kupasbengkulu.com – Aliran Sungai Beliti di Desa Lubuk Mumpo Kecamatan Kota Padang, Kabupaten Rejang Lebong mengalir deras seperti biasa. Permukaan air yang tampak tenang, namun mampu menyeret seekor kerbau bila air bah datang.
Suasana sepi bisa berubah menjadi amuk, bila mendadak ada hujan deras yang meninggikan volume air sungai terbesar di Kota Padang ini. Dari kejauhan, dua orang anak yang masih begitu belia bergelut dengan arus, bermodal sebuah “sampan” karya sendiri. Sebuah ban dalam besar, diberi pengait yang juga dari ban ditengahnya.
Nove namanya, salah satu dari dua anak yang saban hari menantang arus Sungai Beliti, untuk memungut batu. Siang itu, matahari masih belum begitu sampai ke tengah. Waktu masih menunjukkan sekitar pukul 11.03 WIB. Itulah kenapa hanya ada dua mahkluk kecil pemberani itu ditengah sungai.
”Kalau sudah sore, ada ramai yang mengumpulkan batu,” kisahnya.
Ia berdua dengan rekannya, Sahrul, sehari-harinya memang mengumpulkan batu menggunakan ban bekas itu. Selanjutnya, batu yang berhasil dikumpulkan dijual pada pengusaha bangunan di Kota Padang.
Ia begitu terbuka dalam bercerita, sehingga tak ada tabir rahasia menutupinya, meski ini baru pertemuan yang pertama. Ketika seang istirahat dari mengambil batu, ia terus bercerita, meski sekali-kali harus mengatur pernafasan dan mengelap tubuhnya yang basah dan berkeringat dibakar panas.
”Kami keluarga sederhana, jadi harus bantu ayah dan ibu cari uang, anak-anak didesa ini juga banyak yang mengumpulkan batu disungai, sekalian mandi,” kata Nove.
Pernah sesekali, air bah datang ketika mereka sedang berada di tengah sungai. Tentu mereka tidak bisa mengelak, lalu terseret arus sungai hingga hampir saja tenggelam. Namun, sekalipun ia tak pernah menyesal untuk melakukannya lagi.
Bahkan, yang disesalkannya adalah batu yang sudah ia kumpulkan hilang ditelan sungai, bukan nyawanya yang nyaris dikunyah arus deras.
”Kalau diseret arus, rugi, karena batu kita hilang,” ungkap dia.
Kalau batunya belum terjual, sedangkan keluarganya sedang tidak punya uang, maka mereka akan berhutang. Hutang akan segera dibayar apabila, batu-batu mereka sudah terjual.
Satu hal yang membuat penulis jadi begitu terpukau dengan bocah ini adalah, ia tetap sekolah. Hari ini, Sabtu (11/10/2014) kebetulan SD di desanya sedang pulang lebih cepat. Saat ini, ia duduk dikelas V SD, namun membeli baju, buku dan tas dari tumpukan batu. Tumpukan batu yang susah payah dikumpulkannya, dari dasar sungai Beliti.
Sementara matahari masih begitu tenang di peraduan, namun mulai mencondong kearah barat. Disaat itupula anak-anak desa lainnya mulai ikut berdatangan. Separuh dari mereka ikut mengumpulkan batu, sedangkan separuhnya lagi hanya bermain dengan air.
Saat itu pula, sekilas seklumit senyum bersambung tawa ceria dan hiruk pikuk anak-anak desa ini berpadu dengan kicau burung di tepi Sungai Beliti.
Penulis : Adhyra Irianto, Kabupaten Rejang Lebong.