
kupasbengkulu.com – Kemarau dan bencana asap ditanggapi beragam masyarakat, belakangan muncul  ajakan melalui pesan berantai di Blackberry Messenger dan media sosial lain.
“Sediakan baskom air yang dicampur garam dan diletakkan diluar rumah, biarkan menguap, jam penguapan air yang baik adalah sekitar pukul 11.00 s.d jam 13.00, dengan makin banyak uap air di udara semakin mempercepat kondensasi menjadi butir air pada suhu yang makin dingin di udara,” demikian bunyi pesan berantai.
Dalam pesan berantai itu, dijelaskan juga secara singkat proses terjadinya hujan melalui rekayasa sederhana tersebut.
“Dengan cara sederhana ini diharapkan hujan makin cepat turun, semakin banyak warga melakukan ini dimasing-masing rumah, ratusan ribuan rumah maka akan menciptakan jutaan kubik uap air di udara,” lanuut pesan itu. “Mari kita sama-sama berusaha untuk menghadapi kabut asap yang makin parah.”
Menyikapi ajakan pesan berantai tersebut, Peneliti Meteorologi Tropis BPPT, Dr. Tri Handoko Seto mengungkapkan, dari sisi partisipasi masyarakat, dirinya merasa senang. Hal itu menunjukkan kepedulian tinggi masyarakat terhadap bencana asap yang sedang terjadi.
Namun demikian, dari sisi teknis hal ini sangat jauh panggang dari api. Satu ember air tiap rumah dan bila ratusan ribu rumah melakukannya maka akan ada jutaan meter kubik uap air, itu tak mungkin.
“Dengan asumsi satu ember sama dengan 10 liter air maka total air yang hendak diuapakan hanya ribuan meter kubik. Diperlukan ratusan juta ember untuk mendapatkan jutaan meter kubik. Itu pun jika semua air yang ditempatkan di ember menguap semua. Dan dipastikan tidak akan mungkin,” kata Tri Handoko, Sabtu (12/9/2015).
Menurutnya, proses terjadinya hujan bukan merupakan mekanisme mikro seperti yang disampaikan dalam pesan berantai tersebut. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi agar hujan terjadi. Selain penguapan yang besar, perlu pola angin tertentu sehingga uap air bisa terkondensasi di suatu wilayah.
“Tentu saja ini terkait dengan kondisi cuaca skala luas. Keberadaan gunung bisa saja mengakibatkan terbentuknya awan, tetapi untuk menjadi hujan juga perlu lingkungan yang mendukung,” jelas Tri Handoko.
Pada saat ini, tambah Tri Handoko, air laut di sekitar Jambi, Sumsel, dan Riau tetap menguapkan airnya. Namun pola angin mengakibatkan uap air tertarik ke utara dan timur laut. Sehingga awan terbentuk di wilayah utara.
“Akan tetapi memang selalu saja ada peluang perubahan pola angin pada skala yang lebih kecil yang memungkinkan terbentuknya awan. Tim BPPT telah siaga untuk menyemai awan yang mungkim tumbuh agar bisa menjadi hujan” ungkap Tri Handoko.
Untuk itu, lanjut Tri, mashyarakat diharapkan punya partisifapi yang lebih mendukung. Yang paling penting untuk saat ini adalah jangan membakar hutan dan lahan. Pembakaran kecil bisa menjadi besar dan tidak terkendali.
“Laporkan jika mendapati ada orang yang membakar hutan dan atau lahan. Kalau perlu, bergabung dan aktiflah dalam gerakan-gerakan pemadaman kebakaran hutan dan lahan,” pesan Tri Handoko.
dikutip dari kompas.com