“Orang gilo pacak diubek, tapi kalu idak tau malu! Abis akal kito”, ungkapan Melayu Bengkulu
Setiap kelompok dalam masyarakat pasti ada pemimpinnya. Tentunya ini penting agar teraturnya tatanan, tujuan dan capaian yang diinginkan pemimpin atau kesepakatan kelompok.
Berbagai pendapat pakar tentang apa definisidari pemimpin itu. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai kemampuan mempengaruhi sekelompok orang menuju pencapaian suatu tujuan. Apapun itu, kepentingan terbesar dari seseorang pemimpin, bagaimana kepentingan pribadinya, atau kepentingan dari kesepakatan kelompok dapat tercapai. Tentunya pemimpin yang dimaksud, diluar dari pemimpin keagamaan yang lebih besar memberikan motivasi pada kelompok atau umatnya.
Pertanyaan yang terbetik adalah, apakah pemimpin dalam kepemimpinannya merupakan kemampuan lahiriyah dan tulus seorang pemimpin karena dia memimpin? Apalagi saat ini mayarakat melihat realitas yang ada, paling tidak mendengar ada orang-orang yang berada dalam posisi kepemimpinan tetapi yang tidak memberikan dan menjalankan fungsi kepemimpinan. Meskipun hak memerintah tetap dijalaninya.
Ironisnya lagi, pemimpin yang tidak memberikan dan menjalankan fungsi kepemimpinannya itu, membuat masyarakat atau kelompok yang dipimpin, dalam istilah sosiologi disebut memiliki wewenang rasional atau legal. Wewenang yang disandarkan pada sistim hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Dampaknya apa, seorang pemimpin akan melakukan pembenaran, pembohongan (Mythomania) agar tetap dapat mempengaruhi massarakat atau kelompoknya. Tentunya bila ini berlangsung beberapa kali, maka kebohongan dari pemimpin itu berdampak secara psikis hingga pemimpin itu sendiri menjadi dan mempercayai dengan kebohongannya sendiri. Maka, berbohong dalam kepemimpinan menjadi kebiasaan, meskipun kebohongannya sudah diketahui masyarakat, namun tak ada rasa penyesalan ataupun, malu lagi dijiwanya. Iterasi itu akan terus berlangsung.
Itula dala ungkapan melayu bengku dikatakan, ““Kalu orang gilo pacak kito ubek. Tapi kalu idak tau malu! Abis akal kito”. Kalau orang gila bisa kita obati. Tapi kalau tidak tahu malu, maka kita keabisan akal menghadapinya.
Pemimpin yang acap kali berbohong seperti diungkapkan, maka pemimpin itu sudah terjangkit gangguan psikologis. Dia sendiri mulai mempercayai kebohongannya sendiri. Menjadi pemimpn yang tak bisa membedakan lagi mana yang fiktif dan mana yang nyata dari kehidupannya sebagai seorang pemimpin. Kebohongan menyebabkan pemikiran bersifat fantasi atau khayalan yang digabungkannya dengan dengan fakta yang ada dalam kepemimpinnyanya.
Anekdotnya, Pemimpin pengicu lebih berbahaya dari Covid19. Hanya saja, bukan kematian yang membuat masyarakat atau kelompoknya ketakutan, tapi pembodohan mental dengan pengikisan jiwa satria dari kelompok atau masyarakat yang dipimpinnya.
Pemimpin yang selalu berbohong, mythomania akan berjiwa bohong patologis (Kebiasaan berbohong yang kompulsif atau pikirannya berlebihan atau opsesi yang menyebabkan prilaku repetitif). Itulah mythomania, suatu keadaan dimana seseorang sering melakukan kebohongan dalam jangka waktu yang lama. Hampir seluruh hidupnya dipenuhi kebohongan.
Pemimpin seperti ini akan seringkali fly, berhalusinasi usai mengalami klimaks dalam berbohong. Saat tersentak, andai kebohongannya terungkap, maka dengan lugas ucapan permintaan maaf dilontarkannya, yang tentunya bertedensi menimbukan kebohongan baru lagi.
