Kamis, April 25, 2024

Reinkarnasi

salah satu penampilan Adhyra dalam pentas teater
salah satu penampilan Adhyra dalam pentas teater

*Adhyra Irianto

Tidak ada yang salah dengan debur ombak hari ini. Semua tetap sama dengan deburan ombak kemarin, lusa kemarin sampai lima hari yang lalu, sesudah badai dan hujan deras berhias kilat dan petir yang menghantam batang kelapa menghajar pinggiran Pantai Panjang Bengkulu. Tetapi, sepi hari ini berbeda dengan kemarin.
Kemarin, lusa kemarin sampai lima hari yang lalu, setidaknya ada delapan orang anak kecil yang memainkan bola karet berwarna hitam putih di pinggir pantai ini. Bahkan, tiga hari yang lalu, pantai ini tak ubahnya seperti pekan seminggu sekali yang mengundang banyak orang datang berduyun-duyun.

Tapi hari ini tidak. Sepi yang paling sepi. Padahal, langit tak mendung, matahari dengan bangga dan percaya diri memamerkan sinarnya, dia terlihat mulai tenggelam di laut dan cahayanya berubah oranye, indah sekali. Angin pantai tetap kencang, tapi memberi sejuk pada tubuh yang dari tadi mulai matang dibakar surya. Air laut biru dan genit tak bisa diam, pasir tetap putih, dan sekarang mulai kecoklatan. Tampak alam seindah ini, mungkin bisa berubah esok hari menjadi badai yang preman. Tapi mengapa sepi?

Hanya ada dua orang di pantai sore ini. Si kecil Sukri, yang pasti selalu ada di sini, karena di sinilah mencari sesuap nasi. Yah, Sukri memanjat pohon kelapa dan menurunkan sebanyak-banyaknya kelapa muda. Lalu dijual pada orang yang bercengkerama dipantai setiap harinya.

Jangan datangi pantai pagi hari, karena Sukri sedang mencari kelapa untuk dijual. Apa lagi pagi-pagi sekali, bujang pendek berkulit gelap ini pasti masih terlelap bersama mimpi.

Kalian tidak akan menemukan Sukri juga tidak akan mencicipi air kelapanya yang jelas terbaik di seantero pantai ini. Pohon kelapa belakang rumah Sukri itu bibitnya di impor langsung dari Melanesia, kata ayah Sukri kepada pelanggannya dulu semasa sang almarhum masih hidup. Jadi, pelanggannya banyak, karena ingin minum air kelapa Melanesia.

Meskipun sebenarnya, sampai sekarang Sukri tidak pernah bertanya kepada ayahnya tentang keorisinilan fakta mencurigakan itu.
Orang kedua ialah sahabat baik Sukri. Dia seorang wanita yang sudah tua renta. Orang-orang biasa memanggilnya Nek Katri. Dia orang Jawa. Hari ini (dan kalau tidak salah dari tiga hari yang lalu), ia mengenakan baju yang sama, sebuah kebaya berwarna oranye kecoklatan, memakai kain dan sandal jepit.

Dia memakai baju itu terus dari tiga hari yang lalu, mungkin hanya satu itulah bajunya, atau dia punya banyak koleksi baju berwarna sama. Entahlah. Tapi, yang jelas kelihatannya Sukri suka sama sifat Nek Katri yang gigih dan pantang menyerah.

Dia menjual aneka makanan laut kecil, seperti ikan-ikan kecil, kepiting, cumi dan sebangsanya yang di tusuk ke lidi dan dia goreng sendiri pakai tepung bumbu. Yah, hanya mereka berdua dipantai sore ini. Sukri membawa dua puluh lima buah kelapa dan Nek Katri membawa senampan makanan laut yang ringan.

Dari jam dua belas siang tadi sampai sekarang di arloji Sukri menunjukkan jam enam kurang lima menit. Jam Sukri sangat akurat waktunya, berarti sudah dipastikan enam jam kurang lima menit mereka duduk disana.

Kelapa Sukri cuma laku satu dan pembelinya adalah nek Katri, sedangkan dagangan nek Katri sudah lenyap tiga tusuk, setusuk kepiting, setusuk cumi dan setusuk ikan-ikan kecil dan pembelinya tak lain adalah Sukri. Simbiosis mutualisme yang memprihatinkan.

