Jumat, April 19, 2024

Pemimpin dan Pembohong

“Orang gilo pacak diubek, tapi kalu idak tau malu! Abis akal kito”, ungkapan Melayu Bengkulu

Setiap kelompok dalam masyarakat  pasti ada pemimpinnya. Tentunya ini penting agar teraturnya tatanan, tujuan dan capaian yang diinginkan pemimpin atau kesepakatan kelompok.

Berbagai pendapat  pakar tentang apa definisidari pemimpin itu. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai kemampuan mempengaruhi sekelompok orang menuju pencapaian suatu tujuan. Apapun itu, kepentingan terbesar dari seseorang  pemimpin, bagaimana kepentingan pribadinya, atau kepentingan dari kesepakatan kelompok dapat tercapai. Tentunya pemimpin yang dimaksud,  diluar dari pemimpin keagamaan yang lebih besar memberikan motivasi pada kelompok atau umatnya.

Pertanyaan yang terbetik adalah,  apakah pemimpin dalam  kepemimpinannya merupakan  kemampuan lahiriyah dan tulus seorang pemimpin karena dia memimpin? Apalagi saat ini mayarakat melihat realitas yang ada,  paling tidak mendengar ada orang-orang yang berada dalam posisi kepemimpinan tetapi yang tidak memberikan dan menjalankan fungsi   kepemimpinan.  Meskipun hak memerintah tetap dijalaninya.

Ironisnya lagi, pemimpin yang tidak memberikan dan menjalankan fungsi  kepemimpinannya itu, membuat masyarakat atau kelompok  yang dipimpin, dalam istilah sosiologi disebut memiliki wewenang rasional atau legal. Wewenang yang disandarkan pada  sistim hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Dampaknya apa,  seorang pemimpin akan melakukan pembenaran, pembohongan (Mythomania) agar tetap dapat mempengaruhi massarakat atau kelompoknya. Tentunya bila ini berlangsung beberapa kali, maka  kebohongan dari pemimpin itu berdampak secara psikis hingga pemimpin itu sendiri menjadi dan  mempercayai dengan kebohongannya sendiri.  Maka, berbohong  dalam kepemimpinan menjadi kebiasaan, meskipun kebohongannya sudah diketahui masyarakat, namun tak ada rasa penyesalan ataupun, malu lagi dijiwanya. Iterasi itu akan terus berlangsung.

Itula dala ungkapan melayu bengku dikatakan, ““Kalu orang gilo pacak kito ubek. Tapi kalu idak tau malu! Abis akal kito”.  Kalau orang gila bisa kita obati. Tapi kalau tidak tahu malu, maka kita keabisan akal menghadapinya.

Pemimpin yang acap kali berbohong seperti diungkapkan, maka  pemimpin itu sudah terjangkit gangguan psikologis. Dia sendiri  mulai   mempercayai kebohongannya sendiri. Menjadi pemimpn yang   tak bisa membedakan lagi mana yang fiktif dan mana yang nyata dari kehidupannya sebagai seorang pemimpin.  Kebohongan menyebabkan  pemikiran bersifat fantasi atau khayalan yang digabungkannya dengan dengan fakta yang ada dalam kepemimpinnyanya.

Anekdotnya, Pemimpin  pengicu  lebih berbahaya dari Covid19. Hanya saja, bukan  kematian  yang  membuat masyarakat atau kelompoknya ketakutan, tapi pembodohan mental dengan pengikisan jiwa satria dari kelompok atau masyarakat yang dipimpinnya.

Pemimpin yang selalu berbohong,  mythomania akan berjiwa  bohong patologis (Kebiasaan berbohong yang  kompulsif atau pikirannya berlebihan atau opsesi yang menyebabkan prilaku repetitif). Itulah mythomania, suatu keadaan dimana seseorang sering melakukan kebohongan dalam jangka waktu yang lama. Hampir seluruh hidupnya dipenuhi kebohongan.

Pemimpin seperti ini akan seringkali fly, berhalusinasi usai mengalami klimaks dalam berbohong. Saat tersentak, andai  kebohongannya terungkap, maka  dengan lugas ucapan permintaan  maaf dilontarkannya,  yang tentunya bertedensi menimbukan kebohongan baru lagi.

