
Rejang Lebong, kupasbengkulu.com – Suatu malam di bulan Januari 1949, iring-iringan kendaraan perang milik Belanda, Stoottroep mencoba masuk ke wilayah Kabupaten Rejang Lebong. Saat itu Batalyon STB 28, Pimpinan Kapten Arifin Jamil sudah bersiap menyambut iring-iringan kendaraan tersebut.
Berbagai ranjau darat (Landsmine), senjata api dan senjata tajam lainnya juga sudah bersiap sedari tadi. Malam itu, menjadi malam yang membara di Desa Mojo Rejo Kecamatan Selupu Rejang, atau biasa disebut sebagai Pematang Danau, karena letaknya dipinggir Danau Mas Harun Bastari (DMHB).
Peperangan tidak terelakkan, namun kemenangan besar menjadi milik tentara Indonesia. Stootroep Belanda tidak bisa berjalan, sedangkan pasukannya dibunuhi satu persatu. Senjata berat diberondongkan ke arah mobil perang dan menewaskan banyak tentara Belanda. Beberapa Tentara Belanda yang masih hidup lari kocar-kacir. Tapi kemenangan tersebut tidak berlangsung lama!
Esok siangnya, pasukan perang Belanda segera kembali untuk balas dendam. Puluhan pesawat terbang berkeliling diatas langit Rejang Lebong. Layaknya Elang yang mencari anak ayam. Kemudian rentetan peluru dihujamkan dari langit, seperti hujan. Tentu, dapat dipastikan berpuluh nyawa yang jatuh bertumbangan, terbanyak adalah rakyat sipil.
Kisah ini tertuang dalam buku Perjuangan Rakyat Rejang, tulisan Firmansyah atau yang biasa dipanggil Emong Soewandi. Kisah ini juga diabadikan lewat sebuah monumen di lokasi pertempuran, Pematang Danau.
Sebuah monumen yang diatasnya ada dua patung pejuang yang sedang siap mati di tanah perang. Sebuah monumen yang jelas menyiratkan semangat pantang menyerah para pejuang. Seorang pejuang menunjuk kearah musuh, sedangkan seorang lagi sedang menyiapkan mortir untuk menghancurkan sasarannya.
Tapi, yang memilukan adalah monumen ini sudah tampak tak terawat. Selain keadaan catnya yang sudah luntur, beberapa kerusakan di badan monumen. Tapi yang paling parah adalah, monumen ini ditumbuhi Ilalang.
Warga setempat, Budi (46) menyatakan, sejak dibangun awal tahun 2000-an lalu, hingga saat ini belum ada perawatan lebih lanjut terhadap monumen ini. Selain itu, sangat jarang sekali ada pengunjung Danau yang juga mengunjungi monumen ini.
“Seperti itulah dari ketika dibangun, sampai sekarang, sesekali sempat saya bersihkan,”ceritanya.
Setelah tugu perjuangan rakyat di Bang Mego sudah rata dengan tanah, apakah monumen perjuangan yang satu ini juga akan terlupakan dan hancur dimakan zaman. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi dengan monumen satu ini nantinya.
Penulis : Adhyra Irianto, Kabupaten Rejang Lebong.