Sebenarnya, keadaan pantai tidak sesepi yang terbayang. Keadaan sepi itu, bila dilihat dalam-dalam, ternyata hanya menimpa dua tokoh yang sedang berjuang melawan hidup itu saja, tidak lebih. Lebih puluhan pasang kekasih memadu kasih, puluhan jiwa sedang melatih diri dengan berlari penuh peluh, puluhan anak-anak berebutan sebuah bola kesana kemari dan sisanya tampak seperti perenungan diri yang dalam, bak meditasi.

Semuanya terlukis laksana siluet dibalik sinar kekuningan matahari yang tampak megap-megap ditengah lautan. Hampir ratusan umat sedang menikmati moment ketika matahari hilang keperkasaannya ditelan lautan. Seperti lampu yang perlahan padam, langit ikut gelap. Namun, apa tidak terasa dahaga? Bukankah kelapa muda yang dipetik Sukri sangat menarik nafsu insan berdahaga? Ikan-ikan kecil gurih dan garing milik Nek Katri, bukankah menggairahkan untuk dimamah? Apa yang salah dengan sore ini?

Sukri boleh mendamprat habis reklame di televisi, bahwa tubuh manusia terdiri atas ion-ion. Bila hilang, ion-ion itu dapat diganti dengan minum air kelapa muda. Namun, sudah disediakan yang instan, bahkan lebih berkelas. Wajar saja, kalau air kelapanya kalah saingan dengan air kelapa berkemasan.

Bukankah air kelapa miliknya tidak punya zat pengawet yang konon dapat membuat manusia menjadi mumi? Tidak ada pemanis buatan, semua buatan Tuhan? Fikiran itu terus berkecamuk di dada dan kepala kecil milik Sukri. Dapat diprediksi, semacam itulah yang ada di benak Nek Katri.

Dampratan tadi bisa pula dialamatkan ke bangunan besar yang menjulang dihadapan mereka. Konon, informasi yang disadap Sukri dari beberapa orang pelangganya yang pernah masuk kesana, meski panas tiada ampun diluar, didalam bangunan itu terasa begitu dinginnya “cuaca lokal”, bahkan memaksa pengunjungnya untuk menggigil. “Luar biasa! Seperti lemari es raksasa! Pantas saja kamu orang tidak selera minuman dingin alami punya saya!” gumam Sukri.

Memang perkembangan teknologi sudah sedemikian maju. Perkembangannya tidak dapat diikuti oleh mata biasa, terutama mata Sukri dan Nek Katri. Namun untuk memastikan kebenaran cerita itu, Sukri dan Nek Katri malu. Malu pada mobil-mobil yang berjejer dibelakang “bangunan besar nan ajaib” itu. Namun teriakan, canda, senda gurau sengau, musik dan tawa ratusan manusia dalam bangunan besar itu sudah sampai ke telinga Sukri dan Nek Katri. Menyayat tipis laksana sembilu, menusuk kuping hingga menuju ke puluhan kelapa muda dan udang tusuk yang belum disentuh mahkluk lain, selain lalat dan empunya sendiri.

“Mol, nek Katri, namanya Mol! Orang banyak nulisnya pake huruf A tambah El dua buah, tapi bacanya Mol. Jangankan udang dan kelapa muda, bibitnya pun dijual disitu, tidakkan menang kalau hendak saingan!” seru Sukri, buyarkan lamunan dan tatapan kosong perempuan renta dihadapannya.

“Penjajah dulu pakai meriam, kita pakai bambu runcing. Toh, kita merdeka dibuatnya!” balas Nek Katri tak kalah sengit.
“Ini bukan masalah meriam lawan bambu runcing, nenekku tercinta,” sahut Sukri dengan nada yang diayun-ayun. Memang, bagi Sukri yang tinggal sebatang kara, Nek Katri langsung dibaiatnya menjadi Nenek kandungnya sendiri.

Ibunya meninggal ketika melahirkannya, ayahnya menyusul ketika usianya menginjak 12 tahun. Demikian pula Nek Katri, dengan “terpaksa” secara tidak sengaja, namun diplomatis, mengangkat Sukri sebagai cucunya. Dengan demikian, secara emosional, terciptalah hubungan bilateral yang baik antar kedua insan ini.

