Minggu, Mei 5, 2024

Menjelang Launching MEA, Siapkah?

Nining Tr
Oleh
Nining Tri Satria, S.Si
Ko. Media Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Dewan Pimpinan Daerah I Provinsi Bengkulu

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan realisasi pasar bebas di Asia Tenggara yang sebelumnya telah dicanangkan dalam AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada tahun 1992. Pasar bebas ASEAN adalah gagasan World Trade Organization (WTO) yang bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, yang meniscayakan aliran barang, jasa, investasi, modal dan buruh terampil.

Tentu saja yang mampu memanfaatkan akses terbuka itu adalah negara, perusahaan dan individu yang memiliki daya saing tinggi. MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang diterapkan awal tahun 2015 nanti, akan menjadikan ASEAN seperti sebuah negara besar.

Penduduk di kawasan ASEAN akan mempunyai kebebasan untuk melanglang buana, masuk ke suatu negara dan keluar dari suatu negara di kawasan ASEAN tanpa hambatan berarti. Penduduk mempunyai kebebasan dan kemudahan untuk memilih lokasi pekerjaan yang dianggap memberikan kepuasan bagi dirinya. Pun demikian dengan perusahaan.

Perusahaan mempunyai kebebasan untuk memilih lokasi pendirian pabrik dan kantor perusahaan di kawasan ASEAN. Gambaran ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai MEA, yakni menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi dengan ciri adanya aliran bebas barang, jasa, dan tenaga kerja terlatih, modal, serta aliran investasi yang lebih bebas.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah Master Plan of ASEAN Connectivity (MPAC) yang menjadi acuan rencana aksi pelaksanaannya. MPAC tegak atas 3 pilar ASEAN Connectivity, yakni physical connectivity (pembangunan infrastruktur fisik), institutional connectivity (kelembagaan, mekanisme, dan proses yang efektif), dan people-to-people connectivity (penguatan antar-penduduk yang ditandai dengan peningkatan mobilitas masyarakat ASEAN).

Di Indonesia sendiri, upaya untuk menunjang ASEAN Connectivity ini dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Di halaman 39 MP3EI disebutkan dengan jelas bahwa “Pada tataran regional dan global terdapat perkembangan kerjasama lintas batas yang perlu diperhatikan terutama adalah komitmen kerjasama pembangunan di tingkat ASEAN dan APEC. Indonesia perlu mempersiapkan diri mencapai target integrasi bidang logistik ASEAN pada tahun 2013 dan integrasi pasar tunggal ASEAN tahun 2015, sedangkan dalam konteks global WTO perlu mempersiapkan diri menghadapi integrasi pasar bebas global tahun 2020.

Mencermati ketertinggalan Indonesia saat ini, perkuatan konektivitas nasional akan memastikan terintegrasinya Sistem Logistik Nasional secara domestik, terhubungnya dengan pusat-pusat perekonomian regional, ASEAN dan dunia (global) dalam rangka meningkatkan daya saing nasional. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan dari keterhubungan regional dan global (regionally and globally connected).”

Ini menunjukkan bahwa MP3EI memang khusus dirancang untuk mempermudah ASEAN Connectivity yang akan mempercepat terbentuknya integrasi pasar tunggal ASEAN di akhir tahun 2015 dan integrasi pasar bebas global yang dicanangkan WTO tahun 2020. Artinya inilah salah satu persiapan Indonesia untuk memasuki pasar bebas dunia.

Konsep MEA tidak dapat dipisahkan dari rencana pembentukan masyarakat ASEAN (ASEAN Community). Konsep itu dicanangkan dalam Visi ASEAN 2020 di Kuala Lumpur tahun 1997 dan diperkuat dengan pengesahan Bali Concord II pada KTT ke-9 ASEAN di Bali Oktober 2003. Selain MEA (ASEAN Economic Community/AEC), Masyarakat ASEA itu melingkupi Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community/ASC) dan Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Sosio-Culture Community/ASCC).

Ekonomi kapitalis yang menganut pasar bebas akan tumbuh dengan subur jika tidak ada gangguan keamanan yang berasal dari ideologi tandingan kapitalis (baca: Islam), seperti kasus terorisme ataupun separatisme. Oleh karena itu sejumlah agenda rencana aksi Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community/ASC) berusaha untuk mencegah dan mengatasi konflik, termasuk melakukan pembangunan politik yang demokratis.

Barat menamakan masyarakat yang damai dan stabil jika semua orang dapat berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari proses integrasi ASEAN tanpa memandang gender, ras, agama, bahasa atau latar belakang sosial dan budaya.

Demikian juga dengan pembentukan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Sosio-Culture Community/ ASCC). Melalui konsep itu masyarakat ASEAN diikat untuk memiliki standar nilai yang sama untuk menentukan benar-salah dan terpuji-tercela. Tentu saja standar bakunya bukan berasal dari nilai-nilai ketimuran, namun berdasarkan standar universal Barat. Untuk itu, negara-negara ASEAN juga harus mempromosikan dan mendukung pengarusutamaan gender, toleransi, menghargai keberagaman, kesetaraan dan saling pengertian.