Meskipun awalnya tadi hanya mencari pembenaran, bukan untuk mencari keuntungan pribadi. Karena setiap kepemimpinan akan ada massanya, maka kepentingan pribadi (vested of interest) akhirnya yang diutamakan. Alasan deduktif ini penulis gunakan, tentunya hanya sebagai pembuka fikiran saja di era yang kompleks ini.
Falsafah Perintah
Pepatah Melayu mengatakan, “Raja Alim Raja Disembah. Raja Lalim Raja Disangah”
Apakah seorang pemimpin yang berbohong dal dilakukan pembenaran oleh kelompoknya merupakan perbuatan lalim atau salah? Tak ada pembenaran kelaliman dalam sosial kemasyarakatan dan politik sekalipun. Dalam konteks pemimpin dan yang dipimpin melakukan kebohongan, itu merupakan pengkhianatan dan berbahaya bagi kemaslahatan masyarakat umum. Menimbulkan kebodohan intlektual.
Seperti dalam tulisan sebelumnya, seorang pemimpin dalam kepemimpinan harus memiliki otoritas nalar. Ini merupakan filosofi peritah. Perintah yang diberikan seorang pemimpin, merupakan akibat dari suatu kepentingan yang harus dipenuhi kelompok atau masyarakat. Tentunya setiap perintah seyognyanya direnungkan esensinya sebelum dijadikan produk perintah agar terpapar kejelasannya.
Bukan perintah pemimpin yang membiarkan kelompok atau masyarakat menganggap setiap perintah itu merupakan sejenis isyarat yang berada diluar jangkauan pikiran-pikiran rata-rata kelompok.
Pertanyaannya, kenapa pemimpin memerlukan otoritas nalar sebagai pijakan filosofi perintahnya? Diakui, dalam memberikan perintah nala bukan satu satunya. Acapkali pemikiran sering terjadi kekeliruan, termasuk keinginan dan penempatan emosi seorang pemimpin.
Bila seorang pemimpin hanya mengandalkan kemampuan melihat saja atas perintah, kebijakannya, maka dapat mewujudkan puluhan kesalahan atau cacat atas perintah yang diambil. Itupun terjadi dalam otoritas nalar seorang pemimpin dalam memerintah mengunakan dasar deduksi untuk menarik kesimpulan ternyata salah.
Maka disinilah penulis bertanya dalam berfikir, apakah karena pemimpin kesalahan diatas karena kesalahan pemimpin dalam mengunakan akalnya secara salah dalan sejumlah kecil kejadian, lantas harus ‘menidurkan’ pikirannya dan kemudian mencegahnya dari berfikir untuk menentukan perintah? Tentunya tidak.
Perlu diingat, setiap alur penalaran itu dibentuk oleh dua bagian. Ini penting bagi seorang pemimpin, agar tidak terjerumus dan larut dalam kebohongan, yaitu esensi dan bentuk lahiriah. Untuk mendapatkan hasil perintah yang baik dan pantas, maka esensi dan bentuk tadi harus benar lebih dahulu.
Meminjam istilah logika filofos Aristoteles yaitu logika formal. Tugas logika ini sebelum memerintah, mengamati ketepatan dan dan ketidaktepatan konstruksi penalaran dari sebuah perintah seorang pemimpin. Termasuk membantu akal seorang pemimpin dari kemungkinan kesalahan disepanjang alur penalaran.
Dengan kompleksitas yang ada pada seorang pemimpin, ternyata memelihara ketepatan deduksi, logika formal saja tidak cukup. Ini salah satu aspek penjaga saja. Apalagi seperti ruetnya soal pengambilan keputusan intern pemerintah daerah. Sehingga beberapa perintah sering kali ‘gagal paham’.
Ternyata untuk memelihara ketepatan esensi deduksi itu, seorang pemimpin harus mengunakan logika esensial. Suatu standar untuk menyempurnakan kualitas subtansi pemikiran, sebelum perintah seorang pemimpin itu di ucapkan.
Ternyata memang berat mengemban amanah sebagai seorang pemimpin dalam menerbitkan perintah. Ada nalar dalam logika yang harus digunakan saat perintah diucapkanm diatas pertanggungjawaban moral.
*Dari berbagai sumber.