“Jadi, kalau bukan bambu runcing melawan Meriam! Ada analogi yang lebih relevan?” Tanya Nek Katri pasti.

Sukri terdiam sesaat. Bukan karena tidak ada jawaban, namun terkejut dengan bahasa Nek Katri yang tiba-tiba terbang melayang diatas awan. Televisi! Nek Katri yang diam-diam suka infotainment ini pasti secara sembarang mengutip kata-kata artis yang secara mengejutkan sudah menjadi politisi.

“Nek, ibarat kita ini capung, mereka itu pesawat. Tabraknya sedikit saja, selesai nyawa kita nek,” lirih seperti bersenandung jawaban Sukri. Nek Katri termangu.

Sukri patut berterima kasih pada kalender. Hari ini, hari terakhir ditahun 2012. Pantai panjang Bengkulu diserbu ribuan umat manusia dari berbagai penjuru mata angin. Imbasnya, meningkatnya trafik penjualamn komoditas utama Sukri, air kelapa muda dari Melanisia. Hari itu, hampir tiga kali, Sukri memanjat pohon kelapa belakang rumahnya.

Secara komulatif, delapan pohon kelapa miliknya tuntas menghasilkan rata-rata 30 butir kelapa muda. Berarti, 240 butir kelapa hari itu dilepas Sukri ke pasaran sejak kemarin siang. Sekarang, sudah mendekati momen hilangnya keperkasaan matahari ditelan lautan Hindia terakhir di tahun 2012, tinggal 12 butir kelapa saja! Hari itu, hari dimana Sukri merasakan menjadi orang kaya.

Tapi, dimana Nek Katri? Kemana Sukri harus berbagi kebahagiaannya hari ini, kalau tidak ada sosok nenek angkatnya itu? Sukri mencoba berfikir positif.
Dengan uang banyak ditangan dan kantung celananya -kiri, kanan dan belakang-, Sukri akhirnya mencoba hal yang baru, yang belum pernah dilakukannya sebelumnya. Masuk ke bangunan besar nan ajaib yang berdiri dihadapannya. Semakin dipercepat langkahnya untuk bergegas pulang, dengan sisa 12 butir kelapa untuk persiapan malam nanti. Perayaan tahun baru bersama nenek angkatnya yang tercinta, Nek Katri.

Sekarang, Sukri sudah ada dihadapan bangunan besar nan ajaib itu. Langkah kaki kanannya baru saja menyentuh lantai keramik pualam pertama di bangunan itu, tiba-tiba angin dingin dari AC bangunan itu menerpa wajah dan tubuhnya.

“Benar, dingin sangat didalam bangunan yang dibilang Mol dengan huruf A dan L dua buah ini. Ajaib,” seru Sukri hampir berteriak karena takjub. Kegiatan aneh Sukri ini sempat memicu hasrat untuk mengumpat dari satu keluarga yang kebetulan baru saja keluar dari bangunan itu. Bahkan, anak gadis dari keluarga itu langsung menanyakan hal yang mengiris hati Sukri.

“Orang itu udik ya, Ma,” ungkap si Gadis kecil pada orangtuanya. Untungnya, Sukri tidak begitu mendengar kalimat itu. Untung yang kedua, Sukri tidak paham benar apa itu arti kata “Udik”.

Sukri sekarang berada ditengah-tengah bangunan besar nan ajaib itu dengan mulut ternganga. Matanya terbeliak melihat 4 buah tangga yang bisa berjalan sendiri. Tentu saja, benda itu mengundang hasrat Sukri untuk mencobanya. Dipercepat langkahnya menuju tangga ajaib itu, namun menjadi lebih lambat ketika sampai didepannya. Selain tidak tahu kaki mana yang harus diletak terlebih dahulu, mentalnya pun belum siap untuk menerima kenyataan ini.

Setelah lama berfikir, Sukri memejamkan matanya kemudian menarik nafas panjang. Setelah itu, dengan mantap menginjakkan satu kakinya dianak tangga ajaib itu dan disusul kaki sebelahnya. Tubuhnya sempat terguncang dan gemetaran sesaat, namun berbekal kemampuan menyeimbangkan diri yang tinggi, berkat kepiawaannya bagai Beruk memanjat pohon kelapa, Sukri kini sadar dirinya sedang berjalan sendiri diatas tangga nan ajaib itu.

