. Sudah puluhan tahun aku ‘hidup di jalanan’, baru kali ini ada pikat seperti itu terasa dihati. Serupa ungkapan anak Melayu Bengkulu bilang sosok Widuri ini ibarat, “Pipit Pikek Padi Pulut, Balam Pikek Padi Rebah”.

Siapapun pria jantan pasti tertarik dengan perempuan bernama Widuri ini. Apalagi auranya berbaur dengan keilmuan yang dimilikinya dari universitas ternama. Tapi sekali lagi, ini hanya maunya aku. Ibarat kata, “Kendak Bubu Ikan Masuk. Kendak Ikan Idak?”

Kini Ramadhan sudah berlalu. Mungkin karena itu pulalah rasa itu kini bernafsu ingin tampil. Senja fitri dalam pergulatan nafsu, tatkala Sang Surya mulai meredup sinarnya, berganti rembulan setengah. Lantunan suara adzan mengalun jauh kian melepas rasa.

Sesekali terdengar  dentuman seperti petasan berdenging di telinga, sembari mengerutuk, “Dasar anak nakal main petasan ngejut-ngejut aja”.

Menjelang kelam ini, aku tetap disudut  warung dekat rumah Widuri Taman Nusa Indah, sembari mereguk segelas air mineral melepas dahaga. Tapi enta mengapa, kelam tak mengenyahkan bayangan Widuri. Aku ta resah sama sekali dengan ini semua, malah aku nikmati sembari selipkan doa kalau kalau.

Widuri sosok yang telah dua tahun bernaung dihati. Sengaja terpendam menanti takdir, karena kini masih haram untuk di gubris. Widuri sosok perempuan  tegar dalam hempasan badai gelombang kehidupan. Itu kesimpulan yang aku tahu usai Curhatan Widuri beberapa waktu lalu yang  menggugah rasaku.

Jujur saja, terkadang aku juga tak tulus mendengarkan Curhatan Widuri. Acap kali libidoku meronta-ronta, apalagi saat sedang berdua bercerita dengannya. Inilah kendala tulus yang tak kuasa aku enyahkan. Terkadang aku takut, rotahan  libido itu tercermin dimuka saat lagi bercakap.

“Tapi terserahlah. Kini aku tak perdulikan. Ini bukan diada-adakan. Ini alamiah. Yang penting, rasa ini tak aku implementasikan hingga waktu tepat tiba. Hanya  untukmu  Widuri. Tunggu saatnya tiba”, ungkapku.

Terpesona pada sosok Widuri ini bukan waktu yang sebentar. Cukup lama juga  rasa itu melanglang buana dalam tubuhku. Tapi kali ini tampaknya saat klimaks kian mengubun-ubun, tatkala senja menjelang di dekat rumah Widuri. Wanita bersuami yang sulit aku ulang ceritanya lagi.

Rasa Berawal

Awal perkenalan dengan Widuri beberapa tahun lalu, aku entah mengapa langsung  terpukau menatap wajahnya, meskipun kala itu dalam keadaan remang lampu jalan, tersibak keanggunan rau wajahnya tersungkup di kerudung hitamnya.

Kala itu Widuri acap kali ia melempar senyum yang tak terarah. Hingga sesekali waktu, senyuman itu membidik sekujur tubuhku.  Aku terhanyut perasaan, karena aku bingung apakah arti senyuman Widuri. Hanya dirinyalah yang tahu. Mungkin diriku terbawa Baper saja.

Baperku aku bawa ke rasa positif aja. Semua itu aku rasa merupakan ketetuan Tuhan yang Maha Pengasih. Dari sinilah Curhatpun acap kali berlangsung dan berlanjut, hingga deraian air mata sempat membasahi kerudungnya. Ingin rasanya aku menghapus air mata dipipi itu, sayangnya aku tunggu-tunggu tak ada sinyal untuk itu. Andai ada, tentunya tak ada lagi khayalku seperti saat ini.

Diusapnya air mata yang membasahi raut pipi putihnya. “Cik tolong Widuri. Cik jangan tinggalkan Widuri. Widuri butuh Cik”.

Itulah ucapannya sembari memanggil namaku yang nyaris pertahanan libidoku hampir jebol. “Untuk Cik idak kanji nian (Untung Cik tak terlalu ganjen)”.

