
Bengkulu, kupasbengkulu.com – Diskusi “kamisan” yang digelar setiap Kamis, pada Kamis (13/11/2014) oleh redaksi kupasbengkulu.com akan membahas soal kemiskinan. Dalam dua kali diskusinya kupasbengkulu.com telah membahas persoalan Bansos dan Festival Tabut.
(baca:Â Diskusi Kamisan: Bansos, Dana Ummat yang Harus Selamat)
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu, angka kemiskinan Provinsi Bengkulu hingga Triwulan ke II tahun 2014 masih tinggi, yakni mencapai 17,48 Persen atau sebanyak 320,95 Ribu warga yang tergolong miskin. Angka ini jauh tinggi diatas rata-rata angka kemiskinan nasional yang hanya 11 persen. Data ini paradoks dengan data pertumbuhan ekonomi Bengkulu yang berada di atas tujuh persen mengungguli pertumbuhan ekonomi nasional yang saat ini masih berada di posisi lima persen,” kata pengasuh diskusi “kamisan” kupasbengkulu.com, Meliani Sirait, Jumat (7/11/2014).
Kemudian lanjut dia, data dari versi BKKBN menunjukkan 16 ribu anak usia sekolah berusia tujuh hingga 15 tahun di Bengkulu tidak menikmati pendidikan. Alasan utama, karena ketiadaan biaya. Akhirnya, anak-anak itu terpaksa memilih untuk ikut membantu mencari nafkah keluarga.
Hal ini disampaikan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Bengkulu, Maryana, menurut dia tahun 2013 menunjukkan jumlah anak dengan kelompok umur 7-15 tahun yang tersebar di 10 kabupaten/kota Bengkulu, mencapai 318.384 anak. Sebanyak 16.679 anak diantaranya tidak pernah mendapatkan pendidikan atau tak bisa melanjutkan pendidikannya.
Kementerian Kesejahteraan Sosial (Kemenkesra) juga menambahkan, penduduk Provinsi Bengkulu masuk dalam kelompok termiskin di Sumatera pada peringkat kedua setelah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut Kepala Bappedda Provinsi Bengkulu Edi Waluyo hal tersebut berdasarkan masih banyak wilayah belum tersentuh listrik, jalur produksi belum baik, tingkat penghasilan yang masih rendah sehingga menyebabkan perekonomian memburuk (tempo.co).
“Data ini membuat kita pantas bertanya ada apa dengan Bengkulu? Disini terlihat adanya kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan. Selama ini berbagai program terus digulirkan untuk mengentaskan kemiskinan. Baik itu program nasional dan juga program yang rilis oleh pemerintah daerah kab/kota di Provinsi Bengkulu sendiri. Namun dimana letak kesalahan yang membuat permasalahan angka kemiskinan belum bisa menurun atau setidaknya selaras dengan pertumbuhan ekonomi Bengkulu yang gemilang,” beber dia.
Menurut teori makroekonomi, pertumbuhan ekonomi menunjukkan semakin banyaknya output nasional, dengan demikian akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sehingga pengangguran menurun serta kemiskinan pun menurun. ‘Tetapi ternyata di Bengkulu sendiri angka pengangguran bahkan meningkat 2,6 persen dari tahun 2013, 2,14 persen menjadi 4,74 persen pada tahun 2014.
Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan perekonomian di Bengkulu saat ini yang terpusat pada sektor pertanian yang berperan sebesar 37,58 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran 19,68 persen serta sektor jasa 16,99 persen’(bps.go.id) Belum mampu menyerap tenaga kerja dan pada akhirnya menjadikan inequality atau yang disebut dengan paradox of growth (paradoks pertumbuhan).
“Diskusi kamisan yang kami gelar ini dilangsungkan setiap hari kamis, sebagai bentuk usaha bersama untuk memberikan sumbangsih pada pembangunan Bengkulu,” jelasnya.
Diskusi ini pada hakikatnya terbuka untuk umum, siapa saja dapat ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini tanpa dipungut biaya. Kali ini menghadirkan akademisi Unib, Dr. Panji Suminar, Cucu Syamsudin, beberapa NGO dan Dinas Sosial Provinsi Bengkulu. “Mereka yang akan diundang saat ini masih dalam tahap konfirmasi, undangan akan disebar,” jawabnya.
“Caranya gampang saja datang saja ke kantor redaksi kupasbengkulu.com di Jalan Sadang IV, dekat kolam renang Intan Permata,” demikian Melian. (kps)