Seakan terbawa suasana, Sukri menyelunjurkan dua tangan kedepan dan membiarkan baju belakang mengayun tertiup angin. Laksana Superman yang terbang melintasi awan. Tanpa disadarinya, perbuatannya tadi telah memancing tawa dari sepasang kekasih yang tepat ada dibelakangnya.

Sudah lebih dari setengah jam Sukri bekeliling dilantai dua bangunan besar itu. Namun, belum ada satupun benda belanjaan yang dibelinya. Bukan karena tidak berselera, tapi karena bingung memilih dari ribuan benda yang dijual di Mall itu. Akhirnya, mata Sukri terpaku pada terompet berbentuk naga yang dijajakan didalam pusat perbelanjaan itu.

“Tahun baru, orang pasti meniup terompet. Untukku satu, untuk nek Katri satu. Pasti nenek bahagia bukan kepalang,”ungkap Sukri dalam hatinya. Benar saja, setelah sempat terjadi proses tawar menawar harga, Sukri akhirnya memboyong dua buah terompet penuh warna berbentuk naga itu. Ditambah sedikit kembang api berkawat, serta makanan dan minuman instan yang selama ini terus mengalahkan barang dagangannya dan Nek Katri. Malam tahun baru ini pasti jadi indah.

Sebelum bergegas keluar dari Mal, Sukri juga menyempatkan diri membeli sebuah topi berwarna biru khas jeans dan sebuah kacamata hitam. Sukri sempat menonton film India dirumah Nek Katri, ketika tokoh utamanya keluar dari mobil sport harga selangit menggunakan topi warna biru dan kacamata hitam. Aduhai, keren sekali. Sukri yang melangkah keluar dari Mall itu dengan topi warna biru dan kacamata hitam kembali mengundang tawa dari beberapa orang yang berpapasan dengannya dari Mal. Sebuah kata asing, -udik- kembali mewarnai telinganya. Untungnya, Sukri masih sama dengan Sukri satu jam yang lalu. Belum paham benar arti kata Udik.

Tak tahan Sukri ingin cepat kerumah Nek Katri. Selain merayakan tahun baru secara sederhana dengan satu-satunya orang yang dianggap keluarganya itu, ada hal yang lebih penting yang hendak Sukri bagikan pada neneknya. Pertama, memperlihatkan betapa kerennya topi warna biru dan kacamata hitam khas aktor Bolliwood yang menyihir Sukri dan Nek Katri beberapa waktu yang lalu.

Satu hal lagi yang terpenting, betapa heroiknya petualangan Sukri menembus pintu bangunan besar nan ajaib dan menginjakkan kakinya ke tangga berjalan. Kali kedua nanti, Sukri ingin Nek Katri ikut dengannya, bila perlu ikut naik bolak-balik dengan tangga berjalan. Tentu saja, sambil menyelunjurkan dua tangan kedepan dan membiarkan baju belakang mengayun tertiup angin. Laksana Superman yang terbang melintasi awan.

Sampai di depan rumah Nek Katri, rumah sederhana nan mungil namun terjaga dari kotoran. Jangan berharap akan digigit nyamuk dirumah nek Katri, karena tak ada sampah menumpuk dan genangan air kotor disekitaran rumahnya. Sampai didepan pintu besar yang susah dibuka dan ditutup dirumah Nek Katri, Sukri mengetuk tiga kali sambil mengucapkan salam. Tidak ada jawaban dari salamnya, malah sayup-sayup terdengar rintihan nenek berusia hampir 8 dekade itu.

Seketika, Sukri mencari celah hingga mencoba untuk mendobrak pintu itu. Seperti jagoan India yang dapat membuka pintu dengan sekali hentakan kaki, Sukri mencoba membuka paksa pintu. Namun, jauh panggang dari api, kaki Sukri justru terkilir dan tak ada yang berubah dari pintu itu.
Langkah selanjutnya, Sukri berlari berkeliling sekitar untuk meminta tolong. Persis seperti cerita Siti Hajar yang mencari air di Gurun. Langkah Sukri berbuah gemilang, puluhan warga sekitar berbondong kerumah Nek Katri. Pintu dapat dibuka, meski secara paksa.