Apalagi saat itu nada suaranya dah mulai serak-serak becek usai menangis. Semua derita nestapanya diceritakannya padaku. Entah mengapa ini bisa terjadi. Tak mungkin bila Widuri menganggap aku sebagai kakaknya. Apalagi dia tahu kalau adikku sendiri banyak. Tapi entahlah!

Yang pasti, aku dadaku sempat terhenyak, terhanyut dalam keharuan yang mendalam. Seakan aku masuk di kehidupan nyata Widuri. Aku sempat mengibaratkan diri sebagai Batman, sosok pahlawan barat yang kancutnya diluar celana.

Saat itu, aku sangat serius mendengar dan menanggapi kisah Widuri. Meskipun sempat terbetik di pikiranku, berakal ala pameo Anak Bengkulu, “Cik Tau Tapi Cik Selow” yang berkonotasi introgatif.

Widuri, sosok wanita  berdua tapi dalam kesendirian. Tak pernah galau tapi selalu berusaha memegang biduk kehidupan rumah tangganya, agar gelombang tak menghanyutkan perahunya. Tapi aku sadar dan menebak, hanya berapa waktu Widuri  akan mampu bertahan memegang biduk sebelum patah atau kapalnya dihantam gelombang.

Hingga malam kian menjelang, aku belum mampu mengambil kesimpulan dari rasa ini, selain keharuan, setelah tahu apa yang terjadi pada sosok Widuri. Ingin rasanya aku membalut luka hatinya, meskipun aku belum memikirkan dengan pembalut apa akan membalut lukanya yang tercanik itu.

“Maaf bung, warung sudah mau tutup”, tegur Emak-Emak lenjaga warung dari balik estalase.

“Ups…Ya bu, berapa airnya mineralnya?”

Sembari menghitung Si Emak membuat aku bingung. “Air mineral delapan. Kacang lima, rokok dua bungkus. Jadi totalnya 120 ribu rupiah”.

Aku sempat terkejut. Ternyata tanpa sadar aku sudah belanja sebanyak itu. Mana duit di saku aku cuma Rp5000 lagi. Kekurangan pembayaran membuyarkan khayalku tentang Widuri. Cemas, binggung dan harus bagaimana menghantuiku.

Seakan sirna sosok Widuri yang gempal tapi cantik itu gara-raga makan dan minum tanpa sadar tadi. Untung kartu tanda penduduk bisa mengatasi semua ini. Si Emak di Taman  Nusa Indah itu baik hati dan hanya tersenyum mesem-mesem, entah apa yang ada dalam pikirannya.

Langkah bergegasku meninggalkan warung itu. Sembari teringat syair lagu Nusa Indah yang aku analogikan menjadi sosok Widuri, bila jodoh mempertemukanku nantinya.

Sembari berucap berbisik aku bersyair, “Widuri yang berwarna biru akan berubah warna merah jambu tumbuh di halaman depan rumahku. Ia akan menjadi kesenangan dan kesayanganku. Widuri yang kini di Taman Nusa Indah akan selalu aku puja, meskipun tak semerbak harummu, namun sejukku memandangnya”.

Teriknya Sang Matahari kota Bengkulu, aku berharap jangan membuat Widuri layu. Kencangnya  angin bertiup, janganlah akan menggugurkanmu. Gugurmu akan menyedihkan hatiku.

Syairkupun terhenti saat sekelompok anak nakal  di balik Pohon Kenina (Mahoni) meneriaki ku, “Mmmbooook…Mckldi….”, pekik mereka.

*Cerpenis tinggal di Bengkulu kota

 

Related

Dunia Sehektar di Negeri Marlborough

“ Gunung Yang Engkau Lihat Indah, Sesungguhnya  Tak Seindah Apa...

Torehan Pena Emak

Cerpen:  Benny Hakim Benardie Kata kunci hidup itu bergerak....

Cerpen: Rumah Bengkulu

Oleh: Benny Hakim Benardie Sewindu sudah negeri ini tak ramai...

Tekijang

Cerpen Benny Hakim Benardie “Masih Kecik Kudo Tembago. La Gedang...

Bukit Tapak Paderi Sepenggal Kenangan

“Tak tahu dan diam itu wajar. Bila tahu tapi...