Rabu, April 24, 2024

Kilas Fhathahillah Al-Pasee Hingga Ratu Agung di Negeri Bengkulu

 “Fhathahillah sejak usia 10 tahun telah berani dan mampu menyeberangi Selat Malaka, berlayar menuju  Semenanjung Tanah Malaya”

 Fhathahillah.

Fhathahillah dilahir-kan 874 Hijriah atau 1470 Masehi di Desa Peureulak Aceh Timur, pada masa kejayaan Kerajaan Islam Samudra Pasee yang dikenal sebutan Kota Serambi Makkah. Fhatha-hillah merupakan  putra Tuanku Maulana Muchdar Ibrahim atau Mukhdar Patakan, seorang ulama besar dari Kera-jaan Islam Samudra Pasee.

Mukhdar Patakan semasa mudanya pernah diminta oleh Raja Malakka, Sultan Mansyur Syah (1459-1488 M) melalui Sultan Pasee Sultan Muzafar Syah, untuk menterjemahkan sebuah buku karya besar Maulana Abu Ishak yang berjudul Darru’l-Manzum milik sultan. Sejak itu nama ulama besar ini terkenal kesemua negeri di Nusantara, Selanjutnya dia hijrah berlayar bersama kapal mualim Hasanuddin, menyebarkan Agama Islam di Tanah Phasundaan.

Fhathahillah muda, putra ulama besar Mukhdar Patakan banyak disebut-sebut dalam beberapa naskah Tanah Malayu, yang sejak usia 10 tahun telah berani dan mampu menyeberangi Selat Malaka, berlayar menuju  Semenanjung Tanah Malaya. Pada usia 24 tahun (1495 M) dia mengabdikan diri menjadi hulubalang Kerajaan Malaka atas permintaan Sultan Mahmud Syah, yang  memerintah Tahun 1488–1528 M. Dari  sini pulalah berawal nama (Gelar) Hang yang disandangnya itu.

Di usia muda,  putra Pasee ini telah mampu meraih prestasi luar biasa. Fhathahillah dianugerahkan jabatan Laksamana (Pangli-ma Angka-tan Laut) oleh Sultan Malaka Tahun 1495-1496, untuk mengamankan Selat Malaka dari gangguan perompak yang sangat terkenal bengis dan kejamnya kala itu. Prestasi besar pertama yang diraihnya adalah  menangkap para bajak laut dari China di pelabuhan Upeh. Perompak itu mencoba melakukan perampokan terhadap kapal dagang asing yang datang dari Asia Selatan kepelabuhan Malaka.

Prestasi kedua,  Fhathahillah menyelamatkan kapal dagang China yang datang dari Canton ke Malaka, dari serangan perompak bajak laut Cina, sewaktu hendak masuk pelabuhan Malaka, Namun berhasil dikejar dan diringkus. Keberhasilannya ini tidak saja mendapat penghargaan dari Sultan Malaka, tetapi juga datang dari  Kaisar Cina, yang memberikan hadiah langsung kepada hulubalang ini. Kaisar merasa kagum luar biasanya  dengan prestasi yang diraih Fhathahillah.

Selama ini, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, dinilai tidak aman dan belum ada orang yang mampu mengalahkan bajak laut, selain putra Pasee ini.

Kemampuan yang luar biasanya ini dinilai orang di Tanah Malayu (Yang dimaksud dengan Tanah Malayu ketika itu adalah Pulau Sumatera, Riau Kepulauan dan Malaka) sebagai orang yang memiliki ‘Tuah’ (Orang yang bertuah). Dari sini pulalah berawal nama (gelar) Hang yang disandangnya dan disanjung itu. Fhatha-hillah mengundurkan diri dari jabatan hulubalang raja pada Tahun 1509 M. Pada Tahun 1516 M, dia menunaikan ibadah Haji dan kembali ke- Pasee pada Tahun 1521 M.

