Jumat, Maret 29, 2024

Pemeo dan Mitos Melayu Bengkulu

Catatan  Pinggir Benny Hakim Benardie

Ada ungkapan lama yang mengatakan Orang Melayu Bengkulu  Pemalas dan tidak suka bekerja pontang-panting, sudah lama menjadi perbincangan. Ternyata itu mitos semata. Ungkapan, “Berre Secupak ikan Sejerek, Kopi Segelas, Rokok Sebatang……. Madaaar” melekat cukup lama berlangsung hingga Tahun 90-an.

Ungkapan atau pemeo itu pada kenyataannya memang tampak ada benarnya, bila kita tidak mengatakan serupa benar. Kenapa? Separuh masyarakat  Melayu Bengkulu dibawah Tahun 70-60-an, hidup melaut mencari ikan. Ini biasanya masyarakat pesisir pantai. Ada lagi yang hidup dari  berkebun, berladang. Hanya sedikit yang menjadi pegawai upahan penguasa.

Karena kala itu dibawah Tahun 60-an, segala kebutuhan makanan mudah di dapat, maka sebagian masyarakat hanya mencari ebutuhan hidup untuk hari ini saja. Untuk besok dan lusa, nanti dicarikan lagi. Saat melihat pendatang  perantau giat dalam berusaha, maka timbulah stigma pemalas itu.

Tentunya,  akibat  sosialisasi dan adaptasi  dengan belajar dari visi pendatang perantau,  banyak masyarakat termotivasi. Ditambah lagi dengan kemajuan zaman, modernisasi, dimana lahan berkebunan dan ikan dilaut mulai susah didapat.

Kalau sebelumnya mau ikan tinggal dipancing atau ditangkap di laut atau disungai, mau sayur dan buah-buahan tinggal mengambil di kebun atau diladang, lambat laun semua itu bergeser dan hilang menjadi bangunan.

Negeri Bengkulu  zaman dahulu  merupakan negeri kaya dan makmur. Karenaitu sebelum Inggris bercokol, pihak francis dan portugis abad 15 Masehi sudah lebih dahulu ingin menguasai negeri ini, dengan melirik hasil buminya.

Dampak dari kemajuan sejak koloni Belanda mulai bercokol aktif Tahun 1827 M dan membangun sarana prasarana, mengikuti jejak koloni Inggris, berlanjut era kemerdekaan RI, timbulah pemeo baru.

Tentunya ini timbul sejak banyaknya dimasyarakat yang saling akal-akalan, saling tipu menipu dan banyak pencoleng, maka pemeo yang populer kala itu, Bengkulu merupakan negeri “Lubuk Kecik Buayo banyak”. Kalimat itu terungkap, dari melihat banyaknya buaya di perairan Bengkulu kala itu.

Kini semuanya sudah berubah. Kemajemukan menimbulkan peradaban dan kebudayaan baru. Berbagai ungkapan atau pemeo coba dimunculkan ditengah masyarakat. Karena kesibukan, beban dan perjuangan  hidup intensitasnya  tinggi, pemeo baru tak dapat populer seperti dahulu.

    *Pemerhati Sejarah dan Budaya tinggal Bengkulu Kota

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis Mafia Tanah sudah menggurita dan telah...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...