Meskipun awalnya tadi hanya mencari pembenaran, bukan untuk mencari keuntungan pribadi. Karena setiap kepemimpinan akan ada massanya, maka kepentingan pribadi (vested of interest) akhirnya yang diutamakan. Alasan deduktif ini penulis gunakan, tentunya hanya sebagai pembuka fikiran saja di era yang kompleks ini.

Falsafah Perintah

Pepatah Melayu mengatakan,  “Raja Alim Raja Disembah. Raja Lalim Raja Disangah”

Apakah seorang pemimpin yang berbohong dal dilakukan pembenaran oleh kelompoknya merupakan perbuatan lalim atau salah? Tak ada pembenaran kelaliman dalam sosial kemasyarakatan dan  politik sekalipun. Dalam konteks  pemimpin dan yang dipimpin melakukan kebohongan, itu merupakan pengkhianatan dan berbahaya bagi kemaslahatan masyarakat umum. Menimbulkan kebodohan intlektual.

Seperti dalam tulisan sebelumnya,  seorang pemimpin dalam kepemimpinan  harus memiliki otoritas nalar.  Ini merupakan filosofi peritah. Perintah yang diberikan seorang pemimpin, merupakan akibat dari suatu kepentingan yang harus dipenuhi kelompok atau masyarakat. Tentunya setiap perintah seyognyanya direnungkan  esensinya sebelum dijadikan produk perintah agar terpapar kejelasannya.

Bukan perintah pemimpin yang membiarkan kelompok atau masyarakat menganggap setiap perintah itu merupakan sejenis isyarat yang berada diluar jangkauan pikiran-pikiran rata-rata kelompok.

Pertanyaannya, kenapa pemimpin memerlukan otoritas nalar  sebagai pijakan filosofi perintahnya? Diakui, dalam memberikan perintah nala bukan satu satunya. Acapkali pemikiran sering terjadi kekeliruan, termasuk keinginan dan penempatan emosi seorang pemimpin.

Bila seorang pemimpin hanya mengandalkan kemampuan melihat saja atas perintah, kebijakannya, maka dapat mewujudkan puluhan kesalahan atau cacat atas perintah yang diambil. Itupun terjadi dalam otoritas nalar seorang pemimpin dalam memerintah mengunakan dasar deduksi untuk menarik  kesimpulan ternyata salah.

Maka disinilah penulis  bertanya dalam berfikir, apakah karena pemimpin kesalahan diatas karena kesalahan pemimpin dalam mengunakan akalnya secara salah dalan sejumlah kecil kejadian, lantas harus ‘menidurkan’ pikirannya dan kemudian mencegahnya dari berfikir untuk menentukan perintah?  Tentunya  tidak.

Perlu diingat, setiap alur penalaran itu dibentuk oleh dua bagian. Ini penting bagi seorang pemimpin, agar tidak terjerumus dan larut dalam kebohongan, yaitu esensi dan bentuk lahiriah. Untuk mendapatkan hasil perintah yang baik dan pantas, maka esensi dan bentuk tadi harus benar lebih dahulu.

Meminjam istilah logika filofos Aristoteles yaitu logika formal. Tugas logika ini sebelum memerintah, mengamati ketepatan  dan  dan ketidaktepatan konstruksi penalaran dari sebuah perintah seorang pemimpin. Termasuk membantu akal  seorang pemimpin dari kemungkinan kesalahan disepanjang alur penalaran.

Dengan kompleksitas yang ada pada seorang pemimpin, ternyata memelihara ketepatan deduksi, logika formal saja tidak cukup. Ini salah satu aspek penjaga saja.  Apalagi seperti ruetnya soal pengambilan keputusan intern pemerintah daerah. Sehingga beberapa perintah sering kali ‘gagal paham’.

Ternyata untuk memelihara ketepatan esensi deduksi itu, seorang pemimpin harus mengunakan logika esensial. Suatu standar  untuk menyempurnakan kualitas subtansi pemikiran, sebelum perintah seorang pemimpin itu di ucapkan.

Ternyata memang berat mengemban amanah sebagai seorang pemimpin dalam menerbitkan perintah. Ada nalar dalam logika yang harus digunakan saat perintah diucapkanm diatas pertanggungjawaban moral.

*Dari berbagai sumber.

 

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis Mafia Tanah sudah menggurita dan telah...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...