Salah satu cara untuk memfasilitasinya adalah dengan mendirikan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) untuk mempromosikan hak asasi manusia. Tujuannya, agar semua masyarakat ASEAN saling peduli satu sama lain. Tidak hanya pada hak dan kesejahteraan kelompok yang kurang beruntung, rentan dan terpinggirkan seperti perempuan, anak-anak, orang tua, penyandang cacat dan pekerja migran, namun juga terhadap komunitas yang saat ini masih sulit diterima publik ASEAN seperti masyarakat atheis, penganut Ahmadiyah, Syiah ataupun kalangan LGBT yang memiliki orientasi seksual ‘aneh’.

Lalu, bagaimana dengan Bengkulu? sudah siapkah dengan kedatangan tamu yang bernama MEA ? sedangkan seperti kita ketahui bersama, bahwa untuk provinsi Bengkulu sendiri masih banyak sumber daya manusianya yang belum memiliki skill mumpuni untuk menghadapi persaingan MEA, masih banyak pengangguran terdidik alumnus universitas negeri maupun swasta. Mampukah menghadapi tantangan MEA yang sudah di depan mata? tidak menutup kemungkinan bangsa Indonesia, Bengkulu khususnya bisa-bisa menjadi anak buah di negeri sendiri karena tidak bisa dipungkiri bahwa MEA ini menguntungkan sebagian pihak tentunya pihak asing dan para kapital.

Perdagangan bebas akan membawa konsekuensi komersialisasi hajat hidup masyarakat. Bila negara ini menerapkan liberalisasi, berarti negara semakin lalai terhadap fungsinya sebagai raa’in (penjaga dan pelaksana urusan rakyat). Pengabaian peran dan fungsi penting pemerintah pasti mengakibatkan masyarakat makin sengsara harus harus membayar untuk mendapatkan layanan yang kualitasnya pas-pasan.

Akibatnya masyarakat akan terbiasa berpikir, jika ingin mendapatkan layanan prima maka mereka harus membayar lebih. Pada era MEA, ketika fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, pelayanan terbaik amat minim dinikmati masyarakat, sementara itu arus investasi, tenaga kesehatan mudah masuk, akan mendorong investor asing mendirikan Rumah Sakit-Rumah Sakit berkelas Internasional.

Minimnya rasa dedikasi tenaga kesehatan dan desakan kebutuhan hidup mendorong mereka berlomba-lomba bekerja di fasilitas kesehatan yang mahal. Akibatnya yang dapat memenuhi hajat pelayanan kesehatan hanya yang mampu membayar mahal. Si miskin harus siap merana dengan jatah pelayanan kesehatan kelas asal jadi.

Bahaya MEA bagi tatanan keluarga
Akibat yang paling berbahaya dari pasar bebas adalah dampak sosial yang bermuara tidak saja pada kehancuran keluarga, namun juga kehancuran peradaban. Saat beban hidup makin menyesak, setiap laki-laki ‘terpaksa’ menggadaikan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah keluarga.

Kesulitan mendapatkan akses pekerjaan menjadikan mereka rela melepas status terhormat sebagai kepala keluarga. Apalagi strategi massif pemberdayaan perempuan membuat kewajiban mereka beralih tangan. Wajar jika saat ini di dunia muslim, fungsi qowwam laki-laki menjadi perlahan-lahan tereduksi.

Ketika perempuan mandiri secara nafkah, mereka berani menggugat cerai suaminya jika suasana keluarga tidak lagi menyenangkan. Realitas inilah yang mendasari tingginya angka perceraian dari tahun ke tahun. Data Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4) menyebutkan lebih dari 60 persen perceraian terlebih dahulu dilayangkan pihak perempuan. Tak dapat dipungkiri jika secara tidak langsung rancangan pasar bebas kapitalistik mengusik, bahkan membawa kehancuran keluarga muslim.

Institusi terkecil dalam struktur kemasyarakatan yang seharusnya berperan dalam pembangunan peradaban rusak karena peran dan fungsi anggota keluarganya tak lagi selaras dengan tatanan Allah SWT, Sang Pengatur kehidupan. Keluarga terminal menjadi fenomena dimana keluarga hanya menjadi tempat sejenak melepas lelah, kemudian semua anggotanya tersibukkan kembali dengan kepentingan duniawi yang tak hendak berhenti.

Dampak MEA bagi perempuan
Sebagaimana watak ekonomi kapitalis yang eksploitatif, MEA juga menjadikan perempuan sebagai sumber pendapatan utama baik dari tenaga kerja ataupun pembelanjaan finansial sebagai hasil keringat mereka. Dampak langsung dari penerapan bebas adalah peningkatan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.

Apalagi Indonesia menjadi salah satu negara dengan peningkatan ketimpangan tercepat di kawasan Asia Timur. Selain keluarga miskin, 68 juta penduduk Indonesia rentan jatuh miskin dengan pendapatan hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga miskin. Guncangan ekonomi, seperti jatuh sakit, bencana, dan kehilangan pekerjaan, berpotensi membuat kelompok penduduk tersebut kembali jatuh miskin. Tentu saja yang menerima dampak ini secara langsung adalah kalangan perempuan.

