kupasbengkulu.com – Dampak dari kelangkaan pupuk bersubsidi, seperti Urea, Phonska, dan SP36, makin dirasakan oleh petani di Kota Bengkulu. Salah satunya, Mawarni (42) dari Kelompok Tani Sekotong yang sehari-hari mengelola sawah padi Cekongah yang berada di jalan Danau Dendam Tak Sudah.
Menurut Mawarni, kondisi ini justru telah dirasakan hampir sepuluh tahun terakhir. Namun tak juga ada solusi berarti yang diberikan pemerintah.
“Sudah lama pupuk subsidi ini langka. Bisa dibilang hampir sepuluh tahun terakhir. Terkadang kami harus berebut pupuk dengan sesama petani. Paling hanya dapat sedikit tiap stok pupuk datang,” ujar Mawarni, Selasa (13/05/2014)
Lelaki yang sudah menjadi petani sejak dua puluh tahun lalu ini mengaku biasa membeli pupuk bersubsidi jenis Urea dengan harga Rp 125 ribu per sak, SP36 Rp 140 ribu per sak, dan Phonska Rp 130 ribu per sak. Dirinya mengaku keberatan bila harus membeli pupuk non subsidi yang harganya jauh lebih tinggi.
“Kalau kami harus membeli pupuk non subsidi, harganya sangat mahal dan kami tidak sanggup. Bisa mencapai Rp 300 ribu per sak,” katanya.
Untuk menanggulangi kelangkaan pupuk ini, Mawarni dan petani lainnya terpaksa harus menggunakan pupuk buatan, seperti pupuk kompos dan pupuk kandang. Namun menurutnya hal itu berpengaruh pada hasil panennya.
“Pernah beberapa waktu lalu karena susahnya mendapatkan pupuk, hampir semua petani di daerah ini tak dapat pupuk. Alternatifnya kami pakai kotoran hewan, namun hasilnya kurang maksimal. Kalau memang masalah pupuk ini bersumber dari pemerintah pusat, kenapa tidak ditangani dengan cepat. Kondisi ini kan sudah bertahun-tahun. Apa tidak bisa memproduksi pupuk lebih banyak lagi?. Kalau petani maju kan pemerintah juga yang senang,” pungkasnya.(val)