Didalamnya, Sukri dan warga sempat terperanjat melihat keadaan nek Katri yang sangat kritis. Beberapa warga menghubungi Rumah Sakit terdekat, disusul datangnya mobil putih khusus pasien beberapa waktu kemudian. Warga mengangkat Nek Katri keatas kereta dorong dan menaikkannya ke atas mobil bertuliskan Ambulance terbalik itu. Namun Sukri, masih terperanjat.

Tangan Sukri ditarik oleh beberapa pemuda naik pula keatas Ambulance untuk ikut kerumah sakit. Sepeminum teh kemudian, Sukri sudah berada di atas mobil ambulance yang melaju cepat dijalan Kota Bengkulu menuju Rumah Sakit. Didalam ambulance, Sukri yang dari tadi masih terdiam, tiba-tiba pecah tangisnya. Bukan karena gagalnya acara tahun baru yang sudah dipersiapkannya secara matang.

Bukan pula karena batalnya bercerita tentang petualangannya di bangunan besar nan ajaib tadi siang. Jelas, bukan pula karena tidak berhasil membuat Nek Katri tertegun melihatnya bertopi biru dan berkacamata hitam. Tapi, rasa takutnya akan ditinggalkan oleh Nek Katri, keluarga yang dimilikinya satu-satunya.

Saat itulah Sukri baru sadar betapa besar cintanya pada nenek 80 tahun itu. Meski renta, masih ada semangat mengarungi hidup dan tidak menyerah pada keadaan. Para pemuda yang ikut  mengantar Nek Katri dalam ambulance ikut menetes airmatanya. Salah seorang diantaranya memeluk Sukri untuk meredakan tangisnya. Sementara itu, suara sirine ambulance disepanjang jalan seakan-akan juga ikut merasakan kesedihan itu.

Di Rumah Sakit, Nek Kari cepat mendapatkan perawatan intensif. Sukri hanya dipersilahkan duduk diruang tunggu sambil terus berusaha membuat airmatanya berhenti mengalir. Usahanya tak berhasil, air mata itu terus mengalir. Tiba-tiba, seorang perempuan berbaju putih keluar dari ruangan tempat Nek Katri dirawat. Wajahnya sedikit murung, tanda menyimpan sejuta penyesalan. Menatap Sukri dan beberapa pemuda warga sekitar kemudian menghambur ke arahnya dan menyerang dengan puluhan pertanyaan bak wartawan, sang Dokter kembali tertunduk.

“Maafkan kami, sudah kami upayakan yang terbaik, namun gagal ginjal nenek kalian suda terlalu terlambat untuk diantisipasi. Ditambah lagi dengan komplikasi berbagai penyakit lain. Nyawanya tidak bisa diselamatkan lagi,”ungkap sang Dokter lirih.

Mendengar hal itu, Sukri tak bisa lagi menguasai dirinya. Tepat pukul 21.00 WIB, hari terakhir di tahun 2012, Nek Katri menghembuskan nafas terakhir. Sukri menyambut berita itu dengan menangis sekeras-kerasnya. Suasana Rumah sakit menjadi hening, selain tangisan Sukri dan isak tangis para pemuda.

Suasana tambah hening lagi ketika jenazah almarhumah dibawa keluar dari ruangan kemobil ambulance. Kembali, sirinenya mengiringi perjalanan pulang Nek Katri. Pulang dalam arti yang sebenarnya. Pulang yang sepulang-pulangnya dan tak akan kembali.

Hari-hari berjalan biasa. Awal tahun 2013 terasa sama dengan tahun-tahun yang sebelumnya. Bahkan tahun itu juga sudah berjalan beberapa bulan, sepeninggal Nek Katri. Semuanya terasa sama saja. Tapi tidak bagi Sukri. Hilang semangatnya untuk hidup. Sore itu, ketika moment yang sebelumnya sering dihabiskannya bersama Nek Katri, ketika matahari kehilangan keperkasaannya dan tenggelam ditengah lautan, Sukri bersama beberapa butir kelapa muda yang masih tersisa duduk menghadap laut.

