Jumat, April 19, 2024

Puisi: Perdana

Mataku adalah awalan yang diajarkan untuk belajar,

melihat konkret sandiwara yang padat episodenya

Mataku jendela jiwa yang masih samar meraba,

terhalang sorot lampu benderang di dalam gelanggang.

Dan aku memulai perdana,

 

ketika kulihat bentuk sosok hawa, yang kupandang muka belakang

kiri kanan dan kutahu tentang cantik rupawan.

Tapi kugamang tentang cinta dan hati karena diriku belum mampu

berdiskusi tentang itu.

 

Kemudian,

aku amati ini bangsa dengan sejuta satu persoalannya dan mulai mataku

tersaji soal kaya miskin, soal intrik dan politik, soal kuasa dan dikuasai, soal sosial, budaya, pendidikan, mental, akhlak, dan saat ini

mataku melotot mulutku menganga di tahun politik.

Ternyata ada hajatan besar lima tahunan,

kali ini aku masih gamang makna demokrasi.

 

Mataku adalah awalan,

tatkala kulihat anak-anak tak bersepatu sekolah

hadir ditiap persimpangan jalan.

Berfestival solo song untuk merebut uang parkir para pengendara,

satu peristiwa lumrah akan nasib mereka.

Aku ragu untuk gamang, kuberikan satu lembar dua ribuan,

Imajinasiku coba selesaikan masalah.

 

Mataku adalah awalan,

melihat pasar dan pasar, dimana dulu tanganku takkan terlepas

dari daster ibuku, ketika bergerilya masuki lorong-lorongnya.

Namun kini tanganku hanya kugunakan untuk bersyukur,

karena interaksi manusia masih terjaga di dalamnya.

Namun berbeda dengan pasar-pasar baru.

 

Aku juga melihat, lembaga pendidikan resmi yang berisi calon-calon

manusia masa depan, otak mereka diisi ilmu pasti dan tak pasti.

Mataku juga melihat bahwa masih banyak saudaraku

yang belum kantongi kata layak tuk bisa bersekolah.

Guru-guru honorer diujung atau dibalik gunung sana

yang menyeberang sungai bergelut lembah demi pengabdian,

tapi honor mereka selalu tertunda.

Maka aku gamang lagi dengan sebuah kebijakan.

 

Aku melihat tapi seolah tak boleh melihat tingkah polah para koruptor,

yang rakus syahwatnya akan harta, tahta, sesekali wanita.

Tak berkedip mataku ketika melihat pemimpin rakyat unjuk gigi,

yang penuh basa basi berelektabilitas tinggi. Ruang kerjanya

jadi tempat angkat kaki, meja makannya ruang negosiasi,

percakapannya adalah strategi

dan menghasilkan kuitansi-kuitansi khayalan,

demi perkaya diri dan kroni.

Jujur aku gamang, tentang integritas.

 

Mataku juga terpana dengan peristiwa yang jadi tren pasar gelap

libido tingkat tinggi.

Aurat dipertontonkan layaknya manekin hidup,

pergaulan sang bebas tanpa batas memperanakkan simpul dosa.

Sesama jenis kodrati saling mencinta, bercumbu

dan junjung tinggi hak azazi.

Usia bukan masalah ada rupa ada harga.

Aku terperosok pada gamangnya sebuah akhlak.

 

Biji mataku juga saksikan devile pengangguran yang mengutuk nasib, ternyata lembaran ijazah tak mampu loloskan mereka

pada mimpi masa depan.

Yakin ku gamang pada pemerintah.

 

Mata ini teteskan airnya tatkala musibah dan bencana

memilu sayap hatiku.

Teriakan tolong menggaung, suami ditinggal istri, bapak hilang anak,

anak hilang ibu dan terus merajut pilu.

Gempa bumi, banjir, tsunami, letusan gunung, hutan terpanggang,

longsor menimbun hingga jatuhnya siburung besi

membuat menjadi-jadi air mata ini.

Aku gamang tentang nilai sebuah nyawa, kusapu air mata ini

dengan kain warna merah dan putih.

Aku berdoa untuk tidak melihat lagi, karena akan kucoba pahami

lalu mengerti bahwa hidup bukan sekedar mencari nasi

namun jauh lebih dalam bicara peduli dan mencari solusi.

 

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis Mafia Tanah sudah menggurita dan telah...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...