Jumat, Maret 29, 2024

Panjat Pinang Mempertonton ‘Kesusahan’

Oleh: Benny Hakim Benardie

“Senang Melihat Orang Susah, Pertanda Negeri Itu Tidak Makmur”

Setiap  HUT Kemerdekaan RI, aksi panjat pinang acap kali dipertontonkan,  hampir diseluruh negeri di nusantara ini. Comangcomeng sekujur tubuh peserta, akibat minyak gemuk atau oli yang melumuri batang pinang. Perih, sakit dan memar di tubuh, konsekuensi yang harus diterima bila ingin menjadi peserta dengan hadiah yang beragam.

Di Provinsi Bengkulu, ulah seperti ini bukan hal baru. Sejak Belanda menguasai negeri ini pada abad ke-18, panjat batang pinang kerap dilakukan oleh anak negeri. sorak-sorai koloni Belanda melihat dalam kelucuan dan kebodohan yang ada. Untuk pertama kalinya, Panjat batang pinang dilakukan di   daerah Lebong Provinsi Bengkulu.  Para koloni Belanda saat  menguasai Bengkulu, orientasinya memang untuk daerah Lebong yang kaya raya. Para pejabat Belanda menyiapkan hadiah dan girang tertawa melihat anak bangsa bersusah payah meraih hadiah. Makin susah, makin asyik dipertontonkan.

Belanda  memperkenalkan aksi Panjat Pinang  sebagai bagian acara hiburan disaat acara  pernikahan, hari libur nasional atau hari ulang tahun. Pribumi yang kala itu banyak susah, akibat kemiskinan, mau saja melakukan., Tanpa sadar dipertontonkan dengan ketawa terbahak-bahak, melihat pribumi susah memanjat tinggi, karena licinnya batang.

Ironisnya, aksi panjat batang pinang tinggi licin ini, harus dilakukan anak negeri beramai-ramai, untuk mendapatkan keju, gula, tepung, dan pakaian di ujung batang. Bedanya dengan  zaman kini,  hadiahya lebih menarik lagi, tapi tertawa terbahak-bahak melihat pemanjat masih sama dilakukan para penonton. Filosofinya masih sama saja, “Kami  beri permainan,  kamu kasih kami hiburan” .

Falsafah apa yang dapat diambil oleh aksi panjat pinang itu? Beragam fiikran menanggapi hal ini. Mulai dari kekompakan dalam mengapai tujuan hingga cerminan  perjuangan dalam berkelompok.

Di pihak lain harus mengatakan, falsafah apapun dari aksi panjat pinang dapat kita urai. Yang jelas, pihak Belanda kalau itu  butuh hiburan dan tontonan. Anak negeri menjadi obyek kesenangan mereka. Sekarang tinggal kita saja yang berfikir  diatas keasyikan dan tertawa,  kita melihat itu semua.

Pemerhati sejarah dan budaya  tinggal Bengkulu

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis Mafia Tanah sudah menggurita dan telah...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...