Sehingga perempuan beramai-ramai memasuki dunia kerja dengan dalih mengamankan ‘asap dapur’ dan sekolah anak-anak. Keinginan ini disambut gembira oleh pengusaha yang lebih menyukai tenaga kerja perempuan, karena lebih ulet dan tidak rewel. Begitu pula dengan program-program untuk mengatasi kemiskinan kerap menjadikan perempuan sebagai aktor penting perubahan, seperti program UMKM. Yang diuntungkan dari mobilisasi perempuan dan generasi di dunia kerja tentu saja masih korporasi besar, bukan perempuan itu sendiri.

Apalagi jika perempuan itu berperan sebagai ibu. Konsekuensi logis yang harus dihadapi keluarga jika ibu-ibu mereka harus berangkat ‘mencari penghasilan’ adalah meninggalkan tanggung jawab sebagai pengurus rumah tangga, termasuk kewajiban melakukan hadlonah bagi anak yang masih membutuhkannya.

Fatalnya, pemerintah bukannya memastikan fungsi ibu berjalan optimal, namun justru menerbitkan aturan yang memfasilitasi fenomena mobilisasi pekerja perempuan. Peraturan Presiden RI Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif menyebutkan bahwa salah satu unsur dari pendidikan anak usia dini adalah penyediaan tempat pengasuhan anak berwujud Day Care /Tempat Penitipan Anak. Day care menjadi solusi praktis ibu bekerja dan penebus rasa bersalah ibu yang harus meninggalkan anak karena harus bekerja.

Kepunahan generasi juga bakal menjadi momok masa depan. Tuntutan karier membuahkan keinginan perempuan pekerja untuk menunda kehamilan, membatasi jumlah anak atau bahkan tak ingin memilikinya. Fenomena ini telah menimpa Jepang, Korea Selatan dan Singapura yang telah lebih dulu mengalami kapitalisasi.

Jepang mengalami penurunan kelahiran yang berkelanjutan sejak tahun 1970an hingga mengakibatkan kurangnya tenaga kerja pada tahun 1990an akibat berkurangnya penduduk usia produktif. Pada tahun 2006, tingkat kelahiran di Korea Selatan hanya 1,1 yang sekaligus menjadi yang terendah di dunia.

Sedangkan Singapura, pada awal 1990-an juga menghadapi masalah kekurangan tenaga kerja dan beban penduduk usia lanjut. Islam mengharamkan konsep pasar bebas yang dipropagandakan oleh Amerika dan negara-negara barat. Di samping secara faktual jelas-jelas merugikan, sejatinya kebijakan tersebut tidak lain merupakan implementasi dari konsep kebebasan memiliki (freedom of ownership) yakni kebebasan untuk memiliki dan menguasai berbagai jenis komoditi.

Padahal di dalam Islam konsep kemilikan telah diatur dengan jelas. Seseorang individu hanya berhak menguasai barang-barang yang masuk dalam kategori milkiyyah fardiyyah. Sementara untuk kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) dan negara (milkiyyatu ad daulah) berada di tangan pemerintah yang dikelola untuk kemaslahatan rakyat.

Di samping itu, pasar bebas pada faktanya merupakan alat bagai negara-negara kufur mampu mencengkram dan mengontrol perekonomian negeri-negeri Islam. MEA adalah strategi dari suatu sistem. Maka yang mampu melawannya adalah kekuatan sistem pula, bukan kekuatan kelompok apalagi kekuatan individu. Karena itu menegakkan sebuah sistem yang akan menata perekonomian dunia dengan cara yang tepat adalah suatu keharusan. Dan hal ini hanya bisa dilakukan ketika ada sebuah institusi yang akan menerapkan sistem ekonomi tersebut. Dan Islam yang diterapkan dalam sebuah Negara yakni Daulah Khilafah Islamiyyah dengan sistem ekonomi yang diridhoi oleh Allah.

Wâllah a’lam bi ash-shawâb.

Related

Wabup Rifa’i Tajuddin Apresiasi Pengurus HIMPAUDI Bengkulu Selatan

Wabup Rifa’i Tajuddin Apresiasi Pengurus HIMPAUDI Bengkulu Selatan ...

Gubernur Rohidin Puji Suku Rejang: Terbesar di Bengkulu, Miliki Aksara Sendiri

Gubernur Rohidin Puji Suku Rejang: Terbesar di Bengkulu, Miliki...

Pemdes Tebing Kandang Tetapkan Realisasi DD 2024 untuk Program Bedah Rumah

Pemdes Tebing Kandang Tetapkan Realisasi DD 2024 untuk Program...

LHKP PWM Bengkulu Launching Program “100 KadesMu”

LHKP PWM Bengkulu Launching Program “100 KadesMu” ...

Pimpin IMI Rejang Lebong, Yayan Siap Bangun Daerah Melalui Dunia Otomotif

Pimpin IMI Rejang Lebong, Yayan Siap Bangun Daerah Melalui...