Bukit Tapak Paderi di Bengkulu Kota Marlborough longsor, terkejutkah? Tidak juga. Tapi kalau bukit di areal Ujung Karang, Titik Nol Provinsi Bengkulu itu benar-benar sudah rata, mungkit baru terkejut dan pasti ‘ngejut-ngejut aja’.
Masih ingat 17 tahun nanlalu. Hanya karena ingin membangun jalan, Bukit Tapak Paderi mesti dibelah. Padahal bukit ini dulu sempat tempat peradaban dan dipuncaknya ada peninggalan Koloni Belanda. Salah satu situs bersejarah yang terabaikan. Mungkin itu tak penting dan ‘meningkan palak ajo’ bagi yang lagi berkuasa. Mungkin.
Situs bersejarah, tempat peradaban, titik nol provinsi, Obyek wisata punya value untuk daerah dan longsor. Pertanyaannya, kenapa tak cepat di antisipasi, agar longsor kian melebar. Pedulikah pemerintah daerah?
Selasa Malam (16/06) hujan deras menguyur Kota Marlborough. Bukit Tapak Paderi peninggalan Inggris itu tak sangup menahan resapan hujan. Longsorpun terjadi. Padahal hujan teras bukan pertama kali mendera kota ini. Police line segera dilakukan, tanpa statement dari pihak yang berkompeten untuk segera mengantisipasi kemungkinan kian parah. Kini Senin siang, (21/06).
Baru dan dulu. Doc SM
Kaki Rapat Kepala Simpan
Kemana pula kini para pengiat sejarah, budaya berada? Mungkin bersembunyi. Kaki rapat kepala simpan.
Masih ingatkan kita pada novel karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA) seorang budayawan, sastrawan dan ahli tata Bahasa Indonesia. Sosok yang menamatkan sekolah HIS-nya Bengkulu Kota Marlborough Tahun 1921 lalu. Ingat kita ilham novelnya yang berjudul “Tak Putus Dirundung Malang”, novel Tahun 1929 berawal dari Bukit Tapak Paderi ini.
STA bercerita tentang Kota Bengkulu hingga pelosok Negeri Bengkulu. Dia kenalkan Bengkulu dalam novelnya yang populer itu.
“Tak tahu dan diam itu wajar. Bila tahu tapi diam itu, itulah kezaliman”. Itu Cik katakan 5 tahun nanlalu.
Di era Tahun 70 hingga 80-an, usai shalat subuh, para bujang gadis dan anak-anak di Kota Bengkulu, berduyun-duyun menghirup sejuknya fajar menuju Bukit Tapak Paderi. Ditengah jalan, tampak garisan kapur tulis berbentu kotak, para remaja bermain “calabur atau sembar lakon”. Suatu permainan rakyat yang kini punah dihantam ego generasi taklid.
Masyarakat berjalan melingkar dibawah Bukit Tapak Paderi sembari bercengkrama, memandang deburan ombak dan lautan lepas yang tak ternilai indahnya. Mirip apa yang dilakukan Inggris dan Belanda saat masih menetap di Negeri Tanah Mati ini.
Anak-anak tampak bermain prosotan dari atas bukit hingga berguling-guling diatas rumput hijau, hingga mentari terbit sepenggalan menyapanya. Seolah-olah indahnya Bengkulu dengan generasi yang kala itu seperti statis didalam, dan dinamis saat diperantauan. Tampaknya kala itu generasi mudanya tak banyak tahu jelimet peninggalan sejarah yang ada disekelilingnya. Tapi mereka enggan pula merusak apa yang ada.
Di puncak Bukit Tapak Paderi ada monumen yang berdiri kokoh. Acap kali berebutan duduk disana, karena temat yang paling santai melihat laut lepas. Sedikit saja ada yang mau coret moret monumen, banyak teguran untuk pelaku yang iseng ataupun jahil.
Kini semuanya sudah bederai. Tahun 2000-an, Bukit Tapak Paderi tak seperti aslinya. Bukit itu telah dibelah dan diratakan oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu. Tak ada lagi jalan melingkar dan raun remaja di fajar menyinsing. Tugu monumen peninggalan Belanda itupun usai kena imbasnya.
Tugu atau monumen yang Cik maksud bernama The Orange Bank. Bangunan mirip mahkota ini dibangun Tahun 1905, untuk memperingati HUT ke-25 Yang Mulia Ratu Wilhelmina, Ratu Belanda kala itu.
Ingat, longsornya Bukit Tapak Paderi salah satu dari kekayaan di Provinsi Bengkulu yang tidak, lamban atau cuek dipertahankan. Belum lagi obyek kekayaan lainnya yang ada dari Kabupaten Mukomuko hingga Kaur. Untung bebetapa situs nasional dalam pengawasan Balai kepurbakalaan Jambi. Bila tidak, Benteng Marlborogh akan rata berganti hotel.
*Wartawan tinggal di Bengkulu kota