“Cobalah Tuhan, Nek Katri bisa hidup kembali. Aku tiada berkawan, tiada bersanak, sendirian Tuhan,” doa Sukri.
“Loh, mana bisa orang yang sudah meninggal hidup kembali? Paling-paling renkarnasi menjadi bentuk lain, kata guru saya dulu,” ungkap seorang gadis mungil dibelakangnya.

Sukri terkejut. Benar-benar terkejut. Siapa sangka kalau doa yang dia haturkan tadi diungkapkannya dengan keras. Seorang gadis mungil yang tadinya berhasrat membeli kelapa mudanya justru terkejut mendengar doa yang tidak masuk akal dari Sukri. Wajah gadis itu, mengingatkan dirinya pada seseorang. Lama Sukri berfikir keras, namun terhenti sejenak karena tangan gadis mungil itu melambai-lambai tepat sejengkal didepan matanya.

“Bang, mau beli kelapa muda. Berapa ya?” Tanya si gadis mungil.
“Lima ribu saja dek,”jawab Sukri sambil terus berfikir keras.
“Beli tiga ya, bang,” sambil memberikan selembar uang Rp. 10 ribuan dan selembar Rp. 5000.

“Del, renkarnasi itu apa?” Tanya Sukri sekenanya.
“Dalam kepercayaan beberapa agama, seseorang yang meninggal bisa hidup lagi tapi menjadi makhluk lain. Selanjutnya..,”kata-kata si gadis mungil terhenti oleh bunyi klakson motor Ayahnya yang sedari tadi menunggu dipinggir jalan.

“Besok saya kesini lagi kok, mau lihat Sunset, kami baru pindah dari Curup, jadi jarang lihat sunset, terima kasih ya Bang,” ungkap si gadis kemudian dengan tergesa berlari menuju motor ayahnya.

“Dek, “Siapa namamu?” teriak Sukri dari kejauhan.
“Katrina, sampai jumpa besok yah,” si Gadis sudah diatas motor dan segera berlalu.
Katrina? Curup? Wajah yang hampir mirip? Suka melihat matahari terbenam? Suka minum air kelapa muda? Tidak mungkin kebetulan! Renkarnasi, yah kata-kata baru dalam pembendaharaan kata dalam otak Sukri itu langsung berkeliling seperti taksi diotaknya.

Jangan-jangan, Nek Katri benar-benar renkarnasi menjadi seorang gadis mungil. Seraya menghirup nafasnya panjang, Sukri tersenyum.

“Nek Katri belum meninggalkanku, dia renkarnasi, pasti! Karena dia juga menyayangiku, ah… aku tidak sabar menunggu matahari terbenam besok,”ungkap Sukri dalam hati. Dapat dipastikan, topi warna biru dan kacamata hitam khas bintang bolliwood akan menempel di kepala Sukri esok harinya. Tentu, cerita keperkasaannya menaklukan bangunan besar nan ajaib, serta naik tangga berjalan akan dihafalkannya malam ini

Curup, Februari 2013.

*Penulis adalah pelaku seni yang juga wartawan kupasbengkulu.com wilayah, Bengkulu Tengah

Related

Cerita Sedih Irma June Dibalik Lagu Do Your Best yang Jadi Theme Song From Bali With Love

Kupas Musik - Kemerduan vokal yang dimiliki penyanyi legendaris...

AM Hanafi Sang Perlente Kawan Soekarno yang Disambut Fidel Castro

AM Hanafi (kiri) bersama Fidel Castro (kanan), Foto: Dok/margasarimaju.com AM...

Menjadi yang Terbaik Tak Perlu Menjatuhkan Pihak Lain

Inspiratif, kupasbengkulu.com – Seorang Guru membuat tangga 10 injakan, lalu...

Beni Ardiansyah Direktur WALHI Bengkulu Terpilih ” Keadilan Itu Harus Direbut”

Kota Bengkulu,kupasbengkulu.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu...

Otna Pilih Hidup Diatas Sampan Reot dan Air Payau Daripada Hidup Menjadi Budak

Kota Bengkulu,Kupasbengkulu.com -  Petang itu suasana di sudut Pesisir...