Kamis, Maret 28, 2024

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis

Mafia Tanah sudah menggurita dan telah memakan korban banyak orang. Jeritan tangis para pencari keadilan yang tanahnya diserobot dan dirampas oleh para mafia, sepertinya tidak mampu menghentikan aksi keji para bandit agraria ini. Upaya negara untuk memberantas para mafia tanah seolah berhadapan dengan ruang gelap dan para beking. Persoalan mafia tanah telah menjadi ladang bisnis gelap baru yang berkelindan dengan dengan para mafia lain yang memegang otoritas atas tanah dan oknum penegak hukum. Maka, lengkaplah sudah bak sebuah kartel yang bekerja secara terstruktur, sistematis, dan massif. Disinilah perlu hadir “tangan besi” negara untuk menumpas habis para mafia tanah. Namun sebelum melakukan itu, maka “tangan besi” negara harus bersih terlebih dahulu dari mafia itu sendiri. Bahkan, Presiden Jokowi sendiri sudah cukup gusar dengan ulah sindikat mafia tanah ini, dan telah mengeluarkan instruksi tegas kepada Kepolisian dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) bekerjasama dengan stakeholder lain untuk menindak tegas para mafia tanah.

Modus baru para mafia tanah saat ini semakin canggih, dari sebelumnya dilakukan dengan cara-cara konvensional dengan pemalsuan dokumen hukum tanah seperti eigendom, girik, Surat Keterangan Tanah (SKT), SK Redistribusi Tanah, pemalsuan tanda tangan surat ukur, pendudukan secara ilegal atau tanpa hak (wilde occupatie), pemalsuan kuasa pengurusan hak atas tanah, dan hingga hilangnya warkah tanah.

Namun kini merambah dengan cara baru lewat proses peradilan dengan modus mencari legalitas hukum untuk melegitimasi penguasaan tanah milik orang lain. Disinyalir modus yang dilakukan para mafia tanah adalah dengan pura-pura mengajukan gugatan perdata atas obyek tanah (yang akan dikuasai tanpa hak) ke pengadilan bermodalkan dokumen tanah palsu, dan selanjutnya yang dijadikan sebagai pihak tergugat juga bodong (palsu).

Setelah gugatan masuk, disitu “permainan” akal bulus para mafia dimulai. Karena tergugatnya “bodong” pasti ketika dipanggil untuk mediasi dan bersidang, jelas tidak ada orangnya. Kondisi seperti ini sengaja dilakukan agar nanti hakim mengeluarkan putusan verstek (putusan karena tergugat tidak hadir di persidangan setelah dipanggil secara patut), yang mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya atau sebagian dan perintah eksekusi atas tanah menjadi obyek sengketa.

Menariknya, dalam proses eksekusi tanah tersebut pihak petugas tidak jarang “kecolongan” atau memang diduga merupakan bagian dari circle mafia ini, tidak memastikan terlebih dahulu apakah tanah yang menjadi obyek sengketa tersebut ada kepemilikan sah dari orang lain (bukan milik tergugat bodong dimaksud) atau tidak. Singkatnya, berdasarkan legalitas putusan pengadilan seperti inilah para mafia tanah melakukan penguasaan tanah milik orang lain untuk selanjutnya dijual dengan orang lain. Dimana pihak yang membeli tanah tersebut masuk dalam circle setan rantai perangkap para mafia. Disinilah persoalan akan semakin rumit dan runyam.

Untuk itu upaya memutus rantai mafia tanah ini harus dimulai dari hulu sampai ke hilir. Di hulu harus dilakukan upaya penegakan hukum yang tegas kepada para mafia tanah, dan di hilir juga perlu tindakan tegas kepada oknum yang ikut bermain baik di birokrasi maupun di lembaga penegak hukum. Soalnya, saya menyakini para mafia tanah ini tidak bermain sendiri tapi merupakan sebuah circle yang melibatkan pihak lain.

Sebagai informasi dalam artikel Majalah Tempo menyebutkan bahwa mafia tanah adalah dua orang atau lebih yang saling bekerja sama untuk merebut tanah yang bukan miliknya. Dalam menjalankan aksinya, mafia tanah banyak melakukan berbagai modus. Berbagai modus tersebut, antara lain melakukan pemalsuan dokumen, mencari legalitas di pengadilan, melakukan rekayasa perkara, sampai dengan melakukan kolusi dengan oknum aparat.

Menurut laman Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), mafia tanah hadir karena berbagai alasan, seperti rendahnya pengawasan, minimnya penegakan hukum, dan praktik jual beli tanah yang tertutup. Di samping itu, tanah menjadi salah satu instrumen investasi yang memiliki nilai ekonomi yang menggiurkan juga menjadi salah satu penyebab maraknya mafia tanah.

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...

Kutukan Sumber Daya Alam untuk Seluma dan Tak Siapnya Penguasa Lokal

Pembuka Bila kita mau membuka bacaan dari buku, tulisan di...