Setelah selama lima tahun bermukim di Makkah, pada Tahun 1521 M, Fhatha-hillah kembali ke Samudera Pasee. Namun kapal layarnya tidak dapat bersandar di Banda Aceh, karena pelabuhan kala itu telah dikuasai Portugis. Maka kapalnya melanjutkan berlayar ke Banten. Di Banten dia disambut Sultan Maulana Hasanuddin, yang disebut-sebut dalam beberapa babat Banten, merupakan sultan adalah pamandanya sendiri.

Julukan Baru

Di Tanah Phasundaan (Banten) dalam kisah lainnya,  Fhathahillah diceritakan banyak membantu anak negeri dalam bidang pengobatan. Karena itu dirinya  diberi penghargaan gelar dengan sapaan Tubagus Angke, sebagaimana yang juga diriwayatkan dalam kronik Jakarta. Nama Syarief Hidayatullah au Fhathahillah Khaan al Pasee ini, masih harus dilengkapi dengan sederetan nama lainnya seperti Ratu Bagus Hang Tua (Tubagus Angke)  Fhathahillah  Khaan  al Pasee.

Kata “Hang” adalah kata sapa bagi ningrat Melayu. Sedangkan kata “Tua” adalah kata sapaan bagi  orang yang ditua-kan. Kata Ke dalam bahasa Cjina kuno dapat juga diartikan laki-laki, tua, harum atau aroma. Sedangkan dalam bahasa Melayu kata itu berubah menjadi  kata kek atau kakek, dan kata bi dipakai untuk sebutan wanita.

Kata “Khan-Khaan” yang terdapat dibelakang nama seseorang, menunjukkan gelar atau jabatan yang disandangnya. Kata Khan-Khaan dalam bahasa Gujarat India berarti “Dagang atau Niaga”, dalam bahasa Inggris gelar ningrat itu menjadi “Lords”,  dan dalam bahasa Portugis disebut  “Padrao”. Kata pedagang mempunyai kedudukan tersendiri dimata masyarakat. Sama halnya dengan kata Tuan guru, yang  memiliki martabat tersendiri dimata masyarakat nusantara (Indonesia) tempo itu.

Fhathahillah Khaan Al-Pasee tidak saja berjasa pada Negeri Banten, tetapi juga berhasil mengubah nama negeri yang semula bernama “Kalapa” (Bukan Sunda Kelapa) menjadi “Jakarta” pada tanggal 22 Juni 1527, setelah berhasil mengusir kapal dagang Portugis dari negeri vassal Banten ini.

Fhathahillah memiliki sederetan nama. Beberapa naskah kuno menyebutkan sederatan nama itu adalah “Sultan Maulana Syarief Hidayatullah  atau Fhathahillah ibnu  Sayyid Kamil Maulana Muchdum  Ibrahim Rahmattullah ibnu Syeikh Nuruddin  Ibrahim Maulana Ismail”.

Dia adalah pewaris perjuangan Sunan Gunung Jati Purba dalam menegakkan dan mengembangkan Islam di Tanah Phasundan. Karena itu, Fhathahillah juga disapa dengan Sunan Gunung Jati. Sedangkan di Banten, ulama ini disapa dengan Ratu Bagus (Tubagus) Hang Tua Fhathahillah Khaan Al Pasee.

Keberadaan Fhathahillah Khaan al-Pasee di Banten,  yang nanti lebih dikenal dengan Tubagus Angke alias  Sultan Maulana Syarief Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati (Ulama besar ini tidak dimakamkan di Gunung Jati, tetapi di Gunung Sembung Cirebon) akan turut membuka tabir keberadaan Ratu Agung, Raja Negeri Bengkulu pertama.

Selain itu juga, akan dapat membuka misteri Negeri Bengkulu, yang selama ini telah  menjadi teka-teki  anak negeri yang tidak kunjung  terjawab. Namun suatu hal yang perlu dicatat, bahwa Fhathahillah adalah seorang ulama besar yang pernah singgah di Bandar Negeri Bengkulu  pada Tahun 1521 M.

* Pemerhati Sejarah dan Budaya Bengkulu/alumni Universitas Islam Djakarta  

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis Mafia Tanah sudah menggurita dan telah...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...