Kamis, Maret 28, 2024

Ketika Delik Pelanggaran & Kejahatan Menjadi Kabur (Sebuah Analisis)

Tulisan ini terinspirasi dari perdebatan dan percakapan di ruang sidang perkara pelanggaran protokol kesehatan Covid-19, dengan terdakwa RS, antara saksi ahli yang dihadirkan terdakwa,  Rafly Harun dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Saat itu saksi ahli Rafly Harun menerangkan bahwa perkara yang menyeret terdakwa diadili, karena melakukan perbuatan yang masuk kategori “pelanggaran”.  Sebagaimana diatur dalam buku ketiga KUHP. Yakni, pelanggaran  atas protokol kesehatan Covid-19. Sementara JPU menganggap pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan terdakwa merupakan delik kejahatan, bukan pelanggaran.

Untuk memudah kita memahami anatomi hukum kasus ini, saya akan mulai dari dakwaan JPU. Dimana dalam dakwaannya JPU mendakwa terdakwa melanggar UU Nomor: 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam dakwaan primer lainnya, JPU juga memdakwa terdakwa dengan beberapa UU lain, seperti pasal 160, pasal 216 KUHP dan UU Nomor  4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

Tapi jika rujukannya putusan atau vonis majelis hakim, terdakwa RS hanya terbukti bersalah melanggar pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang merupakan dakwaan alternatif ketiga.

Berdasarkan putusan majelis hakim inilah, tulisan ini mendapatkan legitimasi akademisnya. Vonis majelis hakim ini memberikan pesan secara tegas, bahwa terdakwa dihukum bersalah secara pidana, karena melanggar Prokes Covid-19. Sebagaimana diatur dalam pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Disinilah juga argumentasi kontroversial putusan ini secara hukum dimulai. Perdebatan soal pelanggaran versus kejahatan mendapat legitimasi akademisnya.

Melalui vonis majelis hakim terhadap terdakwa  RS ini, setidaknya telah “mengacaukan”  dan “mengaburkan” pengertian pelanggaran dan kejahatan dalam konteks hukum pidana. Dalam istilah yang sering digunakan dalam hukum perdata kabur dan tidak jelas ini sering disebut obscuur libel.

Terhadap vonis ini, maka tidak salah jika ada orang berpendapat bahwa delik pelanggaran sama dengan delik kejahatan. Padahal KUHP sudah mengatur secara tegas  soal pelanggaran (Buku ketiga KUHP) dan kejahatan (Buku kedua KUHP). Bahkan mahasiswa Fakultas Hukum manapun pasti tahu bahwa antara pelanggaran dan kejahatan itu berbeda penerapan dan perlakuan hukumnya.

Putusan majelis hakim dalam perkara ini lebih jauh akan menjadi yurisprudensi, bahwa kalau nanti ada orang yang melakukan pelanggaran, tidak apa-apa diberlakukan seperti orang yang melakukan sebuah kejahatan atau perbuatan kriminal. Ditahan lalu diseret ke pengadilan dan divonis penjara.

Jika disimpulkan lebih jauh, putusan hakim dalam perkara RS ini menjadi preseden dan mengharuskan bahwa mulai sekarang, penyidik harus melakukan penyidikan, penahanan. Selanjutnya diajukan ke muka pengadilan, terhadap siapa saja yang melakukan kerumunan yang melanggar protokol kesehatan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang  Kekarantinaan Kesehatan. Soalnya, pelanggaran Prokes berdasarkan putusan hakim dalam perkara ini adalah sebuah kejahatan bukan pelanggaran.

Saya sengaja tidak membawa narasi tulisan ini tentang adanya dugaan unsur politis dalam perkara ini. Hal itu sengaja saya lakukan, agar tidak terjadi bias dan biarlah dibahas dalam konteks murni hukum.

Saya juga berharap putusan hakim dalam perkara dapat “di eksiminasi” dan “di diskusikan” dalam forum akademis yang kritis. Dengan demikian, diharapkan kedepan problem penerapan hukum seperti ini bisa dikaji secara mendalam untuk menambah pengetahuan hokum. Baik secara teoritis maupun praktis.

Saya yakin, tidak semua orang sependapat dengan saya dalam melihat persoalan ini, mungkin ada argumentasi dan perspektif lain dalam melihatnya. Namun dalam secara akademis, semakin tesis dan pendapat itu menimbulkan pro dan kontra, maka semakin baik dan tajam analisis kita dalam memahami suatu persoalan.

Untuk itu saya ingin kembali mengajak kita semua belajar dasar-dasar ilmu hukum. Dalam Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH) dan Pengantar Tata Hukum Indonesia (PTHI) yang jelas sekali kita diajarkan tentang perbedaan dua kata ini secara hokum. Apa itu pelanggaran dan apa itu kejahatan.

Dalam berbagai literatur ilmu hukum dijelaskan, bahwa kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Contohnya mencuri, membunuh, menganiaya  dan sebagainya.

Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh undang-undang, namun tidak memberikan efek atau dampak yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain. Seperti tidak pakai helm saat mengendarai kendaraan di jalan raya, tidak menggunakan masker ditempat umum (Untuk kondisi pandemi Covid 19 seperti sekarang ini), tidak  menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya.

Mengutip pendapat Pakar Hukum Pidana UGM, Eddy O.S. Hiariej, Dalam hukum pidana terkait  perbuatan-perbuatan yang dilarang, ada yang bersifat sebagai rechtsdelicten dan ada yang bersifat sebagai wetdelicten. Rechtsdelicten secara harfiah berarti kejahatan. Yaitu perbuatan-perbuatan sebagai rechtsdelicten biasanya lahir dari norma agama dan norma kesusilaan.

Sebagai contoh larangan membunuh, larangan mencuri, larangan menipu dan lain sebagainya. Oleh kukum pidana kemudian mempositifkan larangan tersebut dalam undang-undang, disertai dengan ancaman pidana yang tegas dan keberlakuannya dapat dipaksakan oleh negara.

Sedangkan  wetdelicten secara harafiah berarti pelanggaran undang-undang. Perbuatan-perbuatan tersebut dilarang oleh pembentuk undang-undang, dengan melihat perkembangan masyarakat. Misalnya, dalam undang-undang lalu lintas, setiap orang orang yang mengendarai sepeda motor di jalan raya harus menggunakan helm. Setiap orang yang mengendarai mobil harus menggunakan sabuk pengaman. Jika tidak menggunakan helm atau tidak menggunakan sabuk pengaman maka diancam dengan pidana denda.

Selain itu,  kejahatan mengandung suatu “onrecht”, sehingga orang memandang perilaku tersebut memang pantas dihukum, meskipun tidak dicantumkan dalam undang-undang sebagai perbuatan terlarang oleh pembuat undang-undang. Contoh,  Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.  Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan  dan Pasal 285 KUHP tengan Perkosaan.

Perbedaan lainnya, masih menurut pendapat Eddy O.S. Hiariej, dalam kejahatan dikenal adanya perbedaan opzet (Kesengajaan) dan culpa (Kealpaan). Sedangkan pelanggaran di dalam Undang-undang tidak dibuat perbedaan antara opzet (Kesengajaan) dan culpa (Kealpaan).

Keikutsertaan dan pembantuan dalam kejahatan dihukum. Keikutsertaan dan pembantuan dalam pelanggaran tidak dapat dihukum. Sementara percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana. Percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana. Walaupun dalam perkara lain, yaitu kerumunam di MB, putusan hakim sudah tepat, yaitu menjatuhkan vonis denda sebesar 20 juta subsidier 5 bulan kurungan.q

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis Mafia Tanah sudah menggurita dan telah...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...